ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Jumat, 29 November 2013

Ringkasan Fiqih Zakat

Definisi Zakat
Zakat menurut bahasa adalah tumbuh dan bertambah, dan menurut syariat adalah kewajiban pada harta tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu dalam waktu tertentu.
Dan zakat adalah rukun Islam terpenting setelah dua kalimat syahadat dan shalat. Dan hukum menunaikannya adalah wajib berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku.” (QS al-Baqarah: 43)
Barangsiapa mengingkari wajibnya maka ia telah kafir, baik dia berzakat maupun tidak dan barangsiapa yang tidak mau membayar zakat karena bakhil dan pelit, karena sayang terhadap harta dan masih mengakui wajibnya zakat maka ia telah berdosa besar, terancam dengan siksa yang besar dan mengerikan di akhirat nanti, dan juga di dunia ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. ali-Imran: 180)

Syarat wajib zakat

a) Merdeka, bukan budak
b) Muslim
c) Hartanya mencapai nishab. Nishab adalah kadar harta tertentu sesuai dengan jenis harta tersebut. Baik pemilik harta maupun anak-anak, berakal maupun gila. Karena zakat wajib pada harta bukan pada orangnya.
d) Kepemilikannya mapan dan stabil dalam satu tahun atau tiap panen. Tidak berkaitan dengan harta orang lain.
e) Berlalu satu tahun (haul), berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu`anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu satu tahunHR Ibnu Majah dan At Tirmidzi. Kecuali pada pertanian, tidak diwajibkan pada tiap tahun, namun diwajibkan pada setiap panennya.

Harta yang dizakati

a) Emas, perak dan yang semisalnya, seperti uang dan lainnya.
b) Barang dagangan, semua barang dagangan.
c) Binatang ternak, yakni sapi, unta dan kambing
d) Pertanian, pada hasil bumi yang bisa ditakar dan ditimbang serta disimpan

A. Zakat Emas, Perak dan Uang

1. Wajib zakat pada emas bila telah mencapai dua puluh dinar atau lebih maka zakatnya dua setengah persen.
2. Dinar ditimbang dengan emas pakai ukuran mitsqal. Satu mitsqal ditimbang dengan timbangan sekarang adalah 4,25 gram.
3. 20 dinar sama dengan timbangan 85 gram emas. 20 x 4,25 = 85 gram emas. Inilah nishab emas. Kalau dalam mata uang rupiah, maka 85 gram x Rp 100.000 (dengan asumsi harga 1 gram emas = Rp 100.000) = Rp 8.500.000 maka yang wajib dikeluarkan adalah Rp 8.500.000 x 2,5% = Rp 212.500
4. Wajib zakat pada perak bila telah mencapai nishabnya (dengan bilangan) 200 dirham lebih, atau dengan timbangan lima awaq, adalah 2,5%
5. 200 dirham sama dengan timbangan 595 gram. Bila uang yang telah mencapai nishab berkumpul pada seseorang dan mencapai haul satu tahun maka wajib zakat, baik uang itu disiapkan untuk nafkah, nikah, membeli tanah atau membayar utang maupun untuk yang lainnya.
6. Pembuatan Emas dan Perak memiliki tiga keadaan:
a) Jika maksud pembuatan emas adalah untuk perdagangan maka itu ada zakatnya, berupa zakat barang dagangan yakni 2.5 persen. Karena barang tersebut telah menjadi barang dagangan maka diukur dengan mata uang negeri tersebut kemudian menzakatinya.
b) Jika maksud dari pembuatan emas tersebut untuk melapisi barang-barang, seperti tempat makan berupa pisau, sendok, kendi dan yang sejenisnya maka ini haram. Namun tetap wajib zakat bila telah mencapai nishab, dan zakatnya adalah 2.5 persen.
c) Jika maksud dari pembuatan emas untuk dipergunakan dalam hal-hal yang boleh atau untuk dipinjamkan, zakatnya 2,5 persen bila mencapai satu haul dan mencapai nishab. Namun di sini ada perselisihan pendapat ulama.
7. Uang kertas zaman sekarang, seperti riyal, dolar dan lain-lain hukumnya sama dengan hukum emas dan perak. Ditaksir dengan harga dasar; bila telah mencapai nishab salah satu dari emas dan perak tersebut, maka wajib zakat. Ukuran zakatnya 2,5 persen dan telah berlalu satu haul (tahun).
8. Cara Mengeluarkan Zakat Uang
Uang ditaksir dengan nishab emas atau perak, bila minimal nishab emas 85 gram dan misalnya harga satu gram emas 40 riyal Saudi, maka kita kalikan nishab emas dengan harga satu gram emas (85 x 40 = 3400 riyal) inilah minimal nishab uang. Maka zakat yang harus dikeluarkan 85 riyal Saudi, dan itu sama dengan 2,5 persen.
9. Untuk mengeluarkan kadar zakat uang, maka harta dibagi 40 maka akan keluar 2,5 persen. Demikianlah yang wajib dalam masalah zakat emas dan perak serta apa yang diikutkan hukumnya. Contohnya, kalau seseorang memiliki delapan puluh ribu riyal, maka (80.000/40 = 2000 riyal) jadi itulah kadar zakat uang, yakni 2.5 persen.
10. Hukum Zakat Perhiasan yang Dipakai
Dibolehkan bagi para perempuan apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka, memakai emas maupun perak tanpa ada pemborosan, dan wajib bagi mereka untuk membayar zakat bila telah mencapai nishab serta berlalu satu tahun. Barangsiapa yang tidak tahu hukum maka wajib membayarkannya kapan mengetahuinya. Adapun tahun-tahun yang berlalu sebelum adanya ilmu maka tidak ada zakatnya, karena hukum-hukum syar’i hanya wajib dengan ilmu. Namun di sini ada perselisihan pendapat ulama.
11. Emas, berlian dan batu-batu berharga serta yang sejenisnya bila hanya dipakai maka tidak ada zakatnya. Adapun bila diperdagangkan maka ditaksir harganya dengan nishab salah satu dari emas atau perak, jika telah mencapai nishab dan berlalu satu tahun maka zakatnya 2.5 persen
12. Emas tidak digabungkan dengan perak dalam menggenapkan nishab, harga barang dagangan digabungkan ke salah satu dari keduanya.

B. Zakat Binatang Ternak

Zakat binatang ternak wajib dengan dua syarat;
1. Hewan tersebut untuk dikembangbiakkan dan diternak, bukan dipakai untuk kerja.
2. Hewan tersebut dipelihara, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Pada unta yang dipelihara setiap empat puluh satu bintu labun” HR Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i.
Nishab Unta dan Zakatnya
Dari 5 sampai 9 ekor, 1 ekor kambing. Dari 10 sampai 14 ekor; 2 ekor kambing. Dari 15 sampai 19 ekor, 3 ekor kambing. Dari 20 sampai 24 ekor; 4 ekor kambing. Dari 25 sampai 35 ekor; 1 ekor unta usia 1 tahun (bintu makhad). Dari 36 sampai 45, 1 ekor unta usia 2 tahun (bintu labun). Dari 46 sampai 60, 1 ekor unta usia 3 tahun (hiqqah). Dari 61 sampai 75, 1 ekor unta usia 4 tahun (jadza’ah). Dari 76 sampai 90; 2 ekor unta usia 2 tahun. Dari 91 sampai 120; 2 ekor unta usia 3 tahun. Apabila lebih dari 120 ekor maka wajib (zakat) pada setiap 40 ekor unta, satu bintu labun. Pada setiap 50 ekor unta satu ekor hiqqah. Dan pada 150 tiga hiqqah. Pada 160 ekor unta empat bintu labun. Pada 180 ekor unta zakatnya dua hiqqah dan dua bintu labun. Pada 200 ekor unta lima bintu labun atau empat hiqqah.
Nishab Sapi dan Zakatnya
Dari 30 sampai 39, 1 ekor sapi usia 1 tahun (tabi’ atau tabi’ah). Dari 40 sampai 59, 1 ekor sapi usia 2 tahun (musinnah). Dari 60 sampai 63; 2 ekor sapi usia 1 tahun.
Kemudian pada setiap 30 ekor sapi, zakatnya satu ekor sapi jantan/betina berumur satu tahun (tabi’/tabi’ah) dan pada 40 ekor sapi maka zakatnya satu ekor sapi berumur dua tahun (musinnah) dan pada 50 ekor sapi zakatnya dua ekor sapi berumur dua tahun (musinnah). 70 ekor sapi zakatnya dua ekor sapi, yang satu berumur dua tahun dan yang lainnya berumur dua tahun (tabi’ dan musinnah). 100 ekor sapi zakatnya dua ekor sapi berumur satu tahun dan satu ekor sapi berumur dua tahun. Pada 120 ekor sapi zakatnya tiga ekor sapi berumur dua tahun.
Nishab Kambing dan Zakatnya
Dari 40 sampai 120; 1 ekor kambing. Dari 121 sampai 200; 2 ekor kambing. Dari 201 sampai 399; 3 ekor kambing.
Kemudian pada setiap seratus ekor kambing zakatnya satu ekor kambing. 399 ekor kambing zakatnya 3 ekor kambing, dan 400 sampai 499 ekor kambing zakatnya empat ekor kambing. Dan begitu seterusnya.

C. Zakat Barang Dagangan

1. Barang dagangan adalah barang yang dipersiapkan untuk jual-beli demi keuntungan, berupa tanah, hewan, makanan, minuman dan alat-alat serta lainnya.
2. Syarat diwajibkannya zakat pada harta dagangan ada dua:
a) Dimiliki dengan kehendak dan pilihannya
b) Dimiliki dengan niat untuk berdagang
3. Barang dagangan bila untuk perdagangan dan telah mencapai nishab serta berlalu satu tahun maka wajib membayar zakat. Ketika telah satu tahun ditaksir dengan yang paling berharga bagi wajib zakat (mustahiq) baik emas maupun perak, dikeluarkan 2.5 persen dari barang yang diperjualbelikan dan keuntungannya.
4. Rumah, tanah, mobil dan alat-alat bila diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau dipergunakan bukan sebagai dagangan maka tidak ada zakatnya. Bila disiapkan untuk penyewaan maka zakatnya wajib atas upah sewa sejak akad sampai berlalu satu tahun dan mencapai nishab. Sedangkan bila diperuntukkan sebagai dagangan maka wajib zakat pada harganya bila telah mencapai nishab dan berlalu satu tahun.
5. Alat-alat pertanian, pabrik, perdagangan dan yang semisalnya, tidak ada zakat pada dzat barang tersebut, karena (hakikatnya) barang tersebut bukan didagangkan namun untuk digunakan.

D. Zakat Hasil Bumi

1. Hasil bumi adalah biji-bijian, buah-buahan, barang tambang dan barang terpendam serta lainnya.
2. Wajib zakat pada semua jenis biji-bijian dan pada tiap buah yang dapat ditakar dan dapat disimpan seperti kurma dan kismis. Disyaratkan sebagai hak miliknya ketika datang kewajiban zakat, mencapai nishabnya (5 wasaq). Setiap satu wasaq = 60 sha’ dan setiap satu sha’ = 2.40 kg dan berarti nishab hasil bumi yakni 60 x 5 = 300 sha’ dan 300 sha’ x 2.40 kg = 720 kg.
3. Sha’ nabawi setara 4 mud (cakupan dua tangan) sedang dan setara dengan 2.40 kg.
4. Buah-buahan yang telah satu tahun bila satu jenis maka digabungkan dalam menyempurnakan nishab seperti jenis-jenis kurma.
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu’anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak ada zakat pada hasil panen yang kurang dari lima awaq, tidak ada zakat pada hasil panen yang kurang dari lima dzaud dan tidak ada zakat pada hasil panen yang kurang dari lima awsuq’” Muttafaqun ‘Alaihi.
5. (Kadar) wajib zakat pada hasil bumi
a) 10 persen. Wajib pada hasil panen yang diairi tanpa biaya, seperti yang diairi dengan air hujan atau mata air serta lainnya.
b) 5 persen. Wajib pada hasil panen yang diairi dengan biaya, seperti dengan air sumur yang dikeluarkan dengan alat (mesin) atau lainnya.
6. Waktu wajibnya zakat biji-bijian dan buah-buahan, bila telah tua biji-bijian tersebut dan telah masak buah-buahan (waktu panen), yakni dengan menjadi merah atau kuning. Bila dijual oleh pemiliknya maka zakatnya wajib atas dia bukan atas pembelinya.
7. Bila rusak biji-bijian dan buah-buahan (seperti kurma dan anggur, penerj) tanpa keteledoran dan tanpa sengaja dari pemiliknya, maka gugurlah kewajiban zakat.
8. Tidak ada kewajiban zakat pada sayuran dan buah-buahan (seperti jambu, rambutan, dan lain-lain) kecuali bila barang tersebut disiapkan untuk perdagangan, maka dari harganya dikeluarkan 2.5 persen bila telah berlalu satu tahun dan mencapai nishab.

Rabu, 27 November 2013

Ilmu Rijalul Hadis

TA’ RIEF ILMU RIJALIL HADITS
Ilmu Rijalil Hadits adalah salah satu dari ilmu-ilmu hadits yang sangat penting. Ilmu hadits, melengkapi sanad dan matan. Orang-orang sanad itulah perawih-perawih hadits. Maka merekalah pokok pembicaraan ilmu Rijalul Hadits yang merupakan salah satu dari dua tepi ilmu hadits. Lantataran inilah para ulama sangat mementingkan ilmu ini.
Ilmu Rijalul hadis terbagi atas dua ilmu yang besar:
1. Ilmu Tarikhir Ruwah : Ilmu sejarah perawi-perawi hadits.
2. Ilmu jahri wat Ta’dil : Ilmu yang menerangkan adil tidaknya perawi hadits.
Maka Ilmu Tarikhir Ruwah ialah :
“ ilmu yang mengenalkan kepada kita perawi-perawi hadits dari segi mereka meriwayatkan hadits. Maka ilmu ini menerangkan keadaan-keadaan perawi, hari kelahirannya, kewafatannya, guru-gurunya, masa mulai mendengar hadits dan orang-orang yang meriwayatkan hadits dari padanya, negrinya, tempat kediamannya, perlawatan-perlawatnnya, sejarah kedatangannya ketempat-tempat yang dikunjungi dan segala yang berhubungan dengan urusan hadits”.
Ilmu ini lahir bersama-sama dengan lahirnya periwayatan hadits dalam islam. Para ulama sangat mementingkannya supaya mereka mengetahui keadaan perawi-perawi sanad. Mereka menanyakan tentang umur perawi, tempat kediamannya, sejarah mereka belajar, sebagai mana mereka menanyakan tentang peribadi perawi sendiri agar mereka mengetahui tentang kemustahilannya dan kemunqathii’annya, tentang kemarfu’annya dan kemauqufannya.
Memang sejarahlah senjata yang ampuh untuk menghadapi para pendusta. Sufyan Ats Tsauri berkata :
“ tatkala para perawi telah mempergunakan kedustaan, kamipun mempergunakan sejarah”
Dengan kesungguhan para ulama dalam mengahadapi sejarah para perawi, terkumpullah suatu perbendaharaan besar yang menerangkan sejarah para perawi hadits, kekayaan itu mereka simpan dalam hasil-hasil karya mereka. Maka ada yang menulis tentang hal sahabat dan segala sangkut pautnya, tentang bilangan hadits-hadits mereka dan perawi-perawinya.
Di waktu memancar mata hari pembukuan ilmu, lahirlah aneka karangan yang menerangkan berita-berita sahabat dan tabi’in, tabi’it tabi’in dan orang-orang yang sesudah mereka. Berbagai macam jalan yang ditempuh para pengarang sejarah perawi hadits. Ada yang mengarang sejarah para perawi, thabaqat demi thabaqat, yakni orang-orang semasa, kemudian orang-orang semasa pula.
Diantara kiatab yang paling tua yang menulis sejarah perawi thabaqat demi thabaqat, ialah kitab At Thabaqat Al Kubra, karya Muhammad ibn Sa’ad (168-230 H). dan Thabaqatur Ruwah karangan Khalifah ibn Khayyath Al-ashfari (240H). Diantara mereka, ada yang mensyarahkan menurut athun perawi, dari tahun demi tahun. Di dalamnya diterangkan tahun wafat para perawi, disamping menerangkan keadaan beritanya.
Adz Dzahabi dalam kitabnya” Tarikhul Islam menempuh jalan ini”. Di antara mereka, ada yang menyusun sejarah perawi menurut huruf abjad. Macam inilah yang mudah kita pelajari. Diantara kitab yang paling tua yang sampai kepada kita ialah : At Tarikhul Kabir Karya Al Imam Muhammad ibn islmail Al bukhari (194- 256 H). di dalamnya disebutkan lebih kurang 40.000 biografi pria dan wanita.
Kitab yang paling mengumpulkan biografi perwai-perawi hadits ialah: Kitab Tahdzieb, karya Al Hafidh ibnu Hajar Al Asqalany (773-853 H). Al Hafidh Abu Muhammad Abdu Ghani ibn Abdul Wahid Al Maqdasi (514-600 H). menyusun sebuah kitab yang dinamakan Al Kamal fi Asmair Rijal. Kemudian kitab itu dibersihkan oleh Al Hafidh Yusuf ibn Abdur Rahman Al Mizzi (654- 742 H). dengan diberi tambahan-tambahan dan ditertibkan menurut huruf abjad, kitabnya dinamakan Tahdzibul Kamal fi Rijal yang selesai disusun pada tahun 712 H.
Kemudian Ibnu Hajar Al Asqalani meringkaskan kitab itu dengan sebuah kitab yang dinamakan Taqribut Tahdzib fi Asmal Rijal. Ada pula yang menyusun menurut negeri perawi hadits. Pengarannya menjelaskan ulama-ulama negerinya dan ulama-ulama yang datang ke negri itu. Dan terkadang-kadang diterangkan pula orang yag meriwayatkan hadits dari ulama-ulama itu.
Kebanyakan mereka menyebutkan keutamaan negeri ulama-ulamanya dibuat sejarah, kemudian mereka menyebut sahabat-sahabat yang berada di negeri itu, atau berkediaman di negara itu. Kemudian barulah diterangkan ualama-ulama lain menurut huruf abjad. Di antara kitab yang paling tua dalam bidang ini ialah, ialah Tarikh Naisabur, karangan Al Hakim(321-405 H) dan Tarikh Baghdad karya Ahmad ibn Ali Al Baghdadi yang terkenal dengan nama Al khatib Al Baghdadi ( 392-463 H) sebuah kitab yang baik. Di dalamya terdapat sejumlah 7831 biografi dan tarikh Dimasyqa, karya Ibnu Asakir ( 499-571).
Ada para ahli hadits yang menyusun kitab-kitab yang menerangkan nama-nama perawi, kun-yah dan Iaqab dan kebangsaan mereka. Ada pula yang menulis nama-nama yang mu’talif dan mukh’talif, perawi-perawi yang bersaudara, sahabat-sahabat yang panjang umur, demikian pula para tabi’in dan lainnya.
Ada pula yang menulis nama-nama yang hamper sama. Diantara kitab yang paling tua yang menerangkan nama dan kun-yah, ialah Al Asma Wal Kuna, karya Ali ibn Abdullah Al madini (161-234 H). kitab yang paling padat isinya dalam bidang ini ialah Al Kuna Wal Asma karangan Muhammad ibn Ahmad Ad Daulabi (234-320 H) dan kitab Al Ikmal, karya Ibn Nakula Al Baghdadi (421-486 H).
Kiatab yang paling padat isinya dalam bidang nama yang hampir-hampir sama, ialah Al Musytabah fi Asmair Rijal, karya Adz Dzahabi (673-740 H). sedangkan kitab yang paling padat isinya tentang laqab-laqab para perawi ialah Nushatul Alhab fil Al Qab, karya Al’Asqalani (733-852 H).
Kitab yang paling besar dalam bidang silsilah keturunan para perawi, ialah kitab Al Ansab, karya Tajul Islam Abdu Karim ibn Muhammad As San’ni (506-562 H). dan kitab Al Lubab, karya Ali ibn Muhammad Asy Syaibani Al Jazari (555-630 H). para ulama tidak saja meriwayatkan sejarah perawi perawi lelaki, bahkan meriwayatkan juga sejarah perawi-perawi wanita yang telah menjadi pengembang-pengembang hadits, seperti Aisyah dan isteri-isteri nabi lainnya, serta sahabat-sahabat wanita.
Muhammad ibn Sa’ad (168-230 H) menspesialkan jilid terakhir dari kitabnya untuk perawi-perawi wanita, sungguh usaha ulama-ulama kita dalam bidang ini mengagumkan benar.[1] Ilmu ini ada yang menanamkan Ilmu Tarikh, ada yang menanamkan Tarikhur Ruwah, ada yang menanamkan Wafayyatur Ruwah, dan ada yang menanamkan At Tawarikh Wafiyyyat.
ILMU JARHI WAT TA’DIL
1. TA’RIEF JARHI
Jarah, menurut bahasa lughah bermakna melakukan badan yang karenanya mengalirkan darah. Apabila dikatakan: hakim menjarahkan saksi maka maknanya : hakim menolak kesaksian saksi. [2]Menurut istilah ahli hadits.
“Nampak suatu sifat pada perawi yang merusak keadilannya atau mencederakan hafadhannya, karenanya gugurlah riwayatnya dipandang lemah”.
2. TA’RIEF TAJRIEH
Tajrieh menurut lughat, bermakna tasyqieq= melakukan, sedangkan ta’jieb = mengaibkan. Menurut uruf ahli hadits, ialah:
“mendhahirkan sesuatu cacat yang karenanya ditolak riwayatnya”
“Mensifatkan para perawih dengan sifat-sifat yang menyebabkan dilemahkan riwayatnya atau tidak diterima”.
Adil menurut lughah :
“suatu yang dirasakan oleh diri, bahwasanya dia itu adalah dalam keadaan lurus”.
Orang yang dipandang adil adalah : orang yang diterima kesaksiannya, yaitu : islam, bulugh, adalah keadilan dan dlabath. Menurut istilah adalah:
“ orang yang tidak nampak dalam urusan keagamaannya dan muruahnya sesuatu yang mencederakan keadilan dan muruhnya”.
Karena itu terimalah kesaksiaannya dan riwayatnya apabila sempurna keahliannya meriwayatkan hadits.
3. TA’DIL
ta'dil menurut lughat adalah taswiyah ( menyamakan) sedangkan menurut istilah ialah
“ mensfatkan perawi dengan sfat-sifat yang menetapkan kebersihannya dari pada kesalahan-kesalahannya, lalu Nampaklah keadilannya dan diterimalah riwayatnya”.
Menurut uruf ahlil hadis ialah
“ mengakui keadilan seseorang, kedlabithan dan kepercayaan”.
Maka ilmu jarwi wat Ta’dil ialah:
“ ilmu yang membahas keadaan-keadaan perawi dari segi terima, tolak riwayatnya”.
Ilmu ini salah satu yang terpenting dan tinggi benar nilaiya, karena dengan dialah dapat dibedakan antara yang shahih dengan yang saqim, antara yang diterima dengan yang ditolak, mengingat timbilnya hukum-hukum yang berbeda-beda dari pada tingkatan Jarah dan Ta’dil ini.
4. PERTUMBUHAN ILMU JARHI WAT TA’DIL
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui hadits-hadits yang shahih perlu mengetahui keadaan perawi-perawinya secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran perawi atau kedustaannya hingga dapatlah mereka nenbedakan antara yang diterima dan ditolak.
Karena itu para ulama menanyakan tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan mereka, hingga mengetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatan, lebih lama menyertai guru. Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbunya periwayatan dalam islam. Para ulama menerangkan catatan-catatan para perawi yang memang tercatat.
5. LAFADH-LAFADH TA’DIL
Para ulama hadits telah menempatkan lafadh-lafadh ta’dil dalam beberapa martabat
1. Ibnu Abi Hatim, Ibnush Shalah dan An Nawawi menjadikan 4 martabat.
2. Adz Dzahabi dan Al’Iraqi menjsdiksn 5 martabat.
3. Al Hafidh ibnu Hajar menjadikan 6 martabat bagi Ta’dil dan 6 martabat bagi tajrieh.
A. Tiap-tiap ibarat yang masuk kepadanya fi’il tafdlil dan yang menyerupai fi’il tafdil yang menunjukan kepada mubalaghah, yaitu seperti kata ulam hadits :
1.“ Si anu orang yang paling kepercayaan”.
2. “ Si Anu orang yang paling kuat hafalannya dan keadilannya”.
Dan perkataan.
“Kepadanyalah kesusahan”.
An Nawawi memasukan ke dalam martabat ini perkataan:
“ tak ada sesorang yanga lebih kuat dari padanya”.
“ dan siapa yang sama si anu”.
“ si polan ditanya tentang keadaannya “
Martabat inilah yang dipandang paling tinggi dari martabat yang lain.
B. Tiap-tiap ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi, dengan mengulangi-ulangi lafadh yang menunjukan kepada keadilan, dua kali atau lebih, baik lafadh yang kedua itu, lafadh yang pertama, ataupun yang semakna dengan lafadh yang pertama, dan makin banyak diulang-ulang kalimat itu, makin menunjukan maksud seperti dikatakan ;
Kepercayaan,kepercayaan
Kepercayaan, kuat hafalan.
Penghafal hadits dan orang yang perkataannya jadi hujjah.
Di antaranya perkataan Ibnu Sa’id dalam thabaqat terhadap syu’bah :
“Kepercayaan, orang yang terpelihara, teguh hafalan, perkataanya menjadi hujjah, pemelihara hadis.
Ibnu Uyainah mengatakan, bahwa telah diceritakan kepadanya oleh Amer ibn Dienar dan beliau seorang tsiqah Sembilan kali Ibn Uyainah kata tsiqah.
C. Ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi, dengan sesuatu lafadh yang member pengertian, bahwa perawi itu kokoh ingatannya, seperti dikatakan
1. Si polan orang yang teguh hati dan lidah
2. Si polan teguh dan bagus riwayatnya
3. Si polan kepercayaan
4. Si polan penghafal hadits
5. Si polan seorang yang teguh hafalannya
6. Si polan hijjah
D. Ibarat yang menunjukkan kepada derajat para perawi dengan suatu lafald yang tidak memberi pengertian, bahwa dia itu orang yang kokoh ingtannya, seperti
1. si polan orang yang sangat benar
2. si polan boleh dipegang perkataanya
3. si polan tak ada padanya cacat
4. si polan tak ada cacattan padanya
5. si polan orang pilihan
Diterangkan oleh ibnu Abi Hatim bahwa perawi yang dikaitkan demikian terhadap dirinya, ditulis haditsnya lalu diselidiki apakah orang itu kuat ingatan, atau tidak.
E. Ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi dengan sifat yang tidak member pengertian bahwa dia, kokoh ingatan dan tidak pula menunjukkan kepada benar dan amanah, seperti perkataan :
“ Si polan adalah orang yang dapat dipandang benar”
Masuk kedalam martabat ini, perkataan :
1. Si polan orang yang diriwayatkan dari padanya
2. Si polan yang pertengahan
3. Si polan seorang syaikh
4. Si polan seorang yang pertengahan dan seorang syaikh
5. Si polan seorang yang baik haditsnya
6. Si polan seorang yang mendekati haditsnya
7. Si polan seorang yang indah haditsnya
8. Si polan sesorang yang didekati hadisnya.
9. Si polan seorang yang shahih haditsnya
Di sini perlu ditegaskan bahwa Al Bulqini berpendapat, Muqaribul Hadits ( dengan mengkasrahkan raa) dipakai lafadh ta’dil sedangkan muqarabul hadits ( dengan mengghafathahkan raa) dipakai buat lafadh tajrih.[6] Makna muqarrab adalah radie’un = buruk. Diterangkan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani bahwa masuk kedalam martabat ini, apabila dikumpulkan antara lafadh shaduuq dengan lafadh yang menunjukan kepada lemah seperti :
1.orang yang benar, buruk hafalannya
2. orang benar, tapi berwaham
3. oarng benar, yang banyak waham
4. orang benar yang sering silap
5. orang yang benar berubah akal diakhir umurnya
Hadist-hadits orang yang tersebut ini, ditulis untuk I’tibar dan nadhar. Dan dimasukkan pula kedalam martabat ini, mensifatkan perawi, dengan ahli bid’ah. Seperti dikatakan : “ dia menganut madhzab Syi’ah, madzhab Qadariyah, Murjiyah dan lain-lain sebagainya.
F. Ibarat yang menunjukkan kepada derajat perawi dengan sesuatu lafadh dari lafadh-lafadh yang telah lalu, kemudian diiringinya dengan perkataan “ jiak dikehendaki allah”, atau menunjukan bahwa perawi itu tidak teguh mempunyai sifat-sifat itu, seperti dikatakan:
1. dia seorang benar insya allah
2. saya harap dia orang yang dapat diterima
3. si polan orang yang sedikit salih
Al Hafidh ibnu Hajar Al Asqalani menambah lagi dengan perkataan :
“Yang dierima”
Golongan ini ditulis haditsnya untuk dinadharkan. Tegasnya, tiga martabat yang pertama, ditulis dengan tidak dinadharkan lagi. Tiga martabat yang ke dua, ditulis haditsnya untuk dinadharkan. Diterima syahadat terhadap penetapan-penetapan tersebut dengan akuan seorang yang mengetahui sebab-sebab tazkiyah (ta’dil), seperti Asy Syafi’I, Ahmad dan Al bukhari.
6. HUKUM JARH
Al imam An Nawawi dalam muqaddamah Syarah Muslim mengatakan bahwa telah sepakat para ulama membolehkan mencatat para perawi lantaran hal itu diperlukan untuk memelihara agama. Hal ini tidak dipandang upa, bahkan dipandang suatu nasehat yang harus kita lakukan demi kepentingan agama. Ulama-ulam dan tokoh-tokoh utama membuat yang demikian.
7. MARTABAT-MARTABAT TAJRIEH
Sebagaimana ta;dil bermatabat, begitu juga tajrieh. Kesatu, memakai kata-kata yang menunjukkan kepada tercela perawi. Seburuk-buruk lafadh-lafadh tajrih, ialah mensifatkan perawi dengan ibarat yang menunjukkan kepada sangat dusta dalam mewadla’kan hadits, atau dengan kedua-duanya seperti :
1. Si polan seorang yang paling dusta
2. Seorang yang paling banyak membuat hadits palsu
3. Kepadanya puncak pembuatan hadits palsu
4. Dia tiang tonggak dusta
5. Dia sumber dusta
Kedua memakai kata-kata atau istilah :
1. Dia dajjal pengrusak
2. Dia seorang yang banyak memalsukan hadits
3. Dia seorang yang sangat pendusta
Kedua mensifatkan perawi dengan salah satu sifat dusta dan memalsukan hadits, tetapi tidak terlalu merekankan, atau mensifatkanny dengan sifat yang kurang buruknya dari dusta dan memalsukan hadits seperti:
1. Si anu terdutuh berdusta
2. Si anu tertuduh memalsukan hadits
3. Si polan padanya ada peninjauan
4. Si polan seorang yang gugur
5. Si polan seorang yang biasa
6. Si polan orang yang tidak di I’tibarkannya
7. Si polan, tidak di I’tibarkan haditsnya
8. Si polan para ulama berdiam diri tentang halnya
9. Si polan seorang yang tidak diacuhkan
10. Si polan oaring yang di tinggalkan
11. Si polan orang yang ditinggalkan haditsnya
12. Si polan para ulam meninggalkannya
13. Si polan bukan orang kepercayaan
Ketiga memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :
1. Si polan para ulama membuang haditsnya
2. Si polan orang yang dicampak
3. Si polan orang yang dicampak haditsnya
4. Si polan dla’if sekali
5. Si polan orang yang ditolak
6. Si polan para ulama menolak haditsnya
7. Si polan orang yang ditolak haditsnya
8. Si polan tidak dipandang apa-apa
9. Si polan tidak menyamai apa-apa
Keempat memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :
1. Si polan tidak diambil hujjah dengan dia
2. Si polan munkar hadits
3. Si polan bolak-balik haditsnya
4. Si polan lemah
5. Si polan dla’if
6. Si polan para ulama melemahkannya
Kelima memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :
1. Si polan dilemahkan
2. Si polan padanya ada kelemahan
3. Si polan pada haditsnya ada kelemahan
4. Si polan padanya ada pembicaraan
5. Si polan pada haditsnya ada pembicaraan
6. Si polan diingkar dan diakui, yakni sekali membawa hadits munkar dan sekali dia membawa ma’ruf
7. Si polan padanya ada perselisihan
8. Si polan diperkatakan ulama
9. Si polan dicecat ulama
10. Si polan mempunyai kelemahan
11. Si polan buruk hafalannya
12. Si polan lembut
13. Si polan lembut haditsnya
14. Si polan bukan hujjah
15. Si polan tidak kuat
16. Si polan tidak kukuh
17. Si polan bukan pegangan
18. Si polan tidak ada artinya
19. Si polantidak sama dengan kuat itu
20. Si polan bukan orang tidak diridlai
21. Si polan saya tidak ketahui buruknya
22. Si polan saya harap tak ada buruknya
Golongan ini ditulis haditsnya I’tibar. Golongan ini paling dekat kepada ta’dil. Ibnu Abie Hatim mengatakan bahwa: “ orang yang lembut haditsnya”, maka dikatakn laiyinul= orang yang lembut haditsnya, maka hadits tersebut di tulis untuk dinadharkan.
.