ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Sabtu, 11 Februari 2012

Epistimologi Ilmu Dalam Islam


Pembahasan ilmu pengetahuan dalam Islam dapat ditinjau dari dua sisi: ontologi dan epistemologi. Walaupun pembahasan tersebut dalam literatur Islam tidak tersusun secara rapi dan tersendiri, kita dapat menemukan pembahasan tersebut dalam beberapa kajian filsafat seperti pembahasan yang berkaitan dengan non meterialnya ilmu, tingkatan-tingkatan ilmu, terbaginya ilmu ke dalam beberapa bagian, dll.
Secara ontologis, kita bisa membahas ilmu dari keberadaanya, apakah ia materi ataukah bukan. Kita sama sekali tidak membahas tentang gambaran atau comprehensif ilmu. Adapun dari sisi epistemologi, kita bisa membahas ilmu dari sisi representifnya setelah kita membuktikan secara ontologis tentang keberadaan ilmu tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa kajian epistemologi ini sebenarnya adalah pembahasan derajat kedua. Meskipun demikian, secara subtansial pembahasan epistemologi ini sangat berbeda dengan pembahasan pertama tadi.
Dalam kajian kedua ini kita dapat meninjau bagian-bagian ilmu seperti pembagian ilmu kepada representatif dan judgement (justifikasi); ataupun pembagian lainnya kepada empirical knowledge dan intuitif knowledge (ilmu husuli dan hudhuri); atau pada aksioma dan discursiv dan pembahasan tentang secondary intelligible.
Banyak filosof Islam mencurahkan segala kemampuan mereka untuk mengkaji pembahasan seputar epistemologi ini. Salah satu pembahasan yang menjadikan pertentangan di antara filosof muslim adalah berkaitan dengan tolok ukur benar dan salah. Para filosof Islam berpendapat bahwa antara alam understanding (dzihni) dan alam external (khariji) memiliki hubungan yang erat. Gambaran yang dimiliki oleh ilmu –alam understanding (zihn)- tidak sekedar gambaran yang tidak memiliki kenyataan. Apa saja dari gambaran yang ia tampung itu memiliki kenyataan (realitas).
Akan tetapi, para filosof yang lainnya memiliki pendapat berbeda. Bagi mereka, hubungan antara alam understanding dan external bukanlah hubungan gambar dengan objeknya. Untuk memudahkan kita memahami pendapat ini ada satu pendekatan yang sangat mudah untuk kita cerna bersama. Ketika kita menggambar kuda di atas kanvas, apa yang ada di atas kanvas tersebut ingin memberikan pesan kepada kita bahwa gambar tersebut memiliki objek dan ia adalah kuda yang ada di alam realitas: bernafas, makan, minum, berjalan, dll.
Ini salah satu dari bahasan yang terdapat dalam filsafat Islam tentang ilmu. Oleh karna itu, alangkah baiknya kalau kita gambarkan beberapa masalah secara universal tentang ilmu baik dari sisi ontologis ataupun epistemilogis, walaupun pada akhirnya, kajian ini hanya difokuskan pada bahasan kedua (epistemologi)
B. Sumber-Sumber Ilmu
Ilmu manusia tersusun dari hal-hal yang sederhana. Contohnya, kalau kita hendak mengetahui manusia, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui definisi manusia sehingga kita dapat membedakan antara manusia dari yang lainnya. Pengetahuan kita tentang manusia tersusun dari beberapa hal-hal yang simple yaitu bahwa manusia itu berpikir, berbadan, dan perasa. Akan tetapi, yang menjadi objek kajian para filosof Islam ialah: dari manakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple tersebut? Dengan metode atau perangkat apakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple tersebut? Dari sinilah munculnya perbedaan antara filosof-filosof dari zaman Yunani sampai sekarang: antara Plato dan Aristoteles, antara Avessina dan Syuhrawardi, antara kaum paripatetik dan intuitivis, serta antara rasionalis dan empiris.
Sementara dalam Islam, sumber ilmu itu diperoleh melalui tiga sumber utama yang banyak dijelaskan oleh Al-Quran, yaitu as-sam‘u, al-basharu, dan al-fuâdu. Ketiga hal ini merepresentasikan tiga akar epistema, yaitu Informasi (al-khabar), Indera (al-hiss), dan Rasio (al-‘aql). Sumber yang reliabel dari kegiatan keilmuan yang berbasis tiga akar ini wujudnya adalah informasi yang valid (naql mushaddaq) atau kajian yang akurat (bahts muhaqqaq). Selain kedua hal ini, yang ada adalah karangan palsu (hadzayân musarwaq). Dan dari semua materi sumber keilmuan yang ada di dunia, meteri yang diberikan oleh Kalâmu’llâh, Sunnatu’r Rasûl, dan Ijmâ‘u’l Ummah adalah yang paling bisa dipertanggungjawabkan. Sebab informasi yang paling valid adalah informasi yang diberikan oleh ketiga sumber ini, dan kajian yang paling akurat adalah juga kajian yang disajikan oleh ketiga sumber ini. Sedangkan di luar tiga sumber ini, semuanya masih mengandung kemungkinan salah informasi, invaliditas pengamatan, atau keluputan penalaran.
C. Ilmu dan Nilai
Kaitan Ilmu dengan Nilai adalah worldview atau pandangan hidup. Matrik dari worldview sendiri bisa diukur dari apa yang ada dipikiran orang, sebab di dalam worldview terdapat kerangka-kerangka kerja konseptual (framework). Worldview sendiri mempunyai kaitan erat dengan cultural, sains maupun religi, oleh karena itu kita mengenal, misalnya istilah Christianity Worlview, Medieval Worldview, Scientific Worldview, Modern Worldview dan Islamic Worldview. Di Barat orang lebih sreg menerima denominasi berdasarkan istilah worldview ketimbang “agama”. Hegel misalnya, ketika ia membaca teologi Hindu maka ia menyebutnya dengan Indichen Worldview.
Nilai-nilai yang dihasilkan dari masing-masing Worldview inilah yang kemudian menjadikan worldview mirip dengan kepercayaan keagamaan yang bersifat individual yang kemudian mengkolektif (Hussel dalam Crisis Of European Sains). Oleh sebab itu, masing-masing peradaban mempunyai karakteristik yang berbeda dengan peradaban lainnya. Pandangan Barat misalnya, yang memandang ilmu yang hanya sebatas modulus sensilibis atau dunia indrawi saja (Hegel & Goethe), ini berbeda dengan pandangan Islam yang memandang luasan worldview itu seluas skala wujud “ru’yatan Islam lil wujud” (SM. Naquib Al Attas).
Oleh sebab itu Thomas S Kuhn mengungkapkan bahwa sesungguhnya worldview merupakan paradigma yang menyediakan nilai, standart dan metodologi tertentu yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik. Disatu sisi inilah worldview merupakan dinamika pemikiran yang positif. Worldview dan paradigma memiliki variable konsep yang terstruktur, yang menjadikannya framework permikiran dan disiplin ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya ilmu menjadi sarat dengan nilai, alias tidak netral dan tidak bebas nilai namun sarat dengan nilai.
Hal ini dibuktikan bahwa peradaban Barat (western worldview) memandang ilmu hanya bersumber sebatas panca indera dan akal (Kant, Hegel, Goethe), maka dengan pandangan ini telah melahirkan berbagai macam faham pemikiran dalam peradapan Barat seperti rasionalisme, empirisme, skeptisisme, relatifisme, ateisme, agnotisme, humanisme, sekularisme, eksistensialisme, materialisme, sosialisme, kapitalisme dan liberalisme.
Sementara dalam Islam, al Qur’an dan Sunnah dalam Islam menjadi tolak ukur dalam setiap pandangan, cara berfikir tiap Muslim. Ilmu-ilmu seperti fiqh, hadith, tafsir, falak, tabi’ah, hisab dan sebagainya, adalah derivasi dari konsep wahyu. Ini berarti worldview Qur’an telah menghasilkan framework dan disiplin ilmu yang ekslusif. Orang Barat misalnya, tidak dapat mengadopsi metode ta’dil dan tarjih ilmu hadith, atau mengadopsi ilmu fara’id dalam Islam dan seterusnya. Begitu pula sebaliknya, orang Islam juga tidak bisa terima konsep kebenaran dikotomik; obyektif-subyektif, tidak bisa pula menerima doktrin pan-sexualismenya Frued, doktrin evolusi Darwin dan seterusnya. Sebab, setiap konsep berangkat dari framework dan setiap framework diderivasi dari worldview. Sedang worlview Qur’an berbeda dengan Western Worldview.
Jadi pandangan tentang Ilmu adalah bebas nilai itu sebetulnya tidak tepat. Sebab, pandangan ini muncul dari nilai-nilai dalam worldview barat. Hal ini membuktikan bahwa pandangan tentang Ilmu adalah bebas nilai itu sesungguhnya adalah sebuah Nilai yang dipenggang oleh penganutnya. Inilah yang tanpa disadari oleh para pengusungnya, sebagai sebuah “martil besar” yang meruntuhkan konsep obyektifitas “bebas nilai” yang mereka bangun dan mereka sakralkan. Sehingga Bulant Senay menyebut prinsip “bebas nilai” ini sebagai sebuah self-defeated atau mitos. Sebab konteks-konteks value jugdment dalam “bebas nilai” itu sendiri mengandung kesimpulan-kesimpulan awal yang tidak “bebas nilai”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar