ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Sabtu, 10 Oktober 2015

Hukum Orang Meninggalkan Shalat Dan Konsekwensinya ( Kuthbah )



Asalamu alaikum warohmatullohi wabarokatuh
kutbah pertama

1. Hukum orang yang meninggalkan shalat.

Shalat adalah tiang agama Islam,[2] ibadah badaniyyah paling pokok,[3] syari’at semua para Rasul,[4] hal yang paling pertama dihisab dihari kiamat,[5] dan wasiat terakhir Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya tatkala hendak meninggal dunia.[6] Orang yang mengingkari kewajiban shalat yang lima waktu dan dia itu hidup dikalangan kaum muslim, maka dia itu di anggap keluar dari Islam meskipun dia itu melaksanakannya, ini berdasarkan ijma kaum ulama kaum muslimin.
[7] Meninggaalkan shalat fardlu dosanya lebih besar dari dari dosa membunuh jiwa, mengambil harta orang, zina, mencuri, minum khamr[8]. Dan orang yang meninggalkan shalat karena malas sedangkan dia itu meyakini kewajibannya, maka dia juga dianggap kafir murtad[9]dari agama Islam sesuai pendapat yang paling benar, berdasarkan dalil-dalil berikut ini :
 Firman Allah ta’ala :
فَإِنْ تَابُوْا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَاِنكُمْ فِي الدِّيْنِ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaranu seagama.[10]

Allah ta’ala mensyaratkan untuk adanya ukhuwwah (persaudaraan Islam) antara kaum musyrikin dan kaum mu’minin dengan tiga syarat: Taubat dari syirik, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Bila salah satu dari yang tiga itu tidak mereka penuhi, maka mereka itu bukan saudara kita seagama, padahal ukhuwwah itu tidak tiada dengan sekedar maksiat, karena Allah ta’ala masih menetapkan ukhuwwah antara orang muslim yang membunuh dengan saudara seimannya yang dibunuhnya dalam firman-Nya ta’ala:
Kedua : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda :
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا وَلاَ تَتْرُكُوا الصَّلاَةَ عَمْدًا فَمَنْ تَرَكَهَا عَمْدًا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الْمِلَّةِ

“Janganlah kalian menyekutukan sesuatu dengan Allah, dan janganlah kalian meninggalkan shalat dengan sengaja, karena barang siapa meninggalkannya dengan sengaja, maka dia telah keluar dari agama Islam.[19]

Adapun menurut akal: Sesungguhnya tidak mungkin orang yang memiliki keimanan meskipun sebesar biji sawi terus dia selalu meninggalkan shalat[26], maka ketika dia tidak shalat berarti dia tidak memiliki iman sedikitpun.

2. Konsekuensi bagi orang yang meninggalkan shalat.

Setelah kita mengetahui bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, maka kita harus mengetahui konsekuensi bagi orang yang meninggalkan shalat itu supaya kita tidak terjerumus dalam hal-hal itu:
Pertama:    Dia tidak halal menikah dengan wanita muslimah, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيْمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوْهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهٌمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.[27]                
Dan firman-Nya ta’ala:
وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا

“Dan jangalah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.[28]

Dan barangsiapa memaksakan kehendak kemudian menikahkan puterinya yang muslimah kepada laki-laki yang tidak shalat, maka pernikahannya batal/tidak sah dan wanita ini tidak halal bagi laki-laki itu, dan pernikahan itu harus dibatalakan. Dan bila Allah ta’ala memberinya hidayah sehingga dia mau shalat maka harus melakukan akad baru nikah lagi.
Tanbih penting:

Kedua:
Gugurnya hak perwalian. Bila yang meninggalkan shalat itu adalah bapak atau saudara atau orang yang memiliki hak perwalian bila dia itu muslim, maka hak perwaliannya itu gugur karena dia meninggalkan shalat. Tidak boleh seorang bapak yang tidak shalat menjadi wali bagi pernikahan puterinya yang muslimah, saudara laki-laki yang tidak shalat tidak boleh menikahkan saudarinya yang muslimah, karena tidak ada perwalian orang kafir atas orang muslim,[40] berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir atas orang-orang mu’min.

Bila ada muslimah yang semua wali-walinya tidak shalat maka walinya adalah pihak yang berwenang.


Ketiga:
Gugurnya  hak pengurusan (hadlanah) atas anak-anaknya, karena tidak hak hadlanah bagi orang kafir atas orang muslim, berdasarkan firman-Nya ta’ala:     dalil  sama no 2

Keempat:
Sembelihannya tidak halal. Bila orang yang tidak shalat menyembelih hewan, maka sembelihannya tidak halal dimakan, karena di antara syarat halalnya hewan sembelihan yaitu si penyembelihnya harus orang orang muslim atau ahlu kitab (Yahudi dan Nashrani), sedangkan orang yang murtad itu bukan termasuk mereka, maka sembeliahnnya haram, jadi sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih busuk dari sembelihan orang Nashrani dan Yahudi.[43] Bahkan bila seseorang murtad dari Islam masuk agama nashrani tetap sembelihannya tidak halal, karena status dia masuk agama Nashrani tidak diakui oleh Islam.

Kelima:
Dia tidak diperbolehkan masuk ke kota Mekkah dan tanah haramnya,[44] berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Mesjidil Haram sesudah tahun ini”.

Keenam:
Bila salah satu anggota keluarganya, atau kerabatnya meninggal dunia, maka dia tidak berhak mendapat warisan.[46] Dan dia dianggap tidak ada, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ  يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ

“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim. (Al Bukhari dan Muslim).

Ketujuh:
Bila dia mati, tidak boleh dimandikan, tidak pula dikafani, tidak pula dishalatkan, dan tidak pula dikuburkan dipekuburan kaum muslimin  firman Allah ta’ala:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْ يَسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْا أُولِيْ قُرْبَى مِنْ بَعْدَ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيْمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang yang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.

Allah melarang Nabi dan orang-orang mu’min untuk memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa meninggalkan shalat adalah macam dari sekian kemusyrikan[49]

Kedelapan:
Seluruh amalan orang yang meninggalkan shalat tidak ada artinya dan tidak sah,[50] berdasarkan Firman Allah ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوْا  يَعْمَلُوْنَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka aamalan yang telah mereka kerjakan”.

Kesembilan:
Pada hari kiamat dia digiring bersama Firaun, Haman, Qarun, dan Ubaiy Ibnu Khalaf yang merupakan tokoh-tokoh 
 kekufuran, dan dia tidak akan masuk surga selama-lamanya.[52] Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ تَكُنْ لَهُ نُوْرًا وَلاَ بُرْهَانًا وَلاَ نَجَاةً  وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُوْنَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ

“Barangsiapa menjaganya (shalat), maka dia itu baginya menjadi cahaya, bukti, dan keselamatan di hari kiamat, dan barang siapa tidak menjaganya, maka dia itu tidak menjadi cahaya bagianya, tidak menjadi bukti, dan tidak menjadi keselamatan. Dan di hari kiamat dia itu (digiring) bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubaiy Ibnu Khalaf.

kutbah kedua

Sabtu, 03 Oktober 2015

Kewajiban Menutup Aurat, Berjilbab dan Berkerudung

Akhir-akhir ini banyak sekali kita jumpai kaum Muslimah, baik remaja maupun dewasa mengenakan pakaian Muslimah dengan berbagai warna, corak dan model. Jika kita cermati, tidak semua kaum Muslim memiliki pandangan yang jelas tentang pakaian Muslimah. Faktanya, banyak wanita yang mengenakan kerudung hanya menutupi rambut saja, sedangkan leher dan sebagian lengan masih tampak. Ada juga yang berkerudung tetapi tetap memakai busana yang ketat, misalnya, sehingga lekuk tubuhnya tampak. Yang lebih menyedihkan adalah ada sebagian kalangan yang masih ragu terhadap pensyariatan Islam tentang pakaian Muslimah ini.

 Di samping itu, masih banyak juga di yang memahami secara rancu kerudung dan jilbab. Tidak sedikit yang menganggap bahwa jilbab adalah kerudung dan sebaliknya. Padahal, jilbab dan kerudung adalah dua perkara yang berbeda.

 Menutup Aurat

 Menutup aurat dan pakaian Muslimah ketika keluar rumah merupakan dua pembahasan yang terpisah, karena Allah Swt. dan Rasul-Nya memang telah memisahkannya. Menutup aurat merupakan kewajiban bagi seluruh kaum Muslim, laki-laki dan perempuan. Untuk kaum Muslimah, Allah Swt. telah mengatur ihwal menutup aurat ini al-Quran surat an-Nur ayat 31:

 

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ



Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kehormatannya; janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak padanya. Wajib atas mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS an-Nur [24]: 31).



Frasa mâ zhahara minhâ (yang biasa tampak padanya) mengandung pengertian wajah dan kedua telapak tangan. Hal ini dapat dipahami dari beberapa hadis Rasulullah saw., di antaranya: Pertama, hadis penuturan ‘Aisyah r.a. yang menyatakan (yang artinya):

 Suatu ketika datanglah anak perempuan dari saudaraku seibu dari ayah ‘Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tetapi tiba-tiba Rasulullah saw. masuk seraya membuang mukanya. Aku pun berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung.” Beliau kemudian bersabda, “Apabila seorang wanita telah balig, ia tidak boleh menampakkan anggota badannya kecuali wajahnya dan ini.” Ia berkata demikian sambil menggenggam pergelangan tangannya sendiri dan dibiarkannya genggaman telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya). (HR Ath-Thabari).

 Kedua, juga hadis penuturan ‘Aisyah r.a. yang menyakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:



«قَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ»



Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita, apabila telah balig (mengalami haid), tidak layak tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya menunjuk muka dan telapak tangannya). (HR Abu Dawud).



Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa yang biasa tampak adalah muka dan kedua telapak tangan, sebagaimana dijelaskan pula oleh para ulama, bahwa yang dimaksud adalah wajah dan telapak tangan (Lihat: Tafsîr ash-Shabuni, Tafsîr Ibn Katsîr). Ath-Thabari menyatakan, “Pendapat yang paling kuat dalam masalah itu adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa tampak adalah muka dan telapak tangan.” (Tafsîr ath-Thabari).



Jelaslah bahwa seorang Muslimah wajib untuk menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Artinya, selain wajah dan telapak tangan tidak boleh terlihat oleh laki-laki yang bukan mahram-nya.



Pakaian Wanita dalam Kehidupan Umum







Selain aturan tentang menutup aurat, Allah Swt. pun memberikan aturan yang sama rincinya tentang pakaian wanita dalam kehidupan umum, yaitu jilbâb (jilbab, abaya) dan khimâr (kerudung).



Dalam kesehariannya, wanita tidak menutup kemungkinan untuk keluar rumah untuk memenuhi hajatnya; ke pasar, ke mesjid, ke rumah keluarga dan kerabatnya, dan lain-lain. Kondisi ini memungkinkan terjadinya interaksi atau pertemuan dengan laki-laki. Islam menetapkan, ketika seorang wanita ke luar rumah, ia harus mengenakan khim‰r (kerudung) dan jilbab.



Allah Swt. berfirman:



وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ



Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimâr) ke dada-dada mereka. (QS an-Nur [24]: 31).



Dari ayat ini tampaka jelas, bahwa wanita Muslimah wajib untuk menghamparkan kerudung hingga menutupi kepala, leher, dan juyûb (bukaan baju) mereka. Sementara itu, mengenai jilbab, Allah Swt. berfirman dalam ayat yang lain:





يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ



Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (QS al-Ahzab [33]: 59).



Kata jalâbîb yang terdapat dalam ayat tersebut adalah jamak dari jilbâb. Secara bahasa, jilbab adalah sejenis mantel atau baju yang serupa dengan mantel (Lihat: Kamus al-Muhith). Menurut beberapa pendapat ulama tafsir, pengertiannya adalah sebagai berikut:



1. Kain penutup atau baju luar/mantel yang menutupi seluruh tubuh wanita. (Tafsîr Ibn ‘Abbas, hlm, 137).

2. Baju panjang (mulâ’ah) yang meliputi seluruh tubuh wanita. (Imam an-Nawawi, dalam Tafsîr Jalalyn, hlm. 307).

3. Baju luas yang menutupi seluruh kecantikan dan perhiasan wanita. (Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr, jld. 2, hlm. 494)

4. Pakaian seperti terowongan (baju panjang yang lurus sampai ke bawah) selain kerudung. (Tafsîr Ibn Katsîr). Intinya, Allah memerintahkan kepada Nabi agar menyeru istri-istrinya, anak-anak wanitanya, dan wanita-wanita Mukmin secara umum—jika mereka keluar rumah untuk memenuhi hajatnya—untuk menutupi seluruh badannya, kepalanya, dan juga juyûb mereka, yaitu untuk menutupi dada-dada mereka.

5. Pakaian yang lebih besar dari khimâr (kerudung). Ibn ‘Abbas dan Ibn Mas‘ud meriwayatkan, bahwa jilbab adalah ar-rada’u, yaitu terowongan (pakaian yang lurus tanpa potongan yang menutupi seluruh badan). (Tafsîr al-Qurthubi).





Lalu bagaimana keadaan wanita-wanita pada masa Rasulullah saw. ketika mereka keluar rumah? Hal ini akan tampak dari sebuah hadis berikut:



«قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا»



Kami, para wanita, diperintahkan oleh Rasulullah untuk keluar pada saat Idul Fitri dan Idul Adha, baik para gadis, wanita yang sedang haid, maupun gadis-gadis pingitan. Wanita yang sedang haid diperintahkan meninggalkan shalat serta menyaksikan kebaikan dan dakwah (syiar) kaum Muslim. Aku bertanya, “ Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab. Rasulullah saw. bersabda: Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR Muslim).



Hadis di atas mengandung pengertian, bahwa ada salah seorang shahabiyah yang tidak memiliki pakaian (jilbab) untuk digunakan ke luar rumah; ia hanya memiliki pakaian rumah. Rasulullah saw. sendiri telah memerintahkan kepada semua wanita, bahkan wanita yang haid dan yang berada dalam pingitan sekalipun, untuk keluar shalat Id dan menyaksikan syiar/dakwah Islam. Lalu kemudian wanita tersebut mengadukan kondisi dirinya. Rasulullah saw. kemudian memerintahkan kepada wanita-wanita yang lain untuk meminjamkan pakaian luarnya kepada wanita tersebut agar wanita tersebut bisa keluar rumah untuk memenuhi seruan beliau.



Ayat al-Quran berikut lebih menguatkan hadits di atas:



وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ



Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada keinginan untuk menikah lagi, tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka (pakaian luar) dengan tidak menampakkan perhiasan. (QS an-Nur [24]: 60).



Ayat tersebut menjelaskan bahwa wanita-wanita yang sudah mengalami menopouse boleh untuk menanggalkan jilbab (pakaian luar)-nya. Akan tetapi, mereka tetap wajib untuk menutup auratnya.



Dari beberapa nash dan keterangan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa jilbab adalah pakaian luar (menyerupai mantel) yang luas dan tidak terputus (seperti terowongan) yang menutupi pakaian rumah/pakaian sehari-harinya (al-mihnah) dan seluruh bagian tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dengan demikian, jilbab dan kerudung merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya merupakan perkara yang diwajibkan oleh Allah Swt. untuk dikenakan seorang Muslimah ketika hendak keluar rumah. Mudah-mudahan Allah Swt. memudahkan kita untuk melaksanakan setiap kewajiban yang telah Allah tetapkan serta mengokohkan iman kita dengan menjadikan kita senantiasa tunduk dan terikat dengan hukum-hukum-Nya. [Ayu Kartika Dewi]