ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Jumat, 10 Februari 2012

Sejarah Pertempuran 10 Nopember 1945


PELAKU SEJARAH PERTEMPURAN SURABAYA 10 NOPEMBER ’45


Tanggal 12 Mei yang lalu saya, bersama mas Gunarso dari Blogger Purworejo, menghadiri ulang tahun ke-90 senior dan teman saya Pak Hario Kecik. Yang istimewa dari peristiwa ini adalah disamping usia yang mencapai 90 tahun (umur harapan rata-rata orang Indonesia sekitar 68 tahun), ia masih dalam keadaan sehat, segar jasmani dan rohani, lahir dan batin. Ia masih berjalan tegak tanpa bantuan, tanpa kacamata, pendengaran masih bagus, ingatan masih tajam dan kecerdasannya masih prima. Sengaja memperingati hari lahirnya di kantor penerbit buku OBOR, karena sekaligus ia meluncurkan bukunya tentang PEMIKIRAN MILITER jilid ke-4, yang masing2 jilid setebal sekitar 500 halaman. Dari dalam sakunya dia mengeluarkan flashdisk yang berisi draft buku jilid ke-5 yang akan terbit dalam waktu dekat. Sungguh orang ini satu sosok yang istimewa dan yang saya kagumi, karena itu saya ingin menulis sedikit tentang tokoh ini, siapa tahu bisa diambil hikmahnya.

Pak Hario Kecik masih tampil prima diusia 90 tahun
Pertempuran Surabaya, Oktober-Nopember ’45.
Nama lengkapnya Suhario Padmodiwiryo, lahir di Surabaya 12 Mei 1921. Menjelang kemerdekaan ia sudah hampir selesai Sekolah Kedokteran di Jakarta, teman seangkatan antara lain MT Haryono, Pahlawan Revolusi yang juga calon dokter. Pasca Proklamasi 17 Agustus ’45, ia kembali ke Surabaya dan membentuk pasukan yang kemudian merebut dan menduduki markas Kempetai (Polisi Militer Jepang) dan bersama seorang temannya membentuk Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) dengan persenjataan yang lengkap hasil rampasan dari Jepang.
Pada pertempuran dengan Inggris akhir Oktober’45, dan yang mencapai puncaknya tanggal 10 Nopember ’45 (kemudian kita kenal sebagai Hari Pahlawan) pasukannya merupakan bagian yang penting dalam menghadapi kekuatan Inggris yang mengerahkan dua Divisi (sekitar 20.000 orang) dengan persenjataan lengkap dan modern, didukung dengan tank, delapan pesawat pembom dan tempur dan beberapa kapal perang yang berlabuh di Tanjungperak. Inggris bertujuan untuk “menghukum” rakyat Surabaya atas kematian seorang jendralnya bersama satu Brigade tentaranya yang “dilibas habis”dalam pertempuran akhir Oktober itu.
Pak Hario bersama pasukannya dan pasukan2 lain serta sebagian besar rakyat Surabaya bahu membahu dalam pertempuran melawan kekuatan Inggris tersebut. Inggris kemudian menamakan pertempuran ini sebagai “neraka” Surabaya. Itulah satu2nya pertempuran terbesar secara frontal dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nama Pak Hario diabadikan/tercantum pada Tugu Pahlawan Surabaya, sebagai salah satu pelaku aktif dalam pertempuran tsb. Pertempuran Surabaya telah membukakan mata dunia akan tekad bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan.
Bergerilya pada waktu Clash ke-2 sampai Panglima Kodam Kaltim.
Selama Clash ke-dua dia bergerilya di daerah Gunung Kawi Selatan/Malang besama Komandan Brigade 16, Letkol Warrow, dengan pangkat Mayor (pangkat Mayor waktu itu sudah cukup tinggi, karena panglima Divisi hanya berpangkat Kolonel). Setelah pengakuan kemerdekaan dia bertugas di Sulawesi Utara sebagai Kepala Staf Komando militer setempat dan ikut bertempur menumpas gerakan “Republik Maluku Selatan” bersama alm. Letkol Slamet Riyadi. Ditarik ke MBAD kemudian dikirim ke Amerika untuk pendidikan militer bagi Perwira Menengah, pangkat naik jadi Letkol. Kembali dari AS dengan pangkat Kolonel dia diangkat sebagai Panglima Kodam Kalimantan Timur, pangkat naik jadi Brigadir Jendral.
Tugas Belajar ke Uni Soviet sampai ke Penjara Militer Orde Baru.
Setelah 6 tahun di Kaltim dia ditarik ke Jakarta dan oleh Pangad Jendral A. Yani dikirim ke Uni Soviet/Rusia permulaan tahun ’65 untuk tugas belajar di War College, lembaga pendidikan militer tertinggi di Uni Soviet. Disitulah saya berkenalan dengan dia secara pribadi yang berkembang menjadi persahabatan sampai saat ini. Keberangkatannya ke Moskow itu adalah tugas dari atasannya, sehingga dengan terjadinya peristiwa G-30-S dia merasa heran mengapa namanya dilibatkan sebagai “tersangkut”. Tanpa rasa takut dan atas kesadaran sendiri dia kembali ketanah air dan oleh Penguasa waktu itu langsung di jebloskan ke Penjara Militer selama 4 tahun. Setelah tidak ada bukti tentang keterlibatannya dengan G-30-S, ia dibebaskan tanpa lewat proses yang berarti. Mulailah dia hidup sebagai manusia bebas, namun harus mulai dari nol lagi.
Kegiatan sebagai Manusia Merdeka.
Namun bukan seorang Suhario bila dia “putus asa” dan menyerah menghadapi tantangan hidup tersebut. Dengan bakat sebagai penulis, dia mulai menulis/menyusun scenario untuk film yang kemudian laku “dijual” kepada Menteri Penerangan waktu itu Ali Murtopo. Beberapa temannya yang bersimpati memberikan bantuan, sehingga dia mulai bisa “bangun” kembali. Dia mulai menyusun buku “Memoar Hario Kecik. Otobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit” yang berkisah tentang pengalamannya pada waktu pertempuran di Surabaya sebagai pelaku dan saksi sejarah. Bukunya itu kini diakui sebagai sumber yang paling lengkap tentang pertempuran hebat yang kini telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Frank Palmos, seorang peniliti dari sebuah Universitas di Australia yang sedang menyusun desertasi tentang pertempuran Surabaya. Kemudian menyusul buku2 Biografi ke-2, ke-3, tentang pengalaman di penjara Orde Baru, tentang pengembaraannya di luar negeri.
Sepertinya tidak pernah kehabisan bahan untuk menulis, ia menerbitkan novel sejarah, dari mulai kisah perjuangan Pangeran Sambernyowo (RM Sahid) , cerita tentang pedalaman Kalimantan, tentang “Liur Emas”( burung walet )Karangbolong/Gombong, sampai kisah misteri Leste dan Sang Pemburu. Semua buku bukunya itu bernuansa sejarah perjuangan tanah air. Kemudian dia menerbitkan buku renungan tentang “Pemikiran Militer” Indonesia sejak jaman dulu sampai saat ini sebanyak empat jilid dengan tebal masing2 lima ratus halaman, sebentar lagi menyusul jilid ke-5. Waktu ditanya kapan akan berhenti menulis, “selama masih hidup saya akan munulis”.
Dengan Frank Palmos penyusun buku tentang pertempuran Surabaya
“Old Soldiers Never Die They Just Fade Away…”
Dalam usianya yang 90 tahun dia sama sekali belum memberikan tanda-tanda tentang “keuzuran”. Ini cocok dengan ungkapan diatas, “Old Soldiers Never Die They Just Fade Away”. Dia tidak ingin “dikasiani” sebagi orang tua yang tidak berdaya. “Rambut hitam ini memang saya cat, karena saya tidak ingin nampil sebagai sosok tua yang perlu dikasihani”, menjawab pertanyaan kok rambutnya masih legam. Didampingi oleh ibu Kusuma Dewi Suhario yang setia, dan berasal dari trah Mangkunegaran itu, mereka hidup dengan damai dalam suasana kesederhanaan di pinggiran kota Jakarta, jauh dari kesan kemewahan. Satu hal yang membedakan dengan para kaum “lanjut usia” umumnya, tokoh ini tidak mau tinggal diam, selalu ada saja yang sedang ditulis.
Kesan yang ditimbulkan setelah omong2 dengan tokoh istimewa ini adalah sebuah kekaguman terhadap seseorang yang setia kepada jati dirinya, sebagai seorang pejuang sejati, konsisten dengan suara nuraninya dan pantang menyerah menghadapi segala tantangan hidup. Namun pada waktu kami tanya rahasia apa yang menjadikan dia sampai bisa usia panjang, jawabnya mantap “Ya kersane Gusti Allah…” . Selamat Pak Hario, panjang umur dan tetap sehat, semoga berkahnya menular.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar