ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Kamis, 30 Agustus 2012

Fakta Fosil Membantah Evolusi (Keruntuhan Teori Evolusi )



Menurut teori evolusi, setiap spesies hidup berasal dari satu nenek moyang. Spesies yang ada sebelumnya lambat-laun berubah menjadi spesies lain dan semua spesies muncul dengan cara ini. Menurut teori tersebut, perubahan ini berlangsung sedikit demi sedikit dalam waktu jutaan tahun. Dengan demikian, seharusnya pernah terdapat sangat banyak spesies peralihan selama periode perubahan yang panjang ini. sedikit demi sedikit dalam waktu jutaan tahun.
Sebagai contoh, seharusnya terdapat beberapa jenis makhluk setengah ikan-setengah reptil di masa lampau, dengan beberapa ciri reptil sebagai tambahan pada ciri ikan yang telah mereka miliki. Atau, seharusnya terdapat beberapa jenis burung-reptil dengan beberapa ciri burung di samping ciri reptil yang telah mereka miliki. Evolusionis menyebut makhluk-makhluk imajiner yang mereka yakini hidup di masa lalu ini sebagai "bentuk transisi".
Jika binatang-binatang seperti ini memang pernah ada, seharusnya mereka muncul dalam jumlah dan variasi sampai jutaan atau milyaran. Lebih penting lagi, sisa-sisa makhluk-makhluk aneh ini seharusnya ada pada catatan fosil. Jumlah bentuk-bentuk peralihan ini pun semestinya jauh lebih besar daripada spesies binatang masa kini dan sisa-sisa mereka seharusnya ditemukan di seluruh dunia. Dalam The Origin of Species, Darwin menjelaskan, "Jika teori saya benar, pasti pernah terdapat jenis-jenis bentuk peralihan yang tak terhitung jumlahnya, yang mengaitkan semua spesies dari kelompok yang sama... Sudah tentu bukti keberadaan mereka di masa lampau hanya dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan fosil."
Bahkan, Darwin sendiri sadar akan ketiadaan bentuk-bentuk peralihan tersebut. Ia berharap bentuk-bentuk peralihan itu akan ditemukan di masa mendatang. Namun, di balik harapan besarnya ini, ia sadar bahwa rintangan utama teorinya adalah ketiadaan bentuk-bentuk peralihan. Karena itulah, dalam buku The Origin of Species, pada bab Difficulties of the Theory ia menulis, "... Jika suatu spesies memang berasal dari spesies lain melalui perubahan sedikit demi sedikit, mengapa kita tidak melihat sejumlah besar bentuk transisi di mana pun? Mengapa alam tidak berada dalam keadaan kacau-balau, tetapi justru seperti kita lihat, spesies-spesies hidup dengan bentuk sebaik-baiknya...?" Menurut teori ini harus ada bentuk-bentuk peralihan dalam jumlah besar, tetapi mengapa kita tidak menemukan mereka terkubur di kerak bumi dalam jumlah tidak terhitung...? Dan, pada daerah peralihan yang memiliki kondisi hidup peralihan, mengapa sekarang tidak kita temukan jenis-jenis peralihan dengan kekerabatan yang erat? Telah lama kesulitan ini sangat membingungkan saya.
Satu-satunya penjelasan Darwin atas hal ini adalah bahwa catatan fosil yang telah ditemukan hingga kini belum memadai. Ia menegaskan, jika catatan fosil dipelajari secara terperinci, mata rantai yang hilang akan ditemukan.
Karena mempercayai ramalan Darwin, kaum evolusionos telah berburu fosil dan melakukan penggalian mencari mata rantai yang hilang di seluruh penjuru dunia sejak pertengahan abad ke-19. Walaupun mereka telah bekerja keras, tak satu pun bentuk transisi ditemukan. Bertentangan dengan kepercayaan evolusionis, semua fosil yang ditemukan justru membuktikan bahwa kehidupan muncul di bumi secara tiba-tiba dan dalam bentuk yang telah lengkap. Usaha mereka untuk membuktikan teori evolusi justru tanpa sengaja telah meruntuhkan teori itu sendiri.
Seorang ahli paleontologi Inggris ternama, Derek V. Ager, mengakui fakta ini meskipun dirinya seorang evolusionis: "Jika kita mengamati catatan fosil secara terperinci, baik pada tingkat ordo maupun spesies, maka yang selalu kita temukan bukanlah evolusi bertahap, namun ledakan tiba-tiba satu kelompok makhluk hidup yang disertai kepunahan kelompok lain."
Ahli paleontologi evolusionis lainnya, Mark Czarnecki, berkomentar, "Kendala utama dalam membuktikan teori evolusi selama ini adalah catatan fosil: jejak spesies-spesies yang terawetkan dalam lapisan bumi." Catatan fosil belum pernah mengungkapkan jejak-jejak jenis peralihan hipotetis Darwin. Sebaliknya, spesies muncul dan musnah secara tiba-tiba. Anomali ini menguatkan argumentasi kreasionis bahwa setiap spesies diciptakan oleh Tuhan.
Mereka juga harus mengakui kesia-sian menunggu kemunculan bentuk-bentuk transisi yang "hilang" di masa mendatang, seperti yang dijelaskan seorang profesor paleontologi dari Universitas Glasgow, T. Neville George, "Tidak ada gunanya lagi menjadikan keterbatasan catatan fosil sebagai alasan. Entah bagaimana, catatan fosil menjadi berlimpah dan hampir tidak dapat dikelola, dan penemuan bermunculan lebih cepat dari pengintegrasian.... Bagaimanapun, akan selalu ada kekosongan pada catatan fosil."
Kehidupan Muncul di Muka Bumi dengan Tiba-Tiba dan dalam Bentuk Kompleks
Ketika lapisan bumi dan catatan fosil dipelajari, terlihat bahwa semua makhluk hidup muncul bersamaan. Lapisan bumi tertua tempat fosil-fosil makhluk hidup ditemukan adalah kambrium yang diperkirakan berusia 500--550 juta tahun.
Catatan fosil memperlihatkan, makhluk hidup yang ditemukan pada lapisan bumi periode kambrium muncul dengan tiba-tiba -tidak ada nenek moyang yang hidup sebelumnya. Fosil-fosil di dalam batu-batuan Kambrium berasal dari siput, trilobita, bunga karang, cacing tanah, ubur-ubur, landak laut dan invertebrata kompleks lainnya. Beragam makhluk hidup yang kompleks muncul begitu tiba-tiba, sehingga literatur geologi menyebut kejadian ajaib ini sebagai "Ledakan Kambrium" (Cambrium Explosion).
Sebagian besar bentuk kehidupan yang ditemukan dalam lapisan ini memiliki sistem kompleks, seperti mata, insang, sistem peredaran darah, dan struktur fisiologis maju yang tidak berbeda dengan kerabat modern mereka. Misalnya, struktur mata majemuk berlensa ganda dari trilobita adalah suatu keajaiban desain. David Raup, seorang profesor geologi di universitas Harvard, universitas Rochester, dan universitas Chicago mengatakan, "Trilobita memiliki desain optimal, hingga dibutuhkan seorang rekayasawan optik yang sangat terlatih dan sangat imajinatif jika ingin membuatnya di masa kini."
Binatang-binatang invertebrata kompleks ini muncul secara tiba-tiba dan sempurna tanpa memilki kaitan atau bentuk transisi apa pun dengan organisme bersel satu yang merupakan satu-satunya bentuk kehidupan di bumi sebelum mereka.
Richard Monastersky, editor Earth Sciences, salah satu terbitan populer dalam literatur evolusionis, memberikan pernyataan di bawah ini mengenai "Ledakan Kambrium" yang muncul sebagai kejutan besar bagi evolusionis: "Setengah milyar tahun lalu, binatang-binatang dengan bentuk-bentuk sangat kompleks seperti yang kita lihat pada masa kini muncul secara tiba-tiba. Momen ini, tepat di awal Periode kambrium Bumi sekitar 550 juta tahun lalu menandai ledakan evolusioner yang mengisi lautan dengan makhluk-makhluk hidup kompleks pertama di dunia. Filum binatang besar masa kini ternyata telah ada di awal masa Kambrium. Binatang-binatang pertama itu pun berbeda satu sama lain sebagaimana binatang-binatang saat ini."
Bagaimana bumi ini dipenuhi berbagai jenis binatang secara tiba-tiba dan bagaimana spesies yang berbeda-beda ini muncul tanpa nenek moyang yang sama adalah pertanyaan yang masih belum terjawab oleh evolusionis. Richard Dawkins, ahli zoologi Oxford, salah satu pembela evolusionis terkemuka di dunia, berkomentar mengenai realitas ini, "Sebagai contoh, lapisan batuan Kambrium yang berumur sekitar 600 juta tahun adalah lapisan tertua di mana kita menemukan sebagian besar kelompok utama invertebrata. Dan kita dapati sebagian besarnya telah berada pada tahap lanjutan evolusi, saat pertama kali muncul. Mereka seolah-olah ditempatkan begitu saja di sana, tanpa proses evolusi. Tentu saja kesimpulan tentang kemunculan tiba-tiba ini menggembirakan kreasionis."
Dawkins terpaksa mengakui, "ledakan Kambrium" adalah bukti kuat adanya penciptaan, karena penciptaan adalah satu-satunya penjelasan mengenai kemunculan bentuk-bentuk kehidupan yang sempurna secara tiba-tiba di bumi ini. Douglas Futuyma, ahli biologi evolusionis terkemuka mengakui fakta ini dan mengatakan, "Organisme muncul di muka bumi dengan dua kemungkinan: dalam bentuk yang telah sempurna atau tidak sempurna. Jika muncul dalam bentuk tidak sempurna, mereka pasti telah berkembang dari spesies yang telah ada sebelumnya melalui proses modifikasi. Jika mereka memang muncul dalam keadaan sudah berkembang sempurna, mereka pasti telah diciptakan oleh suatu kecerdasan dengan kekuasaan tidak terbatas." Darwin sendiri menyadari kemungkinan ini ketika menulis, "Jika banyak spesies benar-benar muncul dalam kehidupan secara serempak dari genera atau famili-famili yang sama, fakta ini akan berakibat fatal bagi teori penurunan dengan modifikasi perlahan-lahan melalui seleksi alam." Agaknya, periode Kambrium merupakan "pukulan mematikan" bagi Darwin. Inilah yang membuat seorang ahli paleoantropologi evolusionis dari Swiss, Stefan Bengston, mengakui ketiadaan mata rantai transisi saat ia menjelaskan tentang periode Kambrium. Ia mengatakan, "Peristiwa yang mengecewakan (dan memalukan) bagi Darwin ini masih membingungkan kami."
Seperti yang kita pahami, catatan fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup tidak berevolusi dari bentuk primitif ke bentuk yang lebih maju, tetapi muncul secara tiba-tiba dan dalam keadaan sempurna. Ringkasnya, makhluk hidup tidak muncul melalui evolusi, tetapi diciptakan.

Rabu, 29 Agustus 2012

Konsep Khusyu dalam Alquran



"Maka Kami memperkenankan doanya dan Kami anugerahkan Kepada-Nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada kami dengan harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami." (Al-Anbiya: 90).
alam Al-Qur'an kata khusyu' disebutkan sebanyak 17 kali dalam bentuk kata yang berbeda. Meskipun mayoritas tunjukannya kepada manusia namun ada juga sebahagian ayat yang menyatakan bahwa khusyu' berlaku juga untuk benda-benda yang lain seperti gunung dan bumi.
Dengan adanya tunjukan kepada selain manusia ini paling tidak dapat dijadikan sebagai 'ramuan' untuk membakukan arti khusyu' yang sebenarnya.
Berdasarkan informasi Al-Qur'an inilah akan dapat dijawab seperangkat pertanyaan yang berkaitan dengan masalah khusyu' yaitu bagaimana yang dikatakan khusyu', apa syarat-syarat untuk mendapatkan khusyu' bagaimana cara menambah ke khusyukan serta imbalan apa yang diperoleh ketika seseorang sudah berada dalam keadaan khusyu?
Pengertian Khusyu'
Berdasarkan informasi ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan khusyu' maka didapati pengertian bermacam-macam yang intinya tetap mengacu kepada 'merendahkan diri'.
Bervariasinya pengertian khusyu' dalam Al-Qur'an ini menunjukkan bahwa sifat khusyu' tidak hanya berlaku dalam satu koneks ibadah saja seperti shalat akan tetapi bisa meluas kepada berbagai aspek baik yang berhubungan dengan ibadah maupun yang non ibadah.
Dengan demikian, sifat khusyu' adalah sifat yang melekat pada diri seseorang kapan dan dimana saja dan tidak hanya tertentu dalam konteks ibadah saja.
Dalam Q.S Thaha ayat 108 misalnya disebutkan bahwa khusyu' ialah merendahkan suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Namun pada Q.S. Fushshilat: 39 diartikan dengan tandus, yaitu bumi yang kering tandus dan bilamana disiramkan air ke atasnya jadilah bumi itu bergerak dan subur.
Berlainan dari pengertian kedua ayat di atas maka dalam Q.S Al-Syura: 45 dijelaskan bahwa arti khusyu' ialah tunduk karena merasa hina. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa orang-orang kafir yang digiring ke dalam neraka akan tertunduk karena merasa terhina sementara pandangan mereka penuh dengan kelesuan.
Khusyu' dalam arti tunduk karena merasa terhina dapat dijumpai pada ayat-ayat yang lain. Selain tunduk karena merasa malu maka terdapat juga dalam ayat yang lain yaitu tunduknya hati lantaran mengingat Tuhan dan kebenaran yang diturunkan-Nya seperti dalam Q.S Al-Hadid ayat 16, begitu juga tunduk disebabkan takut kepada Allah sebagaimana dalam Q.S Al-Hasyar: 21.
Berdasarkan informasi ayat-ayat di atas tentang makna khusyu' maka dapat ditarik suatu kesipulan bahwa makna khusyu' terbagi kepada dua yaitu yang bersifat lahiriyah dan bathiniyah.
Dalam konteks lahiriyah dapat dilihat melalui pandangan mata seperti gersangnya bumi dan lesunya wajah orang-orang kafir, sementara yang bersifat bathiniyah yaitu tidak dapat dijangkau melalui inderawi karena arti khusyu' dalam konteks ini berhubungan dengan masalah hati yang tunduk ketika mengingat Tuhan.
Dengan demikian pengertian khusyu' ialah rendahnya hati kepada Tuhan dan baiknya tindakan dan prilaku kepada sesama makhluk.
Syarat-syarat Untuk Khusyu'
Adapun syarat untuk berlaku khusyu' sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 45 dan 46 ialah adanya suatu keyakinan akan menemui Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.
Adanya keyakinan akan berjumpa dengan Tuhan untuk mempertanggungjawabkan seseorang untuk berlaku khusyu' karena yang terjalin di benaknya ialah adanya kekhawatiran ketika menghadap Zat Yang Mahakuasa ini.
Dengan demikian segala aktifitasnya di dunia selalu dilandasi atas keridhaan Tuhan dan dalam situasi yang seperti inilah berlaku kekhusyukan baginya. Selain berjumpa dengan Tuhan yang meyakini bahwa suatu suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya.
Sedangkan dalam Q.S. Ali Imran: 199 dijelaskan bahwa syarat untuk menggapai tingkat khusyu' ialah tidak memperjualbelikan ayat-ayat Tuhan dengan harga yang murah.
Maksudnya, tidak memanifulasi ayat-ayat Tuhan gara-gara ingin merebut kedudukan dan kegemerlapan duniawi karena dunia ini sedikitpun tidak ada harganya pada sisi Tuhan. Penegasan ayat ini menunjukkan bahwa khusyu' baru dapat digapai dengan syarat bilamana ayat-ayat Tuhan tidak pernah digelintir unuk kepentingan duniawi.
Selanjutnya syarat untuk menggapai predikat khusyu' ialah bersegera mengerjakan kebaikan sebagaimana diinformasikan melalui Q.S. Al-Anbiya' ayat 90. Artinya dalam hal kebaikan tidak pernah menunda-nunda waktu dan senantiasa merasa terpanggil untuk melakukannya baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah.
Perlakuan dan sikap yang seperti ini dijadikan sebagai syarat untuk mendaki puncak khusyu' karena perbuatan baik adalah symbol dari sifat-sifat Tuhan.
Berdasarkan informasi ini dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan nilai khusyu' maka seseorang harus memenuhi kriteria-kriteria sebagaimana yang digambarkan oleh ayat-ayat di atas.
Oleh karena itu khusyu' tidak akan datang dengan sendirinya kecuali setelah seseorang dapat memenuhi persyaratan dengan baik sebagaimana yang telah diungkapkan dan sangat tipis harapan bila prediket khusyu' akan didapat bila hanya sekadar berbekal do'a.
Cara Meningkakan Khusyu' dan Imbalannya
Setelah seseorang menempuh persyaratan untuk mendapatkan nilai khusyu' maka langkah berikutnya ialah meningkatkan kualitas khusyu' yang sudah diperoleh.
Dengan demikian nilai khusyu' yang didapatkan oleh berfluktuasi adakalanya menurun dan adakalanya bisa naik dan bahkan bisa pupus sama sekali. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menambah nilai kekhusyukan ini tetap saja mengacu kepada informasi Al-Qur'an.
Dalam Q.S. Al-Isra': 107-110 digambarkan upaya-upaya yang harus ditempuh oleh seseorang guna meningkatkan kualitas khusyu' yang sudah diperolehnya.
Termasuk ke dalam upaya meningkatkan kualitas khusyu' ini ialah beriman kepada Al-Qur'an dan membacanya sambil menyungkur dan bersujud serta memuji Tuhan dengan penuh linangan air mata dan meminta kepada-Nya melalui nama-nama-Nya yang baik (asma' al-husna).
Redaksi ini tidak bisa dipahami secara letterlick yang semua orang bisa saja melakukan hal yang seperti ini, akan tetapi berat dugaan bahwa yang dimaksud dengannya ialah menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dan petunjuk dalam segala lini kehidupan.
Bagi orang-orang yang sudah mampu meraih kekhusyukan khususnya dalam sahalat dapat dipastikan akan meraih kemenangan sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. Al-Mukminun: 1-2.
Kemenangan ini tidak hanya sebatas urusan ukhrawi saja akan tetapi berlaku bagi segala bentuk kemenangan di dunia karena orang-orang yang khusyu' senantiasa bersikap rendah diri. Sikap rendah diri inilah yang mengantarkannya untuk disenangi oleh orang-orang yang berada di sekitarnya.
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa orang-orang yang khusyu' akan mendapat imbalan dari Tuhan berupa ampunan dan pahala yang besar sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Ahzab: 35.
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa orang-orang yang khusyu' akan mendapat tempat yang mulai baik di dunia maupun di akhirat.
Justru itu tidak ada pilihan lain guna meningkatkan harkat dan martabat kita kecuali menghiasi diri kita dengan sifat khusyu' meskipun kita termasuk orang yang paling pintar, kaya, gagah dan sebagainya.
Berdasarkan informasi ayat-ayat Al-Qur'an di atas maka dapat dipahami bahwa khusyu' adalah anugerah Tuhan yang didapati perjuangan panjang dengan menempuh seperangkat persyaratan-persyaratan sebagaimana yang telah digambarkan oleh Al-Qur'an dan sama sekali tidak akan datang dengan sendirinya kecuali setelah manusia berupaya untuk menggapainya.

Bertasawuf yang Berlebihan dan Menyesatkan


"Setiap nabi yang diutus Allah sebelumku pasti memiliki hawariyun dan para sahabat yang mengikuti sunnahnya serta menapaki ajarannya. Kemudian setelah itu datanglah suatu generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa melawan mereka dengan tangannya, maka ia adalah mukmin. Barangsiapa melawan mereka dengan lisannya, maka ia adalah mukmin, dan barangsiapa melawan mereka dengan hatinya, maka ia adalah mukmin. Dan selain itu tidak ada lagi keimanan walaupun sebesar biji sawi."
(HR. Muslim).
Sebagaimana yang telah kita bahas pada edisi terdahulu bahwa disamping apa yang menjadi penilaian oleh dua tokoh imam (Ibnu Taimiyah dan Hasan Al-Banna), tasawuf sebagai ajaran yang pada mulanya baik dan sesuai syareat, tidak luput pula kemudian tumbuh ajaran kaum shufi yang ekstrem yang bertentangan dengan syareat.

Agama itu hanyalah yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan yang disukai itu hanyalah yang dianjurkan Allah dan Nabi serta hamba pilihan-Nya. Setiap perkara yang tidak diperintahakan Allah dan tidak dilakukan oleh rasul-Nya, sekalipun bentuknya kelihatan baik dan hebat serta disukai banyak orang, ia tetap jelek dan tertolak dalam Dienul Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW. Sebab agama ini telah sempurna, sebagaimana yang telah Raulullah SAW ajarkan kepada ummatnya.

"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."
(Q. S. Al-Maidah: 3).

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah."
(Al-Hasyr: 7).

"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Q. S. Ali Iman: 31).

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(Al-Hujurat: 1).

Dengan memahami secara seksama akan ayat-ayat di atas dan masih banyak lagi, tentunya kita sebagai ummat yang beriman mengetahui bahwa kita hanya disuruh untuk mengikuti apa yang dijarkan oleh Rasulullah SAW. Maka jika terjadi yang selebihnya itu adalah seolah-olah kita tidak mempercayai Atau seolah kita mengkritik bahwa agama ini belum sempurna.

Sesungguhnya telah banyak jika kita mau menengok atau melihat praktek beragama secara berlebih-lebihan yang tidak diperintahkan oleh Rasulullah SAW.



Di antara Praktek Menjalankan Ibadah yang Berlebihan pada Jaman Rasulullah SAW dan Shahabat

Sikap ekstrem atau berlebih-lebihan di dalam beragama dapat kita lihat dalam hal sebagaimana yang akan dilakukan oleh orang-orang yang diceritakan dari Anas bin Malik r.a. bahwa ia berkata: "Tiga orang sahabat datang menemui isteri-isteri Rasulullah untuk menanyakan tentang ibadah beliau. Setelah diceritakan kepada mereka tentang ibadah Rasulullah, mereka menganggapnya terlalu sedikit. Sehingga mereka berkata: "Keadaan kita dengan beliau jauh berbeda, sesungguhnya Allah SWT telah mengampuni dosa-dosa beliau yang lalu dan yang akan datang!"

Maka salah seorang di antara mereka berkata: "Aku akan shalat malam terus-menerus." Seorang lagi berkata: "Aku akan berpuasa terus-menerus tanpa putus." Yang lain berkata: "Aku akan menjauhi kaum wanita dan tidak akan menikah selamanya."

Lalu datanglah Rasulullah SAW menemui mereka, beliau bersabda:
"Apakah kamu sekalian yang mengucapkan bagini dan begitu!" Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut danpaling bertaqwa kepada Allah! Namun di samping berpuasa aku juga berbuka (tidak berpuasa), di samping shalat aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku."
(Muttafaqun 'alaihi).

Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda:
"Bagaimana halnya kaum-kaum yang menjauhkan diri dari sesuatu yang kulakukan? Demi Allah, aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan paling takut kepada-Nya."
(Mutafaqun 'alaihi).

Juga sisa-sisa kaum terdahulu yang menjalankan praktek beragama yang berlebih-lebihan, masih ada dan berlanjut samapai sekarang dapat kita lihat, seperti dalam riwayat:
"Janganlah kamu memberatkan dirimu sendiri, sehingga Allah SWT akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan rahbaniyyah (hidup kependetaan) padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka."
(HR. Abu Dawud).

Ya'la bin Umayyah menceritakan: "Suatu ketika aku melakukan thawaf besama Umar bin Khaththab r.a., saat kami iba di tiang dekat pintu Ka'bah dan Hajar Aswad, aku segera mengusapnya dengan tanganku. Melihat itu Umar pun berkata: "Pernahkan engkau melakukan thawaf bersama Rasulullah SAW? "Pernah!" jawabku. "Apakah engkau pernah melihat beliau mengusapnya?" tanyanya lagi. "Tidak pernah!", balasku. Umar pun berkata: "Jauhkanlah dirimu dari perbuatan itu, cukuplah Rasulullah SAW sebagai teladan yang terbaik bagimua."
(Atsar Riwayat Ahmad dan Thabrani)



Di antara Praktek Menjalankan Ibadah yang Berlebihan pada Kaum Shufi

Allah SWT telah berfirman yang artinya:
"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar."
(Q. S. An-Nisa': 171).

Ajaran tasawuf yang ekstrem ditegakkan atas asas yang bertentangan dengan kaidah-kaidah tesebut. Praktek ibadah yang berlebih-lebihan itu, jauh dari nilai sunnah. Bahkan sebaliknya adalah bid'ah.

Di antara sikap yang berlebihan dapat dilihat sbb:

Asy-Sya'rani berkata: "Setiap faqir yang tidak pernah menahan lapar dan tidak menanggalkan pakaian maka ia termasuk pemburu dunia. Ia sama sekali tidak termasuk anggota tarekat tasawuf."
(Al-Akhlaq Al-Matbuliyah karangan Asy-Sya'rani II/94)

Asy-Sya'rani menukil ucapan Ahmad Ar-Rifa'i sebagai berikut: "Saya sangat senang bila murid (murid tarekat) selalu menahan lapar, tidak memakai baju (bertelanjang dada), fakir dan rendah diri."
(Al-Anwar A-Qudsiyah karangan Abdul Wahab Asy-Sya'rani I/132)

Ath-Thusi meriwayatkan dari Abu Ubeid AlBisri bahwa ia berkata:
"Apabila tiba bulan Ramadhan, Abu Ubeid Al-Bisri mengunci pintu rumahnya dan berkata kepada isterinya: "Lemarkanlah setiap harinya sepotong roti melalui lubang angin." Ia pun tidak keluar rumah hinga bulan Ramadhan berakhir. Ketika isterinya memasuki rumah, ternyata didapatinya tiga puluh potong roti dalam keadaan utuh belum disentuh di sudut rumah."
(Al-Luma' karangan Ath-Thusi Abu Nashr As-Sarraj, hal. 217)

Salah seorang penulis biografi kaum sufi mengisahkan tentang seorang sufi asal India bernama Syah Miyanjii Begh. Konon ia pernah beri'tikaf mulai awal bulan Rajab sampai sepuluh Muharram (hari Asyuraa'). Ia menutup pintu tempat I'tikaf dan mengurung diri di dalamnya selama enam bulan tidak makan dan tidak juga minum. Dikabarkan bahwa ia wafat pada tahun 889 H.
(Tadzkirah Auliya' Birr Shaghir karangan Mirza Muhammad Akhtar Ad-Dahlawi II/42)

Seorang shufi yang sudah popular bernama 'Ainuddin (wafat tahun 822 H) konon ia meminum khamar siang dan malam.
(Tadzkiratul Auliya' Birr Shaghir karangn Mirza Akhtar Ad-Dahlawi I/203)

'Aun bin Abdullah bin 'Utbah, konon ia selalu mengenakan pakaian sutera.
(Thabaqat Asy-Sya'rani I/41)

"Termasuk perkara menakjubkan adalah diletakkannya Asma Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung pada cincin emas. Barang siapa mengenakan cincin emas itu, niscaya ia akan disegani manusia. Ia akan diagungkan, dimuliakan dan tinggi derajat dan pamornya di hadapan manusia hingga akhir hayatnya. Pada hari kiamat nanti ia akan dibangkitkan dalam keadaan aman dari ketergelinciran kala melewati titian Shiratul Mustaqim. Dan akan berat timbangan kebaikannya."
(Manba'u Ushulil Hikmah karangan Al-Buuni, hal. 46)

Coba bandingkan dengan ketentuan syariat yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan sbb:
"Telah dihalalkan emas dan sutera bagi kaum wanita dari umatku, dan diharamkan atas kaum pria."
(H. R. Tirmidzi dan Nasa'I)

Manakah yang benar? Ocehan kelompok shufi di atas ataukah sabda Rasulullah SAW?

Al-Hajweiri menukil ucapan sbb:
"Aku menemukan beberapa hikayat tentang seorang ulama syareat yang menguji Asy-Syibli dengan pertanyaan: "Apa saja yang dikeluarkan zakatnya?"
Asy-Syibli menjawab: "Jika kebakhilan merebak dan harta melimpah ruah maka wajib mengeluarkan zakat dua ratus dirham sebanyak lima dirham, zakat dua puluh dinar sebanyak setengah dinar, itu menurut madzhabmu, namun menurut kami selayaknya kamu tidak memiliki apapun sehingga engkau terbebas dari beban zakat!"
(Khasyful Mahjub karangan Al-Hajweiri, hal. 558)

Syaikh Muhammad berkata:
"Jika engkau ingin belajar tarekat maka jadikanlah pakaianmu sebagai serbet bagi kaum fuqara'." Pesan Syaikh Muhammad itupun dilakukannya. Maka setiap orang yang makan ikan atau sayuran membersihkan tangan mereka dengan bajunya. Hal itu ia lakukan selama satu tahun tujuh bulan, sehingga bajunya seperti baju tukang minyak atau baju para gembel. Setelah melihat keadaan bajunya seperti itu, barulah Syaikh Muhammad mengajarkan kepadanya wirid dan dzikir.
(Thabaqat Asy-Sya'rani II/128)

Dan masih banyak hal-hal yang aneh dan berlebihan yang dilakukan kaum shufi ekstrem.



Di antara Praktek Bid'ah Kaum Shufi

Asy-Sya'rani menulis tentang Umar bin Al-Faridh, dia mempunyai sejumlah gadis-gadis yang bernyanyi untuknya hingga membuatnya bergoyang dan gembira. Ia berani membeli mereka dengan harga mahal karena suara mereka yang merdu.
(Al-Anwar Al-Qudsiyah karangan Asy-Sya'rani )

Asy-Sya'rani meriwayatkan dari Abu Hafs Al-Haddad An-Naisaburi yang ditanya: "Salah seorang rekanmu berputar-putar mengelilingi majelis as-sama' (penyimakan dengan siulan dan tepukan, bertepuk tangan dan bersiul). Apabila mendengar as-sama', ia pasti menangis, berteriak histeris dan mengoyak-ngoyak bajunya." Abu Hafs menjawab: "Ia berbuat seperti orang tenggelam yang berpegang kepada apa saja yang dikiranya dapat menyelamatkan dirinya."
(Thabaqat Asy-Sya'rani I/81)

Allah SWT telah menyinggung apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, dengan firman-Nya, yang artinya:
"Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan."
(Q. S. Al-Anfal: 35)

Ba Yazid Al-Anshari (wafat 980 H) membagi dzikir menjadi beberapa bagian, ia berkata: "Adapun dzikir Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah adalah dzikir lisan. Dzikir sepeti ini dibolehkan dalam tingkatan syariat. Sementara dzikir Laa Ilaaha Illallah adalah dzikir hati, hanya dibolehkan jika sudah mencapai tingkatan tarekat. Sedang dzikir Illallah adalah dzikir ruh dengan meninggalkan syak wasangka. Hanya dibolehkan jika telah mencapai tingkatan hakekat. Lalu dzikir Allah?Allah termasuk dzikir batin, hanya boleh jika sudah mencapai tingkat ma'rifat. Dan dzikir Hu?Hu?adalah dzikir ghaib yang hanya boleh diucapkan bila sudah sampai tingkatan qurbah (kedekatan dengan Allah). Dan dzikir Laa Ilaaha illa anta adalah dzikir ghaibul ghaib, hanya dibolehkan jika sudah mencapai tingkat al-washlah (tiba di haribaan Allah). Dan terakhir lafzhul jalalah (asma Allah Yang Maha Agung) adalah dzikir madzkur yang hanya boleh diucapkan jika telah mencapai tingkat al-wihdah (penyatuan)."
(Maqshudul Mukminin karangan Ba Yazid Al-Anshari, hal.306)

Lantas bagaimana dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya:
"Dzikir yang paling utama adalah Laa Ilaaha Illallah."

Rasulullah SAW telah mensabdakan bahwa dzikir yang paling utama itu adalah yang demikian. Apakah Rasulullah SAW itu bohong, atau menyembunyikan syariat dari Allah?

Maka sungguh Rasulullah SAW telah menyampaikan apa yang harus disampaikan dari Allah SWT. Dan Allah SWT telah berfirman yang atinya:

"Katakanlah: 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."
(Q. S. Ahqaf: 9)

"Tiadalah Kami alpakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab."
(Al-An'am: 38)

"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepada engkau dari Tuhanmu; dan jika tidak engkau laksanakan, maka tidaklah engkau menyampaikan risalah-Nya."
(Q. S. Al-Maidah: 67)

"Dan telah Kami turunkan kepada engkau peringatan, supaya engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka berfikir."
(Q. S. An-Nahl: 44)

"Ikutilah semua yang diturunkan Tuhanmu kepadamu, dan janganlah kamu ikuti pemmpin-pemimpin, selain daripada-Nya, tetapi amat sedikit sekali di antaramu yang ingat."
(Q. S. Al-A'raf: 3)

Selain hal di atas ada juga pelaksanaan dzikir dengan bersama-sama dengan suara yang sangat keras dan menukik telinga bagi yang berada di dekatnya.

Padahal Allah SWT telah memerintahkan dengan firman-Nya yang artinya:
"Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara."
(Q. S. Al-A'af: 205)

Padahal tokoh shufi terkenal Ba Yazid jurstru meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau besabda:
"Dzikir yang paling utama adalah dzikir dengan suara lirih."
(Maqshudul Mukminin karangan Ba Yazid Al-Anshari, hal. 330)

Dan masih banyak lagi hal-hal yang berlebihan dan mengada-ada yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.



Yang Terbaik Adalah Mengikuti Sesuai Petunjuk Al-Qur'an dan As-Sunnah

Jika kita adalah orang yang mengimanai sabda Rasulullah SAW bahwa akan datang jaman penuh fitnah dan praktek bid'ah, maka hendaklah kita termasuk orang yang berusaha menolak dan memeranginya dengan kemampuannya masing-masing serta berhati-hati di dalam menimba ilmu dan mengamalkan syareat.

Maka Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah sebagai pedoman yang tidak boleh tidak ditinggalkan bagi kaum Muslimin. Siapa saja menemukan praktek ibadah yang bertentangan dengannya tinggalkanlah. Dan siapa saja menjumpai agama ini sesuai dengannya, maka ikutilah.

"Dan taatlah kamu sekalian kepada Allah dan taatlah kamu sekalian kepada Rasul, dan hati-hatilah kamu, karena jika kamu sekalian berpaling, maka ketahuilah olehmu, sesungguhnya tidak ada kewajiban atas Rasul Kami, melainkan menyampaikan pesan yang terang."
(Q. S. Al-Maidah: 92)

Imam Malik dan Anas meriwayatkan sebuah hadits sbb:
"Telah sampai kepadanya (Malik), bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda, yang artinya:
"Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara tidak akan tersesat kamu selama kamu berpegang teguh dengan kedua-duanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya."

(HR. Malik dan Anas)

Dari Ibnu 'Abbas r.a. berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Tidak akan lenyap sesuatu daripada sunnah, sehingga tampaklah yang semisalnya daripada bid'ah, sehingga lenyaplah sunnah dan tampaklah bid'ah, sehingga dianggap cukuplah bid'ah itu bagi orang yang tidak mengenal sunnah."
(HR. Ibnul Jauzi)

Dari Ibnu 'Abbas r.a. berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Sesungguhnya di masa kemudian aku akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman." Seorang shahabat bertanya: "Mengapa kita (orang yang beriman) memerangi orang-orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: "Kami telah beriman." Rasulullah bersabda: "Ya, karena mengada-adakan di dalam agama, apabila mereka mengerjakan agama dengan pendapat fikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pendapat fikiran. Sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya."
(HR. Thabrani)

Disadur dari:

  1. Tasawuf, Bualan Kaum Sufi ataukah Sebuah Konspirasi, Dr. Ihsan Ilahi Zhahir
  2. Kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, K.H. Moenawar Chalil

Kamis, 16 Agustus 2012

Selamat Hari Raya Iedul Fitri

Bulan Ramadhan tinggal menghitung hari kita akan segera masuk dibulan syawal yaitu hari raya iedul fitri .akankah kita akan kembali fitroh sesuai kejadian kita ????
semua itu bisa kita lihat indikasinya selama kita menjalani aktifitas selama bulan puasa apakah kita sudah melakukannya semaksimal mungkin jawabannya kembali pribadi kita masing2.
orang yang dikatakan ber hari raya minimal ada 4 kriteria  pertama puasa kita diterima Alloh Swt, kedua zakat kita diterima  dan ketiga dosa2 kita diampuni Alloh dan keempat amal ibadahnya diterima oleh Alloh.
sedangkan syarat sebuah amal diterima Alloh adalah dilakukan dengan ikhlas dan dilakukan sesuai contoh Rosululloh Saw.
.
semoga kita kembali fitri,, amin yaa robbal 'alamin

Jumat, 10 Agustus 2012

Keutamaan dan Keistimewaan Puasa



Segala puji hanya milik Allah Yang Maha Esa. Shalawat dan salam tetap atas seorang yang tidak ada nabi setelahnya, Muhammad saw, .... Amma ba'du.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda, yang artinya, "Segala amal kebaikan manusia adalah untuknya; satu kebaikan akan dibalas sepuluh hingga 700 kali-lipat. Allah SWT berfirman, 'Kecuali puasa, karena ia adalah milikKu dan Aku pula yang akan membalasnya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya, makanan dan minumannya karena Aku'. Ada dua kebahagiaan yang diperuntukkan bagi orang yang berpuasa; kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum bagi Allah daripada aroma minyak misik." (HR Bukhari dan Muslim).
Allah SWT telah mengistimewakan puasa di antara amal kebaikan lainnya dengan menyandarkannya langsung kepada Zat-Nya, dalam hadis qudsi Allah berfirman, "?kecuali puasa, karena ia adalah milikKu ?."
Mengenai makna hadis ini banyak dijumpai pendapat para fuqaha dan ulama lainnya, mereka menerangkan beberapa alasan pengistimewaan puasa ini, di antara alasan yang terbaik adalah:
Pertama, puasa adalah ibadah dalam bentuk meninggalkan keinginan dan hasrat jiwa yang dasar yang terbentuk secara fitrahnya cendrung mengikuti semua keinginannya dan dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Hal ini tidak terdapat pada ibadah-ibadah selain puasa. Ibadah ihram (haji atau umrah) misalnya, mengandung larangan melakukan hubungan suami-istri dan hal-hal yang merangsangnya seperti mengenakan parfum, sementara itu di dalamnya tidak terkandung larangan memenuhi hasrat jiwa yang lain seperti makan dan minum. Sama halnya dengan ihram, i'tikaf pun demikian, sekalipun ia merupakan ibadah yang ikut dalam cakupan puasa (i'tikaf di malam bulan Ramadhan, penerj.).
Sedangkan salat, sekalipun orang yang sedang salat diharuskan meninggalkan semua hasrat jiwanya, namun itu hanya dilakukan pada masa yang tidak lama, sehingga orang yang salat tidak merasa kehilangan makanan dan minuman, bahkan sebaliknya, ia dilarang salat ketika hatinya menginginkan makanan yang ada di hadapannya sampai ia memakannya ala kadarnya yang membuat hatinya tenang, karenanya, ia diperintahkan untuk makan malam terlebih dahulu sebelum salat.
Ini semua berbeda dengan puasa yang dilakukan sepanjang siang hari penuh. Oleh karena itu, orang yang berpuasa akan merasakan kehilangan hasrat jiwanya ini saat hatinya sangat menginginkannya, terutama pada siang hari musim kemarau yang sangat panas dan lama, oleh karena itu, ada sebuah riwayat menerangkan bahwa termasuk bagian dari iman puasa di musim kemarau.
Rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu al-Darda' ra, pernah berpuasa Ramadhan dalam sebuah perjalanan dalam cuaca yang sangat panas ketika para sahabat tidak ikut berpuasa (karena musafir mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa, penerj.). Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa Rasulullah saw pernah berada pada dataran tinggi ketika sedang berpuasa, ketika itu beliau menuangkan air ke atas kepalanya karena dahaga atau panas yang dirasakannya.
Ketika hati seseorang sangat merindukan sesuatu yang diinginkannya dan ia mampu untuk mendapatkannya, namun ia meninggalkannya karena Allah SWT, padahal ketika itu ia berada di suatu tempat yang tidak ada orang pun yang mengawasinya kecuali Allah, maka hal ini merupakan tanda kebenaran imannya.
Orang yang berpuasa yakin bahwa ia mempunyai Tuhan yang selalu mengawasinya ketika ia berada di tempat yang sepi, dan mengharamkan kepadanya memenuhi hasrat jiwanya yang memang telah dikodratkan bahwa ia akan selalu menginginkannya. Lalu ia pun menaati Tuhannya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya karena takut akan siksa-Nya dan mengharapkan pahala-Nya.
Oleh karena itulah, Allah berterima kasih kepadanya atas yang demikian itu dan Ia mengkhususkan amal perbuatan ini (puasa) di antara amal-amal lainnya untuk Zat-Nya, karenanya setelah itu Allah SWT berfirman, "Sungguh ia telah meninggalkan hasrat, makanan, dan minumannya semata-mata hanya karena Aku."
Tatkala seorang mukmin yang berpuasa mengetahui bahwa ridha Tuhannya terdapat pada upayanya meninggalkan hasrat jiwanya, maka ia akan lebih mendahului ridha Tuhannya atas hawa nafsunya. Maka jadilah kelezatan yang dirasakannya terdapat ketika ia meninggalkan hasratnya karena Allah, karena ia yakin bahwa Allah selalu mengawasinya dan pahala serta siksa-Nya lebih besar dibandingkan kelezatan yang diperolehnya ketika memenuhi hasratnya di tempat sepi. Hal ini karena ia lebih mementingkan ridha Tuhannya dari pada hawa nafsunya. Bahkan, kebencian seorang mukmin terhadap hal itu saat berada di tempat sepi akan lebih besar dibandingkan kebenciannya terhadap rasa sakit akibat pukulan.
Salah satu tanda keimanan adalah kebencian seorang mukmin terhadap keinginan hasrat jiwanya ketika ia tahu bahwa Allah tidak menyukainya, maka jadilah kelezatannya terdapat pada hal-hal yang diridhai oleh Tuhannya sekalipun bertentangan dengan keinginan nafsunya dan kepedihan yang dirasakannya terdapat pada hal-hal yang tidak disukai Tuhannya sekalipun bersesuaian dengan keinginan nafsunya.
Dikatakan dalam sebuah syair:
"Siksanya karenamu terasa sejuk dan jauhnya karenamu terasa dekat.
Engkau bagiku bagaikan nyawaku, bahkan engkau lebih aku cintai dibanding nyawaku.
Cukuplah bagiku rasa cinta bahwa aku mencintai apa yang engkau cinta."
Kedua, puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya yang hanya diketahui oleh-Nya, karena puasa terdiri dari niat yang tersembunyi yang hanya diketahui oleh Allah saja dan meninggalkan hasrat jiwa yang biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, dikatakan bahwa puasa ini tidak dicatat oleh malaikat hafadhah (pencatat amal).
Pendapat lain mengatakan bahwa pada puasa tidak terdapat riya'. Pendapat ini bisa dikembalikan kepada yang pertama, karena orang yang meninggalkan keinginan nafsunya karena Allah SWT di mana tidak ada yang mengawasinya ketika itu kecuali hanya Zat (Allah) yang memberinya perintah dan larangan, maka hal ini menunjukkan kebenaran imannya.
Allah SWT menyukai jika hamba-hamba-Nya berhubungan dengan-Nya secara rahasia dan orang-orang yang mencintai-Nya juga menyukai jika mereka dapat berhubungan dengan-Nya secara rahasia, sampai-sampai beberapa dari mereka sangat menginginkan seandainya para malaikat hafadhah (pencatat amal) tidak mengetahui ibadah yang dilakukannya. Ketika beberapa rahasianya terbongkar sebagian dari mereka berkata, "Hidup ini akan terasa nyaman ketika hubungan antara aku dan Dia tidak diketahui oleh siapa pun." Lalu ia memohon agar ia dimatikan, dan tak lama kemudian ia meninggal dunia. Orang-orang yang mencintai akan merasa cemburu seandainya orang-orang yang cemburu kepadanya mengetahui rahasia-rahasia antara mereka dan Zat yang mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.
"Janganlah kamu sebarkan rahasia yang terjaga, karena aku akan merasa cemburu jika yang aku cintai disebutkan di hadapan orang-orang yang ada bersamaku."

Membentengi Islam dari Berbagai Distorsi Pemikiran



Sejak masuknya sekularisme ke dunia Islam, baik melalui kolonialisme maupun interaksi budaya, dunia pemikiran Islam hampir tak pernah tenang dan tenteram. Polemik dan benturan pemikiran senantiasa mewarnai perjalanan peradaban Islam. Hampir setiap negeri muslim menyimpan sekurang-kurangnya dua kubu pemikiran: kubu Islam dan kubu sekuler.
Di negara-negara Arab, khususnya Mesir, perdebatan dalam bidang pemikiran terkadang sampai ke tingkat yang serius. Dahulu, ada Ali Abdur Raziq, penulis kitab al-Islam wa Ushul al-Hukum. Ia diajukan ke sidang Dewan Guru Besar Al-Azhar, gara-gara karyanya yang menafikan peran politik Rasulullah SAW itu. Ada yang dihukum murtad seperti Hasan Hanafi karena karya-karyanya (semisal Minal Aqidah Ilats Tsaurah) yang melecehkan akidah dan ajaran Islam. Ada pula yang di-fasakh dengan isterinya, seperti Nasr Abu Zeid. Bahkan, ada yang mati tertembak, seperti Faraq Foudah. Hal ini membuktikan betapa sengitnya pertarungan pemikiran di negeri sarang ulama itu.
Bila ditelusuri akar permasalahannya, kita dapat menemukan bahwa ada dua kekuatan besar yang bertarung di panggung pemikiran: Islam dan sekularisme. Islam adalah pemikiran asli pribumi, sedangkan sekularisme adalah pendatang dan sekaligus sebagai penjajah karena datang memang bersamaan dengan kolonial. Pemikiran yang melandasi pola berpikir kaum muslimin seharusnya pemikiran Islam yang mengacu kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Akan tetapi, ketika Barat menjajah negeri-negeri Islam, mereka turut menyebarkan paham sekularisme yang merupakan mainstream mereka. Barat mempersiapkan kader-kader yang akan meneruskan pola berpikir sekularisme jika mereka kelak meninggalkan negeri jajahannya. Nah, di sinilah asa muasal percokolan itu terjadi.
Segelintir orang pribumi ada yang terkagum-kagum terhadap paham sekularisme berikut konsep berpikirnya. Mereka ini ibarat duri dalam daging di tubuh ummat Islam. Selama duri masih bersemayam di dalam badan, manusia tidak akan merasa nyaman dan tenteram. Mereka senang melontarkan pendapat-pendapat yang berseberangan dengan Al-Qur'an, Sunnah dan meanstream ulama. Mereka menganggap itu sebagai sebuah kemajuan dan modernisasi seperti yang diajarkan oleh guru-guru mereka di Barat.
Di sisi lain, karena pemerintahan di negeri-negeri Islam didominasi oleh orang-orang cetakan Barat, bertemulah mereka dengan intelektual sekuler tadi dalam pemikiran. Peran pemerintah yang seharusnya menghadang pemikiran sekuler yang datang dari Barat dan yang tumbuh dari dalam oleh murid-murid mereka, justru berbalik memberi angin kepada sekularisme, bahkan turut mendukung secara aktif dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk tampil dan menguasai media massa. Sebagai contoh, mari kita lihat masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Selama masa kepemimpinannya, paham dan aliran-aliran sesat tumbuh dengan subur, seolah-olah mendapat angin dan dukungan dari sang pemimpin. Paham Ahmadiyah, Baha'i, Salamullah, Syi'ah, Markisme, sekularisme, dan isme-isme lainnya mendapat kebebasan di era kepemimpinan Gus Dur. Jangankan sekularisme, Tap MPR yang melarang berdirinya partai komunis pun ingin dicabutnya.
Ulama dan kaum intelektual muslim sebagai penjaga benteng pemikiran Islam, tidak boleh berlaku pasif dan menonton. Mereka berkewajiban memelihara kemurnian Islam dan elemen-elemennya dari berbagai penyimpangan dan penafsiran keliru, walaupun kadangkala harus bercokol secara frontal dengan para pendukung liberalisme ini. Semua ini merupakan kewjiban dan tanggung jawab ulama terhadap agamanya. Kalau tidak, Islam akanberubah menjadi bahan permainan yang ditafsirkan seenaknya oleh mereka, sebagaimana halnya agama-agama di luar Islam yang sudah berubah dari wahyu samawi yang sakral menjadi ajang permainan orang-orang "pintar" mereka.
Islam tidak boleh ditafsirkan semaunya dengan mengatasnamakan "modernisasi", "kebebasan berpikir", "apresiasi", dan sejenisnya agar sesuai dengan target dan kepentingan pribadi mereka. Wahyu diturunkan untuk membentuk kehidupan manusia, bukan sebaliknya, wahyu dimodifikasi agar sesuai dengan selera dan kemauan manusia. Manusia harus mendengar apa kata wahyu, bukan wahyu harus mendengar apa maunya manusia.
Dalam pandangan sekuler, Islam harus mengikuti perkembangan manusia. Dalam arti, ajaran-ajaran yang mereka anggap tidak sesuai lagi dan tidak dapat diterapkan di era globalisasi ini, konsekuensinya harus dihilangkan kendati pun itu suatu kewajiban mutlak yang bersifat universal. Atau paling enteng, mereka melakukan takwil (reinterpretasi) terhadap ketentuan Islam agar lebih bisa diterima dan tidak dianggap berseberangan dengan kemauan masyarakat modern. Seperti hukum murtad (keluar dari agama Islam). Kata mereka, hukuman mati untuk orang yang murtad itu tadinya dalam kondisi perang, bukan dalam kondisi damai. Jika dalam kondisi perang, murtad itu dalam bahasa sekarang adalah "pembelotan". Karenanya, wajar jika dihukum mati. Begitulah mereka (kaum sekularis) membuat takwil seenaknya terhadap ketentuan hukum Islam.
Ulama Vs Kaum Sekuler
Di Mesir, pertarungan pemikiran itu memang terlihat lebih semarak karena ulama di negeri itu betul-betul menampilkan dirinya sebagai pembela Islam, baik yang formal, seperti Al-Azhar, maupun yang individual. Sebagai lembaga yang cukup disegani, Al-Azhar telah lama berjuang menghadang arus sekularisme. Pemikiran yang dilontarkan oleh Thoha Husein mendapat tanggapan serius dari lembaga yang telah berusia seribu tahun ini, baik dalam bentuk bantahan resmi maupun tuntutan kepada pemerintah Mesir agar menarik buku-buku Thaha Husein dari peredaran.
Al-Azhar, melalui badan ilmiahnya yang cukup bergengsi di dunia, Majma' al-Buhuts al-Islamiyah (Pusat Penelitian Islam), pernah mengadili Ali Abdur Raziq karena bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukum, yang kontroversial itu dalam sebuah pengadilan yang dihadiri oleh dua puluh ulama lebih. Buku ini pernah membuat geger dunia Arab karena isinya menafikan adanya sistem politik dan pemerintahan dalam Islam. Pengadilan itulah yang memutuskan dicabutnya seluruh ijazah Al-Azhar yang pernah diberikan kepada Ali Abdur Raziq. Yang bersangkutan juga diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim di Mahkamah Syari'ah di Mesir. Sampai sekarang, Al-Azhar masih terus memantau kitab-kitab yang ditulis oleh kaum sekuler dan menuntut pemerintah agar melarang peredarannya, termasuk buku-buku Nashr Abu Zeid belakangan ini. Dalam perizinan kitab di Mesir, suara Al-Azhar masih sangat didengar dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Inilah yang terus-menerus diserang oleh orang sekuler agar hak Al-Azhar dalam memberikan ketetapan atas suatu buku harus dicabut.
Nasr Abu Zeid adalah seorang associate frofessor (lektor kepala) di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Di jajaran intelektual, dia masih dianggap muda, tetapi ambisi ingin menonjolnya tinggi. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya, Hasan Hanafi, yang mengajar filsafat di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Abu Zeid ingin meraih gelar guru besar. Di perguruan tinggi Mesir, untuk menetapkan seseorang menjadi professor harus dibentuk panitia yang akan menilai karya-karya promovendus. Panitia ini terdiri atas beberapa guru besar dalam bidangnya. Yang menjadi ketua panitia karya-karya Abu Zeid ialah Prof. Abdussobur Shahin dari Fakultas Darul Ulum, Kairo. Setelah melakukan penelitian dan penilaian, Shahin dalam putusannya mengatakan bahwa Abu Zeid tidak layak menjadi guru besar karena karya-karyanya tidak ilmiah. Di sinilah asal muasal kasus Abu Zeid itu mencuat dan menjadi isu nasional bahkan internasional. Tetapi akhirnya, karena jaringan sekularisme di kampus dan di pemerintahan, Nasr Abu Zeid dikukuhkan juga menjadi guru besar.
Ulama tidak kehabisan akal. Ulama Al-Azhar bersama dengan ulama di luar Al-Azhar menempuh jalur hukum. Mereka mengajukan somasi ke pengadilan, dilengkapi dengan data dan fakta ilmiah dari tulisan-tulisan Abu Zeid atas keluarnya dari Islam. Ulama menuntut agar pengadilan memutuskan ia dan isterinya harus dipisah (fasakh). Tuntutan ini dikabulkan dan akhirnya Abu Zeid melarikan diri ke Leiden, Belanda. Di sana, ia diangkat menjadi guru besar Islamic Studies dan membimbing sarjana-sarjana dari Indonesia yang belajar kesana.
Di Indonesia, pertarungan serupa dapat ditemukan di pentas pemikiran, walaupun tidak seseru yang terjadi di Mesir. Tahun 70-an, Nurcholis Madjid telah melemparkan ide sekulernya, lalu ditanggapi oleh sejumlah intelektual muslim semisal: Endang Saifuddin al-Anshari, Prof. H.M. Rasyidi, dan lain-lain. Munawir Sjadzali (mantan menteri agama) pernah melemparkan ide kontroversialnya di seputar hukum waris. Ia dijawab oleh sejumlah kalangan intelektual, seperti Rifyal Ka'bah dan lain-lain. Tahun 1992, Nurcholish kembali melemparkan ide kontroversialnya seputar Ahlul Kitab, makna agama, jilbab, dan ide-ide lainnya. Ia dijawab dengan serentetan reaksi yang cukup keras, mulai dari "mimbar TIM" yang tersohor itu, lalu dilanjutkan di sejumlah media massa. Baru-baru ini (bulam September 2000), Anan Krishna dari kalangan nonmuslim, mengulangi gaya-gaya orang-orang sebelumnya. Ia memberikan "tafsir" seenaknya terhadap ayat Al-Qur'an dan ajaran Islam. Bahkan tidak hanya memberi tafsir, Anand dalam beberapa tulisannya melecehkan ajaran dan hukum syariat, sebuah sikap yang sangat menyinggung perasaan seorang muslim dan tidak dapat dimaafkan begitu saja. Ia mengklaim itu sebagai "apresiasi" terhadap Al-Qur'an. Apa pun namanya, puluhan istilah bisa dibuat, yang jelas, perbuatannya itu adalah membuat pemahaman baru yang menyimpang dan tidak dikenal di kalangan ulama.
Selain Anand, masih banyak lagi orang-orang yang "sakit", ingin terkenal dan kontroversial akhir-akhir ini. Seandainya ia menyimpan "bibit penyakitnya" itu untuk dirinya sendiri, agaknya kaum muslimin tak terlalu masygul. Akan tetapi, ketika ide itu dipublikasikan di media massa dan disebarluaskan, ini sudah mempunyai arti lain. Mendiamkannya sama saja seperti menyetujui paham yang menyesatkan itu tersebar. Oleh karena itu bagi para cendekiawan muslim yang konsisten mengemban misi menegakkan Dien al-Islam, tidak boleh tinggal diam di dalam menghadapi serangan-serangan pemikiran mereka, kaum sekuler. Dengan demikian, para generasi muda yang sedang giat-giatnya mencari ilmu dan pemahaman agama, tidak kesasar menemukan jalan yang menyimpang dari pemahaman agama para ulama salaf yang lurus.

Bagaimana Susunan al-Qur’an...?


Tartîb (Susunan) al-Qur’an artinya membacanya dengan sebagian mengikuti sebagian yang lainnya sesuai dengan yang tertulis di mushaf-mushaf dan yang dihafal di dada.

Dalam hal ini terdapat tiga klasifikasi:

Pertama, Susunan kata-kata. Setiap kata sudah eksis di posisinya dari ayat dan hal ini sudah valid berdasarkan nash dan ijma’. Mengenai kewajiban mengikuti hal itu dan keharaman menyelisihinya, kita tidak mengetahui ada pendapat yang menentangnya sehingga tidak boleh membaca,

[al-Hamdulillâhi Rabbil ‘Alamîn]
dengan menggantinya,
[Lillâhil Hamdu Rabbil ‘Alamîn]

Ke-dua, Susunan ayat-ayat. Setiap ayat sudah eksis di posisinya dari surat berdasarkan nash dan ijma’. Mengikuti hal ini adalah wajib menurut pendapat yang rajih (kuat) dan haram menyelisihinya sehingga tidak boleh membaca,

[ar-Rahmânir Rahîm, Mâliki Yawmid Dîn]
dengan menggantinya,

[Mâliki Yawmid Dîn, ar-Rahmânir Rahîm]

Di dalam Shahîh al-Bukhâry bahwasanya ‘Abdullah bin az-Zubair berkata kepada ‘Utsmân bin ‘Affân RA., mengenai firman Allah,

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi bafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).” (al-Baqarah:240),
bahwa ayat ini telah di nasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat berikut ini,

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.” (al-Baqarah:234). Padahal ayat yang ini (ayat 234) ada sebelumnya (ayat 240), kenapa engkau menulisnya?. Maka, ‘Usman RA., menjawab, “Wahai anak saudaraku, aku tidak mengubah sesuatupun dari posisinya…”

Imam Ahmad, Abu Daud, an-Nasa`iy dan at-Turmudzy meriwayatkan dari hadits ‘Utsman RA., bahwasanya surat-surat yang memiliki angka selalu diturunkan kepada Nabi SAW. Maka, bila ada sesuatu yang diturunkan kepadanya, beliau memanggil sebagian penulis seraya berkata, ‘Letakkan ayat-ayat ini di dalam surat yang di dalamnya disebutkan begini dan begitu…”

Ke-tiga, Susunan surat-surat. Setiap surat sudah eksis posisinya dari mushaf berdasarkan ijtihad sehingga tidak wajib hukumnya.
Di dalam Shahîh Muslim dari Hudzaifah al-Yaman RA., bahwasanya pada suatu malam dia melakukan shalat bersama Nabi SAW, lantas beliau SAW., membaca surat al-Baqarah, kemudian surat an-Nisâ`, kemudian surat Ali 'Imrân.

Imam al-Bukhâry juga meriwayatkan secara Mu’allaq dari al-Ahnaf bahwasanya beliau membaca pada raka’at pertama surat al-Kahfi dan pada raka’at kedua membaca surat Yûsuf atau Yûnus. Beliau (al-Bukhâry) juga menyebukan bahwasanya beliau SAW., pernah juga melakukan shalat shubuh bersama ‘Umar bin al-Khaththâb dengan kedua ayat tersebut.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah berkata, “Boleh membaca surat ini sebelum surat ini, demikian juga menulisnya. Oleh karena itulah, ada beragam macam penulisan mushaf yang dikenal di kalangan para shahabat RA. Sekalipun demikian, mereka tetap sepakat atas satu Mushaf pada masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan RA.

Jadi hal ini sudah menjadi sunnah para al-Khulafâ` ar-Râsyidûn sementara hadits Rasulullah menunjukkan bahwa sunnah mereka wajib diikuti.”

Rabu, 08 Agustus 2012

Keutamaan dan Keistimewaan Puasa

Segala puji hanya milik Allah Yang Maha Esa. Shalawat dan salam tetap atas seorang yang tidak ada nabi setelahnya, Muhammad saw, .... Amma ba'du.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda, yang artinya, "Segala amal kebaikan manusia adalah untuknya; satu kebaikan akan dibalas sepuluh hingga 700 kali-lipat. Allah SWT berfirman, 'Kecuali puasa, karena ia adalah milikKu dan Aku pula yang akan membalasnya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya, makanan dan minumannya karena Aku'. Ada dua kebahagiaan yang diperuntukkan bagi orang yang berpuasa; kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum bagi Allah daripada aroma minyak misik." (HR Bukhari dan Muslim).
Allah SWT telah mengistimewakan puasa di antara amal kebaikan lainnya dengan menyandarkannya langsung kepada Zat-Nya, dalam hadis qudsi Allah berfirman, "?kecuali puasa, karena ia adalah milikKu ?."
Mengenai makna hadis ini banyak dijumpai pendapat para fuqaha dan ulama lainnya, mereka menerangkan beberapa alasan pengistimewaan puasa ini, di antara alasan yang terbaik adalah:
Pertama, puasa adalah ibadah dalam bentuk meninggalkan keinginan dan hasrat jiwa yang dasar yang terbentuk secara fitrahnya cendrung mengikuti semua keinginannya dan dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Hal ini tidak terdapat pada ibadah-ibadah selain puasa. Ibadah ihram (haji atau umrah) misalnya, mengandung larangan melakukan hubungan suami-istri dan hal-hal yang merangsangnya seperti mengenakan parfum, sementara itu di dalamnya tidak terkandung larangan memenuhi hasrat jiwa yang lain seperti makan dan minum. Sama halnya dengan ihram, i'tikaf pun demikian, sekalipun ia merupakan ibadah yang ikut dalam cakupan puasa (i'tikaf di malam bulan Ramadhan, penerj.).
Sedangkan salat, sekalipun orang yang sedang salat diharuskan meninggalkan semua hasrat jiwanya, namun itu hanya dilakukan pada masa yang tidak lama, sehingga orang yang salat tidak merasa kehilangan makanan dan minuman, bahkan sebaliknya, ia dilarang salat ketika hatinya menginginkan makanan yang ada di hadapannya sampai ia memakannya ala kadarnya yang membuat hatinya tenang, karenanya, ia diperintahkan untuk makan malam terlebih dahulu sebelum salat.
Ini semua berbeda dengan puasa yang dilakukan sepanjang siang hari penuh. Oleh karena itu, orang yang berpuasa akan merasakan kehilangan hasrat jiwanya ini saat hatinya sangat menginginkannya, terutama pada siang hari musim kemarau yang sangat panas dan lama, oleh karena itu, ada sebuah riwayat menerangkan bahwa termasuk bagian dari iman puasa di musim kemarau.
Rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu al-Darda' ra, pernah berpuasa Ramadhan dalam sebuah perjalanan dalam cuaca yang sangat panas ketika para sahabat tidak ikut berpuasa (karena musafir mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa, penerj.). Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa Rasulullah saw pernah berada pada dataran tinggi ketika sedang berpuasa, ketika itu beliau menuangkan air ke atas kepalanya karena dahaga atau panas yang dirasakannya.
Ketika hati seseorang sangat merindukan sesuatu yang diinginkannya dan ia mampu untuk mendapatkannya, namun ia meninggalkannya karena Allah SWT, padahal ketika itu ia berada di suatu tempat yang tidak ada orang pun yang mengawasinya kecuali Allah, maka hal ini merupakan tanda kebenaran imannya.
Orang yang berpuasa yakin bahwa ia mempunyai Tuhan yang selalu mengawasinya ketika ia berada di tempat yang sepi, dan mengharamkan kepadanya memenuhi hasrat jiwanya yang memang telah dikodratkan bahwa ia akan selalu menginginkannya. Lalu ia pun menaati Tuhannya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya karena takut akan siksa-Nya dan mengharapkan pahala-Nya.
Oleh karena itulah, Allah berterima kasih kepadanya atas yang demikian itu dan Ia mengkhususkan amal perbuatan ini (puasa) di antara amal-amal lainnya untuk Zat-Nya, karenanya setelah itu Allah SWT berfirman, "Sungguh ia telah meninggalkan hasrat, makanan, dan minumannya semata-mata hanya karena Aku."
Tatkala seorang mukmin yang berpuasa mengetahui bahwa ridha Tuhannya terdapat pada upayanya meninggalkan hasrat jiwanya, maka ia akan lebih mendahului ridha Tuhannya atas hawa nafsunya. Maka jadilah kelezatan yang dirasakannya terdapat ketika ia meninggalkan hasratnya karena Allah, karena ia yakin bahwa Allah selalu mengawasinya dan pahala serta siksa-Nya lebih besar dibandingkan kelezatan yang diperolehnya ketika memenuhi hasratnya di tempat sepi. Hal ini karena ia lebih mementingkan ridha Tuhannya dari pada hawa nafsunya. Bahkan, kebencian seorang mukmin terhadap hal itu saat berada di tempat sepi akan lebih besar dibandingkan kebenciannya terhadap rasa sakit akibat pukulan.
Salah satu tanda keimanan adalah kebencian seorang mukmin terhadap keinginan hasrat jiwanya ketika ia tahu bahwa Allah tidak menyukainya, maka jadilah kelezatannya terdapat pada hal-hal yang diridhai oleh Tuhannya sekalipun bertentangan dengan keinginan nafsunya dan kepedihan yang dirasakannya terdapat pada hal-hal yang tidak disukai Tuhannya sekalipun bersesuaian dengan keinginan nafsunya.
Dikatakan dalam sebuah syair:
"Siksanya karenamu terasa sejuk dan jauhnya karenamu terasa dekat.
Engkau bagiku bagaikan nyawaku, bahkan engkau lebih aku cintai dibanding nyawaku.
Cukuplah bagiku rasa cinta bahwa aku mencintai apa yang engkau cinta."
Kedua, puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya yang hanya diketahui oleh-Nya, karena puasa terdiri dari niat yang tersembunyi yang hanya diketahui oleh Allah saja dan meninggalkan hasrat jiwa yang biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, dikatakan bahwa puasa ini tidak dicatat oleh malaikat hafadhah (pencatat amal).
Pendapat lain mengatakan bahwa pada puasa tidak terdapat riya'. Pendapat ini bisa dikembalikan kepada yang pertama, karena orang yang meninggalkan keinginan nafsunya karena Allah SWT di mana tidak ada yang mengawasinya ketika itu kecuali hanya Zat (Allah) yang memberinya perintah dan larangan, maka hal ini menunjukkan kebenaran imannya.
Allah SWT menyukai jika hamba-hamba-Nya berhubungan dengan-Nya secara rahasia dan orang-orang yang mencintai-Nya juga menyukai jika mereka dapat berhubungan dengan-Nya secara rahasia, sampai-sampai beberapa dari mereka sangat menginginkan seandainya para malaikat hafadhah (pencatat amal) tidak mengetahui ibadah yang dilakukannya. Ketika beberapa rahasianya terbongkar sebagian dari mereka berkata, "Hidup ini akan terasa nyaman ketika hubungan antara aku dan Dia tidak diketahui oleh siapa pun." Lalu ia memohon agar ia dimatikan, dan tak lama kemudian ia meninggal dunia. Orang-orang yang mencintai akan merasa cemburu seandainya orang-orang yang cemburu kepadanya mengetahui rahasia-rahasia antara mereka dan Zat yang mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.
"Janganlah kamu sebarkan rahasia yang terjaga, karena aku akan merasa cemburu jika yang aku cintai disebutkan di hadapan orang-orang yang ada bersamaku."

Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Bertahap

Dengan adanya pembagian al-Qur'an kepada Makkiy dan Madaniy diketahui bahwa ia diturunkan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam secara bertahap. Turunnya ayat dengan cara ini memiliki hikmah yang banyak sekali, diantaranya:
  • Memantapkan hati Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sebagaimana firman Allah Ta'ala (artinya),
    "Berkatalah orang-orang kafir, Mengapapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?', demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)." (Q.s.,al-Furqân:32)
    Maksud "demikianlah" diatas adalah demikianlah kami menurunkannya secara bertahap.
     
  • Memudahkan manusia untuk menghafal, memahami dan mengamalkannya, sebab ia dibacakan kepada mereka sedikit demi sedikit. Hal ini sebagaimana firman Allah (artinya),
    "Dan al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian." (Q.s.,al-Isrâ`:106)
     
  • Memompa semangat untuk menerima ayat al-Qur'an yang diturunkan, sekaligus melaksanakannya sebab manusia jadi sangat merindukan turunnya ayat tersebut, apalagi bila memang kondisinya sangat membutuhkan hal itu sebagaimana yang terjadi dengan ayat-ayat tentang kisah berita bohong (Hadîts al-Ifk) dan masalah Li'ân.
     
  • Menggodok syari'at secara bertahap hingga mencapai kualitas yang sempurna sebagaimana yang terdapat di dalam ayat-ayat tentang Khamar dimana orang-orang sebelumnya dibesarkan dalam kondisi seperti itu dan sudah terbiasa dengannya. Tentunya, amat sulit bagi mereka untuk menghadapi larangan secara tegas (total), karenanya pertama kali ayat yang turun tentangnya adalah firman-Nya (artinya),
    "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:"Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (Q.s.,al-Baqarah: 219)
    Kandungan ayat ini memberikan persiapan diri untuk menerima pengharamannya sebab hal yang masuk akal adalah tidak mungkin melakukan sesuatu yang dosanya lebih besar ketimbang manfa'atnya.
    Kemudian barulah turun tahapan kedua, yaitu firman-Nya (artinya),
    "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan." (Q.s.,an-Nisâ`:43)
    Kandungan ayat ini memberikan latihan untuk meninggalkannya pada saat-saat tertentu (sebagian waktu), yaitu waktu-waktu shalat saja.
    Kemudian turunlah tahapan terakhir (final), yaitu firman-Nya (artinya),
    "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, ( berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan,[90]. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu),[91]. Dan ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."[92] (Q.s.,al-Mâ`idah:90-92)
    Kandungan ke-tiga ayat ini adalah larangan secara tegas dan total terhadap khamar untuk setiap waktu, setelah sebelumnya jiwa dipersiapkan dahulu, lalu dilatih untuk untuk tidak melakukannya pada sebagian waktu.

Senin, 06 Agustus 2012

Nama-Nama al-Qur’an seri 2



11. Shidq, Tashdiq dan Mushaddiq 

Allah menamainya dengan Shidq (Kebenaran), Mushaddiq (Pembenar) dan Tashdîq (Pembenaran) dalam 22 ayat dari al-Qur'an.

Allah Ta'ala menyinggung perihal ash-Shidq, memerintahkannya, menganjurkan dan mensugestinya di dalam 109 tempat. Dalam hal ini, tidak dapat diragukan lagi bahwa al-Qur'an al-Karim adalah simbol kebenaran, sumber, landasannya serta yang mengajak berbuat kebenaran dan mensugestinya.
Diantaranya, dapat dilihat pada Q.,s. az-Zumar:32,33; Yûnûs:37; Yûsuf:111; al-Baqarah:97; al-Ahqâf:12; al-An'âm:115.

12. Mufashshal dan Fashl

Allah menamai al-Qur'an dengan Mufashshal (yang dijelaskan/terperinci) di dalam 18 ayat. Dalam hal ini, al-Qur'an terdiri dari surat-surat, ayat-ayat Muhkamât. Surat-surat meliputi ayat-ayat sementara ayat-ayat meliputi huruf dan kalimat. Semua itu telah dirinci oleh Allah di dalam ayat-ayat al-Qur'an.

Karena telah menjelaskan dan memerinci, maka tidak ada lagi yang samar dan masih kabur di dalamnya. Jadi, ia bukan teka-teki ataupun simbol-simbol yang tanpa makna.
Diantaranya, dapat dilihat pada Q.,s.al-An'am:97,98; ath-Thâriq:13; al-A'râf:52,172; at-Tawbah:11; Fushshilat:3.

13. Hadîts

Allah menamai al-Qur'an dengan Hadîts di dalam 15 ayat.
Makna Hadîts secara bahasa adalah khabar dan ucapan (omongan).
Disamping menamakannya demikian, Dia Ta'ala juga menamakannya Qîl (yang dikatakan/diucapkan).
Al-Qur'an merupakan ucapan dimana Allah berbicara di dalamnya dan berisi beragama hal yang membuat terpesona, semua nya indah, berupa hukum dan hikmah-hikmah, berita gembira ataupun menakutkan, janji dan ancaman..semua itu hanya lah demi kemaslhlahatan para hamba Allah. Semua nya berisi hidayah dan petunjuk..semuanya berisi 'aqidah dan syari'ah.
Diantaranya, dapat dilihat pada Q.,s.az-Zumar:23; al-Jâtsiyah:6; ath-Thûr:34; al-Kahfi:6; an-Najm:59; al-Wâqi'ah:81; al-Mursalât:50.

14. Rahmah 

Allah Ta'ala menamai al-Qur'an dengan Rahmah (Rahmat/kasih sayang) karena ia merupakan rahmat dari Allah Ta'ala Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang..Dia berbuat apa yang Dia kehendaki. Penamaan ini terdapat dalam 15 ayat.
Allah sendiri menamakan diri-Nya di dalam al-Qur'an sebagai Rahîm (Maha Pengasih) dalam 119 tempat, sementara sebagai Rahmân (Maha Penyayang) dalam 57 tempat. Kata Rahîm dan Rahmân merupakan derivasi dari kata Rahmah.
Dengan nama ini, dapat dilihat pada Q.,s. al-A'râf:52,203: al-An'âm:157: Yûnus:57; al-Isrâ`:82; an-Naml:77; al-Jâtsiyah:20.

15. Nûr

Allah menamai al-Qur'an dengan Nûr dalam 12 ayat di dalamnya.
Al-Qur'an adalah nur (cahaya), nur al-Haq, nur yang terang benderang dan bukti yang pasti.
Nur yang bercahaya namun tidak seperti cahaya-cahaya biasa..cahaya yang tidak pernah hilang, tidak pernah berkurang sedikitpun..cahaya yang merangi jalan orang-orang yang berjalan diatas kebenaran, orang-orang yang sesat dan kebingungan..cahaya yang dapat menyembuhkan semua penyakit; syahwat dan syubhat.

Namun alangkah sayangnya, dewasa ini hanya sedikit orang yang mau mengambil cahaya ini…Kebanyakan manusia menjauh darinya layaknya keledai yang menjauh dari singa, lalu kelelahan hingga akhirnya celaka dan terjebak ke dalam jurang nan gelap…
Sekalipun berbagai upaya musuh direkayasa untuk menghancurkan cahayanya, namun mereka tidak berhasil melakukannya.
Diantara penamaannya dengan Nûr dapat dilihat pada Q.,s. an-Nisâ`:174;al-A'râf:157; al-Mâ`idah:16; at-Taghâbun:8; asy-Syûra:52;al-Hajj:8; Ali-'Imrân:184 .

16. Nadzîr

Allah menamai al-Qur'an dengan Nadzîr dalam 11 ayat di dalamnya.
Sementara Allah menamai Rasul-Nya, Muhammad dengan Nadzîr (pemberi peringatan) dalam 60 ayat, dan besar kemungkinan lebih dari itu. Lawannya adalah Basyîr (pemberi berita gembira) terdapat dalam lebih dari 50 ayat.

Kata Nadzîr dalam bahasa 'Arab berasal dari kata Indzâr yang maknanya adalah pemberitahuan dan membuat rasa takut (menakut-nakuti). Artinya juga memberikan peringatan. Tidak salah lagi, bahwa al-Qur'an adalah pembawa berita gembira dan peringatan. Ia memperingatkan dari kekufuran, kesyirikan, kemunafikan, kezhaliman, hal-hal yang melampaui batas, kecurangan, dengki. Ia memperingatkan dari melalaikan kewajiban dan melakukan perbuatan yang diharamkan. Ia memperingatkan dari kemurkaan Allah, azab dan siksaan-Nya yang pedih, berhukum kepada selain hukum-Nya, khianat, makar dan sebagainya.
Mengenai penamaan ini, diantaranya dapat dilihat pada Q.,s. al-A'râf:2; Maryam:97; al-An'âm:51,19; Ibrahim:52; an-Najm:56; al-Ahqâf:12.

17. Kalâmullah

Allah menamai al-Qur'an dengan Kalâm, Kalim dan Kalimât dalam 12 ayat di dalamnya. Sementara Qawl dan Kalam yang dinisbahkan dan ditetapkan sendiri oleh Allah untuk diri-Nya terdapat dalam lebih kurang 275 ayat.
Al-Qur'an adalah Kalâmullâh secara hakikatnya, bukan kalam (ucapan) selain-Nya. Ia mencakup huruf-huruf dan makna-maknanya, ia bukan makhluk dan bukan pula pembawa dusta, akan tetapi diturunkan dari Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Inilah 'aqidah (keyakinan) Ahlussunnah wal Jama'ah dari dulu hingga sekarang yang merupakan keyakinan yang selamat, terbebas dari Tahrîf (mengadakan perubahan di dalamnya) dan Ta'thîl (Membatalkan maknanya sehingga tidak ada sama sekali).

Kalam bagi Allah merupakan sifat Dzâtiyyah dan Fi'liyyah. Dikatakan sifat Dzâtiyyah karena Kalam yang dalam makna kata benda adalah "bicara", berasal dari Dzat-Nya, dan dikatakan Fi'liyyah karena Kalam yang dalam makna kata kerja adalah "berbicara (ber-Kalam)" merupakan Fi'l (perbuatan) Allah.
Jadi Allah Ta'ala telah dan berfirman, telah bicara dan berbicara bila Dia menghendaki dan kapan Dia menghendaki, Tidak ditanyai tentang apa yang diperbuat-Nya sementara mereka ditanyai. Dia berbicara sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dia berfirman, "Tiada sesuatupun yang semisalnya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Dalam hal ini, tidak boleh hukumnya bertanya tentang bagaimana Allah berbicara sebagaimana tidak boleh menyerupai Kalam Allah dengan kalam seluruh makhluk-Nya, demikian juga berpendapat pada sifat-sifat Allah yang lain; Hal yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah untuk diri-Nya atau ditetapkan untuk-Nya oleh Rasul-Nya yang berupa sifat-sifat yang Agung dan sesuai dengan keagungan dan 'izzah-Nya, maka kita wajib menetapkan demikian tanpa Tahrîf, Ta'thîl, Takyîf (mengadaptasikannya),Tamtsîl (menyerupakan) nya dengan makhluk.

Tidak boleh melakukan Ta`wîl karena ia akan menyebabkan Ta'thîl dan tidak boleh melakukan Takyîf karena ia dapat menyebabkan Tamtsîl. Jadi, tidak boleh berlebih-lebihan dan tidak boleh pula kaku dan jumud.

Kaum al-Musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk) bersikap over dan sangat berlebih-lebihan serta melampaui batas sehingga ketika menetapkan Kalam Allah, mereka berkata "Kalamullah adalah seperti kalam (ucapan) makhluk-Nya."

Sementara kaum al-Mu'aththilah (yang membatalkan atau meniadakan sifat kalam) seperti Mu'tazilah, justeru bersikap sebaliknya. Mereka amat kaku dan jumud sehingga mereka berkata, 'Allah tidak berbicara dan al-Qur'an adalah makhluk.' Sementara kaum Asyâ'irah (pengikut Abul Hasan al-Asy'ari. Sementara Abul Hasan sendiri di akhir hayatnya kembali ke 'Aqidah Salaf sebagaimana di dalam bukunya "al-Ibânah") mengatakan "al-Qur'an adalah ungkapan dari Kalamullah. Adapun kaum al-Kullabiyyah (pengikut 'Abdullah bin Sa'id bin Kullab) berkata, "al-Qur'an adalah hikayat dari Kalamullah…Tentu saja semua perkataan seperti itu tidak benar dan batil.

Karenanya, Wajib menetapkannya karena Allah telah menetapkannya dan karena ia adalah sifat kesempurnaan Allah.
Untuk menegaskan hal itu, penamaan al-Qur'an dengan Kalamullah dapat dilihat pada: Q.s.,at-Tawbah:6 ; Yûnus:82 ; al-Baqarah:75 ; al-An'âm:34,115 ; asy-Syûra:24 ; al-Kahf:27.

18. Qawl

Allah menamai al-Qur'an dan memberinya sifat sebagai Qawl (perkataan/ucapan) dan Qîl (perkataan yang diucapkan) di dalam 15 ayat.
Al-Qur'an al-Karim adalah perkataan Rabb kita dan Sang Pencipta kita. Ia perkataannya yang sebenarnya, bukan perkataan siapa-siapa selain-Nya. Inilah 'aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, para shahabat dan Tabi'in, yaitu mengimani dan membenarkan bahwa al-Qur'an adalah perkataan Allah dan Kalam-Nya, Allah berbicara melaluinya kapan saja Dia telah menghendaki. Barangsiapa yang tidak meyakini seperti itu atau berkata selain itu, maka perkataannya adalah dusta dan batil.

Karena al-Qur'an adalah perkataan Allah, kalam, wahyu dan tanzil-Nya maka wajib beriman kepadanya, mempelajari, memahami, dan merenunginya. Kaum Muslimin wajib memberikan perhatian khusus terhadap Kitabullah yang merupakan sebab kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat kelak. Ia adalah sumber pertama di dalam syari'at, hukum-hukum dan peraturan mereka.

Diantara penamaannya dengan Qawl dapat dilihat pada: Q.s., Fushshilat:43 ; al-Mu`minûn:68 ; al-Qashash:51 ; an-Nisâ`:122 ; az-Zumar:18 ; al-Hâqqah:40 ; at-Takwîr:19.

19. Qawl Tsaqîl

Allah menamai al-Qur'an dengan Qawl Tsaqîl (perkataan yang berat) hanya dalam satu ayat saja. Dikatakan berat, karena di dalamnya terdapat pengagungan,keindahan, kewajiban, batasan-batasan, larangan-larangan, perintah-perintah, ancaman-ancaman serta limpahan beban yang besar yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang beriman dan bertaqwa, yang melakukan hal itu dengan sesempurnanya disertai rasa gembira dan ketenangan hati. Itu merupakan anugerah Allah yang diberikannya kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dikatakan demikian, juga karena Rasulullah mengalami hal yang sangat berat ketika turunnya wahyu. Dalam hal ini, 'Aisyah radliyallâhu 'anha bercerita, "Sungguh aku telah melihat wahyu turun kepadanya pada suasana hari yang teramat dingin…"

Apa yang dikatakan berat ini nampaknya -wallahu a'lam- merupakan berat dalam arti yang sebenarnya. Indikasinya, bahwa onta Rasulullah terduduk ketika wahyu turun saat beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam berada diatasnya. Demikian pula, ketika diwahyukan kepada beliau; pahanya yang diatas paha Zaid bin Tsabit seakan meremukkan paha Zaid.

Al-Qur'an berat artinya penuh dengan kemuliaan dan keagungan karena di dalamnya terdapat makna-makna yang agung, rahasia-rahasia yang menawan, hikmah-hikmah dan hukum-hukum, janji dan ancaman serta berita gembira dan berita yang menakutkan, perintah-perintah dan larangan-larangan, kewajiban dan batasan-batasan dan hal lainnya yang dikandung oleh al-Qur'an. Hal itu semua demi kepentingan seluruh umat manusia baik di dunia maupun kelak di akhirat.
Satu ayat disebutkan diatas sebagai penamaan al-Qur'an dengan Qawl Tsaqîl terdapat pada surat al-Muzzammil, ayat 5

20. Qawl Fashl

Allah Ta'ala menamainya dengan Qawl Fashl (perkataan pemutus/pemisah) dalam satu ayat saja. Maknanya, bahwa al-Qur'an al-Karim merupakan fashl (pemutus/pemisah) antara al-Haq dan al-Bathil sebagaimana ia membedakan antara keduanya saat Allah Ta'ala menamainya Furqân.
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa al-Qur'an membedakan antara tauhid dan kesyirikan, keadilan dan kezhaliman serta kebenaran dan kebohongan.

Secara umum, al-Qur'an al-Karim adalah pemisah/pemutus antara al-Haq dan al-Bathil; ia menjelaskan al-Haq, mengajak kepadanya dan mensugestinya; ia menjelaskan al-Bathil, melarang dan memperingatkan darinya. Al-Haq amat berhak untuk diikuti dan tentunya tidak ada setelah adanya al-Haq selain al-Bathil alias yang ada hanya al-Bathil bila al-Haq lenyap.

Satu ayat yang dinamai dengan Qawl Fashl tersebut adalah surat ath-Thâriq ayat 13 . Di dalamnya menunjukkan bahwa al-Qur'an adalah Kalamullah; huruf-huruf dan makna-maknanya.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Nama-Nama al-Qur'an

Allah Ta'ala memberikan beberapa nama yang agung dan layak terhadap al-Qur'an, yaitu nama yang sesuai dengan kedudukan al-Qur'an itu sendiri yang mengesankan akan keagungannya.

Nama-nama tersebut berisi kandungan al-Qur'an, yaitu berupa rahasia-rahasia yang indah, tujuan yang mulia dan Maqâshid yang agung, hikmah-hikmah yang bijak, kisah-kisah yang mengagumkan serta hukum-hukum yang valid.

Nama-nama yang indah tersebut menunjukkan secara gamblang akan kemuliaan dan kedudukannya yang tinggi, nama-nama yang mengandung hujjah dan dalil bahwa ia adalah kitab Samâwiy, tidak ada dan tidak akan ada yang pernah dapat menyainginya.

Nama-nama yang demikian menarik dan berisi semua yang enak dan baik untuk dinikmati.
Allah Ta'ala memberikan nama-nama yang bervariasi tersebut berbeda sama sekali dan tidak seperti nama yang biasa diberikan dan didengar oleh orang-orang Arab dalam pembicaraan mereka, baik secara global maupun terperinci. Secara global ia dinamai Kitab atau Qur'an. Dan secara terperinci dan terpisah juga dinamai dengan surat, ayat dan Kalimât.

Imam as-Suyuthiy sebagai yang dinukilnya dari al-Jâhizh berkata, "Allah Ta'ala memberikan sebutan bagi Kitab-Nya berbeda dengan sebutan yang biasa digunakan oleh orang-orang Arab dalam pembicaraan-pembicaraan mereka baik secara global maupun terperinci. Dia menyebutnya secara global sebagai Qur'an seperti makna Dîwân (koleksi yang memuat sya'ir-red.,) dan sebagiannya sebagai Surat seperti makna Qashîdah (bagian dari sya'ir-red.,), sebagian dari Surat tersebut sebagai Ayat seperti makna Bait dan akhir ayat sebagai Fâshilah seperti makna Qâfiah…"
Yang dimaksud oleh Imam As-Suyuthiy adalah bahwa kata al-Qur'an, Surat, Ayat dan Fâshilah tidak dikenal oleh orang-orang Arab sebelumnya, demikian juga penggunaannya. Orang-orang Arab hanya mengenal kata Dîwân yang sepadan dengan makna al-Qur'an;Qashîdah sepadan dengan kataSurat ; Bait sepadan dengan kata Ayat dan Fâshilah sepadan dengan kata Qâfiah.

Nama-Nama al-Qur'an

Diantara nama-nama al-Qur'an tersebut adalah:
1. Tanzîl

Allah menamainya dengan Tanzîl dan Munzal karena maknanya adalah yang diturunkan . Jadi, Dia-lah yang menurunkannya kepada Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam melalui perantaraan Jibril, karenanya pula ia bukan sihir, olah pertenungan ataupun dongeng-dongeng orang-orang terdahulu.
Penamaan dengan Tanzîl dan Munzal ini terdapat dalam 142 tempat di dalam al-Qur'an, dan penamaannya dengan Tanzîl adalah termasuk yang paling masyhur.
Diantaranya, dapat dilihat pada Q.,s. Luqman:21 ; Muhammad: 2, 26 ; Saba`:6 ; Fushshilat:42 ; al-Hâqqah:43 ; al-Mâ`idah:44.

2. Ayât

Ayat-ayat Allah terdiri dari dua jenis; ayat-ayat yang dibaca dan didengar, yaitu al-Qur'an dan ayat-ayat yang disaksikan, yaitu makhluk-makhluk Allah.
Allah menamai kitab-Nya dengan Ayât dalam 130 tempat di dalam al-Qur'an. Tentunya, tidak dapat disangkal lagi bahwa al-Qur'an al-'Aziz adalah Ayât (tanda-tanda) yang jelas dan amat gamblang petunjuknya, membawa bukti yang jelas, yang tidak ada kesamaran di dalamnya. Ayat-ayat yang agung dan lugas, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Penamaan al-Qur'an dengan Ayât juga termasuk diantara nama-nama yang paling masyhur.
Diantaranya dapat dilihat pada Q.,s.al-'Ankabût:23 ; ar-Rûm:53 ; al-Hadîd:9 ; al-Jâtsiyah:6,8,9 ; al-Ahqâf:7.

3. Kitâb

Penamaan al-Qur'an dengan Kitâb terdapat dalam 74 tempat di dalam al-Qur'an. Secara bahasa makna al-Kitâb adalah al-Jam'u (kumpulan; himpunan; koleksi). Allah menamai wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai Kitâb karena ia mencakup surat-surat, ayat-ayat, huruf-huruf dan kalimat-kalimat. Juga karena ia menghimpun/mengoleksi berbagai ilmu, berita dan hukum.
Diantaranya dapat dilihat pada Q.,s. al-'Ankabût:47,48, 51 ; al-Baqarah:2 ; Fâthir:29 ; az-Zumar:1; Fushshilat:3 .

4. Qur`ân

Ini merupakan nama yang paling masyhur dan penamaannya terdapat dalam 73 tempat di dalam al-Qur'an.
Dari sisi bahasa makna kata Qur`ân adalah yang dibaca, karena ia dibaca dan makna yang lebih khusus lagi adalah suatu nama (sebutan) bagi Kalam yang mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam .
Penamaan seperti ini, diantaranya dapat dilihat pada Q.,s. an-Nisâ`:82 ; al-Isrâ`: 9, 41, 82, 88 ; Yûnûs;37 ; Yûsuf:3 .

5. Haqq (------- Huruf Arab ------- )

Allah menamai al-Qur'an dengan al-Haqq dalam 61 ayat di dalam al-Qur'an. Al-Haqq artinya secara bahasa al-'Adl wal Inshâf (keadilan dan sikap menengah). Dalam ucapan orang Arab, kata al-Haqq adalah antonim dari kata al-Bâthil (kebatilan).
Allah adalah Haqq, Rasul-Nya adalah Haqq, al-Qur'an adalah Haqq sementara yang haq itu berhak untuk diikuti.
Penamaan seperti ini, diantaranya dapat dilihat pada Q.,s.Yûnus: 84, 108 ; an-Nisâ`:170 ; al-Mâ`idah: 83, 84 ; al-An'âm: 5 ; Hûd: 17 .

6. Tadzkirah dan Dzikrâ

Penamaan dengan Tadzkirah dan Dzikrâ terdapat dalam 55 tempat di dalam al-Qur'an, atau bisa lebih dari itu.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa al-Qur'an al-'Aziz merupakan Dzikr dan Tadzkîr , yaitu ia merupakan Dzikr itu sendiri bahkan termasuk Dzikr yang paling afdlal (utama). Membaca al-Qur'an merupakan seutama-utama hal yang dapat mengingatkan (menyadarkan) orang-orang yang berdzikir kepada Allah.
Penamaan ini dapat dilihat pada Q.,s. al-Hijr:6,9; Fushshilat:41 ; al-Anbiyâ`:50 ; Shâd: 8, 29 ; Thâhâ: 3 .

7. Wahyu

Penamaan dengan nama ini terdapat dalam 45 ayat di dalam al-Qur'an. Tentunya, tidak diragukan lagi bahwa al-Qur'an adalah wahyu yang diturunkan dari sisi Allah Ta'ala. Ia adalah wahyu dimana Allah berbicara dengan sebenarnya, ia bukan sihir, olah pertenungan, bukan ucapan yang didustakan dan bukan pula dongeng-dongeng orang-orang terdahulu sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang kafir Quraisy, ia bukan pula makhluq seperti yang dikatakan oleh golongan Jahmiyyah dan Mu'tazilah. Ia bukan hikayat dari Kalam Allah sebagaimana yang diklaim oleh golongan al-Kullâbiyyah.
Penamaan ini dapat dilihat pada Q.,s.an-Najm: 4, 10 ; Yûnus:2 ; az-Zukhruf:43 ; al-Ahzâb: 2 ; al-Anbiyâ`: 108 .

8. Huda (------- Huruf Arab -------)

Maknanya adalah petunjuk dan terdapat dalam 47 tempat. Kata al-Huda secara bahasa adalah al-Bayân (penjelasan) atau at-Tawfîq.
Tentunya tidak dapat disangkal lagi bahwa al-Qur'an adalah Huda (penjelasan, petunjuk) dari kesesatan dan kebutaan. Ia adalah petunjuk secara hakikat dan makna, ia adalah petunjuk dari kekufuran dan kemunafikan, dari kezhaliman dan tindakan melampaui batas, dari kebingungan dan ketakutan serta petunjuk dari segala hal yang menyimpang dan dapat menjerumuskan.
Memang al-Qur'an adalah petunjuk dan realitas mendukung hal itu. Buktinya, banyak sekali manusia - mencapai juta-an - mendapatkan petunjuknya dengan penuh sukarela, tanpa unsur paksaan karena keistimewaan Islam itu sendiri.
Penamaan ini dapat dilihat pada Q.,s. an-Nahl:89 ; al-Qashash:85 ; at-Tawbah:33 ; al-Kahfi: 55; al-Baqarah:97 ; al-Fath:28 ; Ali'Imrân:138 .

9. Shirâth Mustaqîm

Penamaan dengan ini terdapat dalam 33 tempat di dalam al-Qur'an. Kata ash-Shirâth artinya jalan yang dapat mengantarkan kepada tujuan yang diinginkan, sedangkan kata al-Mustaqîm artinya yang tidak ada kepincangan sedikitpun.
I bn Jarir berkata, "Umat dari kalangan Ahli Tafsir sepakat bahwa makna ash-Shirât al-Mustaqîm adalah jalan yang jelas yang tidak ada kepincangan sedikitpun. Dan makna ini digunakan dalam percakapan Bangsa Arab."
Penamaan ini dapat dilihat pada Q.,s. al-Fâtihah: 6 ; al-An'âm:153 ; al-An'âm:126 ; Yûnus:25 ; Ali'Imran:101 ; al-Mâ`idah:16 ; al-Hajj:54 .

10. Tibyân dan Bayyinât

Al-Qur'an juga dinamakan dengan Tibyân, Mubîn dan Bayyinât dan penamaan ini terdapat dalam 30 tempat di dalam al-Qur'an. Jumlah ini bisa jadi lebih dari itu.
Al-Qur'an adalah petunjuk dan obat, yang di dalamnya terdapat Bayân (penjelasan) yang amat jelas sekali ; jelas maknanya dan kokoh tata-bahasanya, tidak ada kesamaran atau pun ketidakjelasan padanya.
Di dalam al-Qur'an terdapat penjelasan bagi setiap hajat seluruh manusia di dalam kehidupan sosial mereka dengan ungkapan yang amat menawan dan gaya bahasa yang indah.
Penamaan ini diantaranya dapat dilihat pada Q.,s. ash-Shaff:6; al-Baqarah: 159 ; an-Nûr: 34, 46 ; al-Ahqâf:7 ; al-Hijr:1

Jumat, 03 Agustus 2012

Kajian Seputar Nuzulul Qur’an (Turunnya Al-Qur’an)

Al-Qur’an -secara umum sebagai sebuah kitab suci- turun pertama kali kepada Rasulullah pada malam al-Qadr (Lailatul Qadr) pada bulan Ramadlan. Hal ini didukung oleh firman Allah Ta’ala (artinya):

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam al-Qadr (yang mulia)”. (Q.s.,al-Qadr: 1)

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan,[3]. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”[44]. (Q.s.,ad-Dukhan:4)

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. (Q.s., al-Baqarah:185)


Umur Nabi ketika turun ayat pertama kali kepadanya adalah 40 tahun menurut pendapat yang masyhur dari para ulama. Yaitu, riwayat dari Ibn ‘Abbas, ‘Atha`, Sa’id bin al-Musayyib, dan periwayat selain mereka. Usia seperti ini adalah usia mencapai kematangan berfikir, kesempurnaan akal dan pandangan.

Yang membawa turun al-Qur’an dari Allah Ta’ala adalah malaikat Jibril, salah satu malaikat yang dekat kepada Allah dan mulia. Allah Ta’ala berfirman mengenai al-Qur’an (artinya):

“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), [193]. ke dalam hatimu (Muahammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, [194]. dengan bahasa Arab yang jelas”.[195]. {Q.s., asy-Syu’arâ`: 193-195}

Malaikat Jibril ini memiliki sifat-sifat yang layak dimilikinya sebagai utusan Allah untuk para Rasul-Nya. Padanya ada sifat mulia, kuat, dekat kepada Allah, memiliki kedudukan dan terhormat di kalangan para malaikat lainnya, amanah, bagus dan suci. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman (artinya):

“Sesungguhnya al-Qur'an itu benar-benar firman (Allah yang bibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril),[19]. yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy”[20]. {Q.s.,at-Takwir: 19-20}

Allah Ta’ala telah menjelaskan kepada kita sifat-sifat Jibril yang membawa turun al-Qur’an dari sisi-Nya. Sifat-sifat itu juga menunjukkan betapa agungnya al-Qur’an dan ‘inayah Allah terhadapnya sebab Dia tidak mengutus orang yang agung kecuali dengan hal-hal yang agung pula.

Ayat-Ayat al-Qur’an Pertama Yang Turun

Secara mutlaq dan qath’i (pasti), ayat al-Qur’an pertama yang turun adalah lima ayat pertama dari surat al-‘Alaq. Kemudian wahyu mengalami masa stagnan (terputus untuk beberapa waktu), kemudian barulah turun lima ayat pertama dari surat al-Muddatstsir.

Di dalam kitab ash-Shahîhain, dari ‘Aisyah radliyallâhu 'anha di dalam kitab ‘Bad`ul Wahyi, dia berkata: “…hingga akhirnya kebenaran datang kepada beliau saat berada di Gua Hira`, lalu datanglah malaikat sembari berkata kepadanya: “Bacalah!”. Lalu Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam menjawab: “Aku tidak bisa membaca”. Selanjutnya di dalam hadits tersebut malaikat membacakan firman-Nya:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan,[1]. Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah.[2]. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah,[3]. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.[4]. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[5]”. (Q.s.,al-‘Alaq: 1-5).

Dalam kitab yang sama dari Jabir bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda ketika bercerita tentang masa stagnan turunnya wahyu: “Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit…”. (Dalam hal ini, beliau menyebutkan seterusnya cerita itu, di dalamnya beliau bersabda lagi) “…Maka Allah turunkanlah firman-Nya:

“ Hai orang yang berkemul (berselimut), [1]. bangunlah, lalu berilah peringatan!,[2]. dan Rabbmu agungkanlah, [3]. dan pakaianmu bersihkanlah, [4]. dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, [5]”. (Q,.s.al-Muddatstsir/74: 1-5).

Permulaan turunnya al-Qur’an yang disebutkan oleh Jabir tersebut dilihat dari aspek ayat pertama kali turun setelah masa stagnan turunnya wahyu atau ayat pertama kali turun berkenaan dengan ‘kerasulan’ beliau sebab ayat-ayat pada surat al-‘Alaq yang diturunkan tersebut menetapkan nubuwwah beliau sedangkan ayat-ayat pada surat al-Muddatstsir diturunkan dalam rangka menetapkan risalah (kerasulan) beliau Shallallâhu 'alaihi wa sallam, yaitu dalam firman-Nya (artinya): “Bangunlah, lalu berilah peringatan!”.

Oleh karena itu, para ulama berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam diangkat sebagai Nabi melalui ayat ‘Iqra`’ dan diangkat sebagai Rasul melalui surat ‘al-Muddatstsir’.

Turunnya al-Qur’an bersifat ‘Ibtidâ`iy’ dan ‘Sababy’

Al-Qur’an turun dalam dua klasifikasi:
Pertama, Secara Ibtidâ`iy’ ; yaitu turunnya tidak didahului oleh sebab-sebab tertentu. Kondisi seperti inilah yang lebih dominan terjadi pada kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an. Diantaranya :

Firman-Nya (artinya):
“Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah:’Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh’” . (Q,.s.at-Tawbah/09: 75).

Ayat tersebut turun secara Ibtidâ`iy untuk menjelaskan kondisi sebagian orang-orang Munafiq. Sedangkan riwayat yang masyhur di kalangan banyak orang bahwa ia turun terhadap seorang shahabat, Tsa’labah bin Hathib dalam kisah yang amat panjang dan banyak sekali para Ahli Tafsir yang menyinggungnya serta sering dipublikasikan oleh para penceramah; riwayat tersebut Dla’if (lemah), tidak shahih sama sekali.

Kedua, Secara sababy ; yaitu turunnya didahului oleh sebab tertentu, diantara sebabnya tersebut:
  • Bisa jadi berupa pertanyaan yang dijawab oleh Allah, seperti ayat (artinya):
    “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji’.” (Q.s.,al-Baqarah:189)
     
  • Atau Suatu peristiwa yang terjadi dan memerlukan penjelasan dan peringatan, seperti firman-Nya:
    “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, ’Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja’ .” (Q.s.at-Tawbah:65)

    Dua ayat tersebut turun terhadap seorang Munafiq yang berkata pada waktu perang (Ghazwah) Tabuk di dalam satu majlis: “Kita tidak pernah melihat orang seperti para Qurrâ` kita tersebut, lebih besar perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut ketika bertemu musuh”. Yang mereka tembak adalah Rasulullah dan para shahabatnya. Lantas hal itu sampai ke telinga Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam dan al-Qur’anpun sudah turun. Lalu datanglah seorang laki-laki ingin meminta ma’af kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam, lalu beliau menjawabnya:
    "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?." (Q.s.,at-Tawbah:65)
     
  • Atau suatu perbuatan yang terjadi dan ia butuh penjelasan tentang hukumnya, seperti firman Allah:
    “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.s.,al-Mujâdilah:1)