ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Sabtu, 14 Desember 2013

Rahasia Ilmiah Dan Keutamaan Puasa Senin Kamis

Berpuasa, sudah lama diketahui sangat baik untuk kesehatan. Apalagi sekarang manfaat berpuasa untuk kesehatan makin terbukti secara ilmiah. Bahkan para peneliti menyarankan bahwa sebaiknya mulai kembali berpuasa karena terbukti puasa dua hari dalam satu pekan sangat bermanfaat untuk kesehatan hormon dan perubahan metabolisme. 

Puasa yang dimaksud adalah mengkonsumsi makanan hanya sekitar 500-800 kalori. Bandingkan dengan asupan harian sekitar 2.000 kalori untuk perempuan dan 2.500 kalori untuk pria.

Asupan itu bisa menurunkan tingkat pertumbuhan hormon yang terkait dengan kanker dan diabetes. serta mengurangi kolesterol buruk LDL dan lemak dalam darah. Sedangkan radikal bebas juga menurun. Dari hasil penelitian ini juga terbukti bahwa tingkat peradangan dapat berkurang. Bahkan, disebutkan pula berpuasa dapat melindungi otak. Maka, risiko penyakit degeneratif seperti Alzheimer dan Parkinson pun bisa dikurangi. 

Menurut Profesor Mark Mattson, kepala bagian saraf di US National Institute on Ageing, Puasa dapat menurunkan secara drastis asupan makanan memicu proses protektif di otak. Ini sama dengan mendapatkan efek tambahan ketika olahraga. 

Seorang dokter ahli asal Rusia, dr. Yuri Nikolayev menganggap puasa sebagai penemuan terbesar dalam bidang kesehatan. Puasa mampu membuat seseorang menjadi awet muda dan sehat secara fisik, mental, dan spiritual. Bahkan, sebuah lembaga di Amerika Serikat menyebutkan puasa sebagai cara terbaik untuk memperindah dan mempercantik perempuan secara alami. 

Berikut merupakan daftar beberapa manfaat puasa Senin Kamis :

1. Peremajaan sel kulit
2. Mengencangkan kulit
3. Detoksifikasi racun dalam tubuh
4. Memberi waktu istirahat untuk organ pencernaan
5. Menurunkan tekanan darah
6. Menurunkan kadar lemak (kolesterol)
7. Menghambat proses penuaan (awet muda)
8. Memperindah dan mempercantik kaum wanita secara alami
9. Menenangkan jiwa dan perasaan
10. Mampu mengendalikan nafsu seks dengan lebih baik
11. Memacu jiwa empati terhadap sesama
12. Menimbulkan rasa solidaritas terhadap kaum miskin

Manfaat puasa Senin Kamis lainnya adalah memberikan ketenangan jiwa. Menurut Imam Barakat Abdullah ba’lawiy Al-hadad, puasa memiliki ruh (jiwa) dan bentuk. Bentuk dari puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari yang disertai dengan niat. Sedangkan ruh dari puasa adalah menahan diri dari melakukan perbuatan dosa dan perbuatan haram, serta mengerjakan amalan fardhu dan sunnah. 

Jadi, orang yang berpuasa tidak hanya menjalani bentuk puasa, tetapi harus memiliki ruh dari puasa yang dilakukannya. Karenanya, puasa yang dilakukannya akan diterima oleh Allah SWT dan menjadikannya termasuk orang-orang yang memiliki jiwa yang suci. Sebab, orang-orang seperti itulah yang dapat mengontrol jiwa dan perilakunya.

Dengan kemampuan ini, secara otomatis orang yang terbiasa berpuasa akan mampu mengendalikan diri dan jiwanya. Ia akan merasakan kedamaian dan ketenangan hidup di dunia.

Ringkasan Cara Perawatan Jenazah


I. PADA SAAT SAKIT
[1] Orang yang sakit wajib menerima qadha (ketentuan) Allah, bersabar menghadapi serta berbaik sangka kepada Allah, semua ini baik baginya.
[2] Ia harus mempunyai perasaan takut serta harapan, yaitu takut akan siksaan Allah karena adanya dosa-dosa yang telah ia lakukan, serta harapan akan rahmat Allah.
[3] Bagaimana parahnya penyakitnya, ia tidak boleh mengangan-angan kematian, kalaupun terpaksa, maka hendaknya ia berdoa : -Allahumma ahyanii maa kanati al-hayatu khairan lii wa tawaffaniy idzaa kanati al-wafaatu khairan lii”Artinya : Ya Allah hidupkanlah akau jika kehidupan lebih baik bagiku, matiknalah aku jika kematian lebih baik bagiku”
[4] Jika ia mempunyai kewajiban yang menyangkut hak orang lain, hendaknya menyelesaikan secepat mungkin. Jika tidak mampu hendaknya berwasiat untuk penyelesaiannya.
[5] Ia harus bersegera berwasiatII MENJELANG MATI
[1] Menjelang mati, maka orang-orang yang ada di sekitarnya harus melakukan hal-hal berikut :
a.Mentalqin (menuntun) mengucapkan -Laa Ilaha Illal-llah- “Artinya: Tiada yang berhak disembah selain Allah”
b.b. Mendo’akan
c. Mengucapkan perkataan yang baik.[2] Adapun membacakan surat Yaa sin di sisi orang yang meninggal atau menghadapkan ke kiblat maka amalan tersebut tidak ada dalilnya.
[3] Seorang muslim boleh menghadiri kematian orang non-muslim untuk menganjurkan kepadanya supaya masuk Islam (sebelum meninggal dunia). III KETIKA MENINGGAL DUNIA
Jika sudah meninggal dunia maka orang-orang yang ada disekitarnya harus melakukan hal-hal berikut :
[1] Memejamkan mata mayyit
[2] Mendo’akan
[3] Menutupnya dengan kain yang meliputi semua anggota tubuhnya. Tapi jika yang meninggal sedang melakukan ihram, maka kepala dan wajahnya tidak ditutupi
[4] Bersegera menyelenggarakan jenazahnya setelah yakin bahwa ia sudah betul-betul meninggal
[5] Menguburkan di kampung tempat ia meninggal, tidak memindahkan ke daerah lain kecuali dalam kondisi darurat. Karena memindahkan mayat ke daerah lain berarti menyalahi perintah mempercepat pelaksanaan jenazah.
[6] Bersegera menyelesaikan utang-utangnya semuanya dari harta si mayyit sendiri, mekipun sampai habis hartanya, maka negaralah yang menutupi utang-utangnya setelah ia sendiri sudah berusaha membayarnya. Jika negara tidak melakukan hal itu dan ada yang berbaik budi melunasinya, maka hal itu dibolehkan.
IV YANG BOLEH DILAKUKAN PARA KERABATNYA DAN ORANG LAIN
[1] Boleh membuka wajah mayyit dan menciumnya, menangisi –tanpa ratapan- dalam kurung tiga hari.
[2] Tatkala berita kematian sampai kepada kerabat mayyit, mereka harus:
[a] Bersabar serta redha akan ketentuan Allah
[b] Beristirjaa’ yaitu membaca : -Inna Lillahi wa Innaa Ilaihi Raaji’uun- “Artinya : Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan kepada-Nya-lah kita akan kembal”
[3] Tidaklah menyalahi kesabaran jika ada wanita yang tidak berhias sama sekali asal tidak melebihi tiga hari setelah meninggalnya ayahnya atau selain ayahnya. Kecuali jika yang meninggal adalah suaminya, maka ia tidak berhias selama empat bulan sepuluh hari, karena hal ini ada dalilnya.
[4] Jika yang meninggal selain suaminya, maka lebih afdhal jika tidak meninggalkan perhiasannya untuk meredlakan/menyenangkan suaminya serta memuaskannya. Dan diharapkan adanya kebaikan di balik itu.
V. HAL-HAL YANG TERLARANG
Rasulullah telah melarang/mengharamkan hal yang selalu dilakukan oleh banyak orang disaat ada yang meninggal, hal-hal yang dilarang tersebut wajib diketahui untuk dihindari, di antaranya :
[1] Meratap, yaitu menangis berlebih-lebihan, berteriak, memukul wajah, merobek-robek kantong pakaian dan lain-lain.
[2] Mengacak-acak rambut
[3] Laki-laki memperpanjang jenggot selama beberapa hari sebagai selama beberapa hari sebagai tanda duka atas kematian seseorang. Jika duka sudah berlalu maka mereka kembali mencukur jenggot lagi.
[4] Mengumumkan kematian lewat menara-menara atau tempat lain, karena cara mengumumkan yang seperti itu terlarang dan syariat.
VI CARA MENGUMUMKAN KEMATIAN YANG DIBOLEHKAN
[1] Boleh menyampaikan berita kematian tanpa menempuh cara-cara yang diamalkan pada zaman jahiliyah dahulu. Bahkan terkadang menyampaikan berita kematian hukumnya menjadi wajib jika tidak ada yang memandikannya, mengkafani, menshalati dan lain-lain.
[2] Bagi yang menyampaikan berita kematian dibolehkan meminta kepada orang lain supaya mendo’akan mayyit, karena hal ini ada landasannya di dalam sunnah
VII TANDA-TANDA HUSNUL KHATIMAH
Telah sah pejelasan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau menyebutkan beberapa tanda husnul khatimah (kematian/akhir hidup yang baik). Jika seseorang meinggal dunia dengan mengalami salah satu di antara tanda-tanda itu maka itu merupakan kabar gembira.
[1] Mengucapkan syahadat di saat meninggal
[2] Mati dengan berkeringat pada dahi
[3] Mati pada hari Jum’at atau pada malam Jum’at
[4] Mati Syahid di medan jihad
[5] Mati terkena penyakit thaa’uun
[6] Mati terkena penyakit perut
[7] Mati tenggelam
[8] Mati terkena reruntuhan
[9] Mati seorang wanita hamil karenan janinnya
[10] Mati terkena penyakit paru
[11] Mati membela agama atau diri
[12] Mati membela/mempertahankan harta yang akan dirampok
[13] Mati dalam keterikatan dengan jalan Allah
[14] Mati dalam suatu amalan shalih
[15] Mati terbakar
VIII PUJIAN ORANG TERHADAP MAYYIT
[1] Pujian baik terhadap mayyit dari sekelompok orang-orang muslim yang benar-benar, paling kurang dua orang di antara tetangga-tetangganya yang arif, shalih dan berilmu dapat menjadi penyebab masuknya mayyit ke dalam surga.
[2] Jika kematian seseorang bertetapan dengan gerhana matahari atau bulan, maka hal itu tidak menunjukkan sesuatu. Sedangkan anggapan bahwa hal itu merupakan tanda-tanda kemualian si mayyit adalah khurafat jahiliyah yang bathil
IX MEMANDIKAN MAYYIT
[1] Jika sudah meninggal, maka orang-orang yang ada di sekitarnya harus segera memandikannya.
[2] Dalam memandikan mayyit, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut
a. Memandikan tiga kali atau lebih, sesuai dengan yang dibutuhkan
b. Memandikan dengan jumlah ganjil
c. Mencampur sebagian dengan sidr, atau yang bisa menggantikan fungsinya seperti sabun
d. Mencampur mandi terakhir dengan wangi-wangian seperti kapur barus / kamper dan ini lebih afdhal. (terkecuali jika yang meninggal sedang melakukan ihram maka tidak boleh diberi wangi-wangian)
e. Ikatan rambut harus dibuka, lalu rambut dicuci dengan baik.
f. Menyisir rambut
g. Mengikat mejadi tiga bagian untuk rambut wanita, lalu mebentangkan ke belakangnya
h. Memulai memandikan dari bagian kanannya dan anggota wudhunya dan anggota wudhunya
i. Laki-laki dimandikan oleh laki-laki juga, dan wanita dimandikan oleh wanita juga. (Terkecuali bagi suami-istri, boleh saling memandikan, karena ada dalil sunnah yang memperkuat amalan ini)
j. Memandikan dengan potongan-potongan kain dalam keadaan terbuka dengan kain di atas tubuhnya setelah membuka semua pakaiannya
k. Yang memandikan mayyit adalah orang yang lebih mengetahui cara penyelenggaraan mayat/jenazah sesuai dengan sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, lebih-lebih jika termasuk kerabat keluarga mayyit.
[3] Yang memandikan mayyit akan mendapatkan pahala yang besar jika memenuhi dua syarat berikut.
a. Menutupi kekurangan yang ia dapati dari mayyit dan tidak menceritakan kepada orang lain
b. Ikhlas karena Allah semata dalam mejalankan urusan jenazah tanpa mengharapkan pamrih dan terima kasih serta tanpa tujuan-tujuan duniawi. Karena Allah tidak menerima amalan akhirat tanpa keikhlasan semata-mata kepada-Nya.
[4] Danjurkan bagi yang memandikan jenazah supaya mandi. (Tidak diwajibkan).
[5] Tidak disyariatkan memandikan orang yang mati syahid di medan perang, meskipun ia gugur dalam keadaan junub.
X MENGKAFANI MAYYIT
[1] Setelah selesai memandikan mayat, maka wajib dikafani.
[2] Kain kafan serta biayanya diambil dari harta si mayyit sendiri, meskipun hartanya sampai habis, tidak ada yang tertinggal lagi.
[3] Seharusnya kain kafan menutupi semua anggota tubuhnya.
[4] Jika seandainya kain kafan tidak mencukupi semua tubuhnya, maka diutamakan menutupi kepalanya sampai ke sebagian tubuhnya, adapun yang masih terbuka maka ditutupi dengan daun-daunan yang wangi. (Hal yang seperti ini jarang terjadi paza zaman kita sekarang ini, tetapi ini adalah hukum syar’i).
[5] Jika kain kafan kurang, sementara jumlah mayat banyak, maka boleh mengkafani mereka secara massal dalam satu kafan, yaitu dengan cara mebagi-bagi jumlah tertentu di kalangan mereka dengan mendahulukan orang-orang yang lebih banyak mengetahui dan menghafal Al-Qur’an ke arah kiblat
[6] Tidak boleh membuka pakaian orang yang mati syahid yang dipakainya sewaktu mati, ia dikuburkan dengan pakaian yang dipakai syahid.
[7] Dianjurkan mengkafani orang yang mati syahid dengan selembar kain kafan atau lebih di atas pakaian yang sedang di pakai
[8] Orang yang mati dalam keadaan berihram dikafani dengan kedua pakaian ihram yang sedang dipakainya
[9] Hal-hal yang dianjurkan dalam pemakaian kain kafan :
a. Warna putih
b. Menyiapkan tiga lembar
c. Satu diantaranya bergaris-garis (Ini tidak bertentangan dengan bagian (a) karena dua hal : – Pada umumnya kain putih bergaris-garis putih, – Di antara ketiga lembar kafan tadi, satu yang bergaris-garis sedangkan yang lainnya putih
d. Memberikan wangi-wangian tiga kali.
[10] Tidak boleh berfoya-foya dalam pemakain kain kafan, dan tidak boleh lebih dari tiga lembar, karena hal itu menyalahi cara kafan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan terlebih lagi perbuatan itu dianggap menyia-nyiakan harta
[11] Dalam cara mengkafani tadi, mengkafani wanita sama caranya dengan mengkafani pria karena tidak adanya dalil yang menjelaskan perbedaan itu.
XI MEMBAWA JENAZAH SERTA MENGANTARNYA
[1] Wajib membawa jenazah dan mengantarnya, karena hal itu adalah hak seorang muslim yang mati terhadap kaum muslimin yang lain.
[2] Mengikuti jenazah ada dua tahap :
a. Mengikuti dari keluarganya sampai dishalati
b. Mengikuti dari keluarganya sampai selesai penguburannya, dan inilah yang lebih utama
[3] Mengikuti jenazah hanya dibolehkan bagi laki-laki, tidak dibolehkan bagi wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita mengikuti jenazah.
[4] Tidak dibolehkan mengikuti jenazah dengan cara-cara sambil menangis, begitu pula membawa wangi-wangian dan sebagainya. (Termasuk dalam kategori ini amalan orang awam sambil membaca : “Wahhiduul -Ilaaha” atau jenis dzikir-dzikir lainnya yang dibuat-buat.
[5] Harus cepat-cepat dalam membawa jenazah dalam arti tidak berlari-lari.
[6] Boleh berjalan di depan jenazah, di belakangnya (ini yang lebih afdhal), boleh juga di samping kanannya atau kirinya dengan posisi dekat dengan jenazah, kecuali yang berkendaraan maka mengikuti dari belakang. (Perlu diketahui bahwa berjalan lebih afdhal dari pada berkendaraan).
[7] Boleh pulang berkendaraan setelah menguburkan mayat, tida makruh.
[8] Adapun membawa jenazah di atas kereta khusus atau mobil ambulance, kemudian orang-orang yang mengantarnya juga memakai mobil, maka hal ini termasuk tidak disyari’atkan, karena ini adalah kebiasaan orang-orang kafir, serta menghilangkan nilai-nilai yang terkandung dalam pengantaran jenazah yaitu mengingat-ingat akhirat, lebih-lebih lagi karena hal itu menjadi penyebab terkuat berkurangnya pengantar jenazah dan hilang kesempatan orang-orang yang ingin mendapatkan pahala. (Kecuali dalam keadaan darurat maka boleh memakai mobil).
[9] Berdiri untuk menghormati jenazah hukumnya mansukh (dihapuskan), oleh karena itu tidak boleh lagi diamalkan.
[10] Dianjurkan bagi yang membawa jenazah supaya berwudhu, tapi ini tidak wajib.
[Disalin dari kitab Muhtasar Kiatab Ahkaamul Janaaiz wa Bid'auha, karya
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, diringkas oleh Syaikh Ali Hasan
Ali
Abdul Hamid dan diterjemahkan oleh Muhammad Dahri Komaruddin]

Kamis, 12 Desember 2013

Cara Sholat Gerhana (Matahari atau Bulan)

Sebagian orang menganggap terjadinya gerhana matahari dan bulan sebagai gejala alam biasa, sebagai peristiwa ilmiah yang bisa dinalar. Gerhana sekedar menjadi tontonan menarik yang bisa disaksikan beramai-ramai bersama keluarga dan handai tolan. Namun bagi yang merasa tunduk kepada keagungan Sang Perncipta, Allah SWT, gerhana adalah peristiwa penting yang secara gamblang menunjukkan bahwa ada kekuatan Yang Maha Agung di luar batas kemampuan manusia; manusia yang paling merasa faham ilmu alam sekalipun. Mereka yang merasa rendah di hadapan Sang Pencipta akan menadahkan muka, menghadap Allah, mengerjakan shalat secara berjamaah. Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan untuk itu. Rasulullah SAW bersabda,
”Sesungguhnya matahari dan rembulan adalah dua tanda-tanda kekuasaan Allah, maka apabila kalian melihat gerhana, maka berdo’alah kepada Allah, lalu sholatlah sehingga hilang dari kalian gelap, dan bersedekahlah.” (HR Bukhari-Muslim)
Sayyidatuna A’isyah ra bercerita: Gerhana matahari pernah terjadi di masa Rasululloh SAW kemudian beliau sholat bersama para sahabat. Beliau pun berdiri dengan lama, ruku’ dengan lama, berdiri lagi dengan lama namun lebih pendek dari yang pertama, lalu ruku’ dengan lama namun lebih pendek dari yang pertama, lalu mengangkat kepala dan bersujud, dan melakukan sholat yang terakhir seperti itu, kemudian selesai dan matahari pun sudah muncul. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Para ulama sepakat bahwa sholat gerhana matahari dan bulan adalah sunnah dan dilakukan secara berjamaah. Berdasarkan redaksi hadits yang pertama di atas penamaan gerhana matahari dan bulan berbeda, sholat khusuf untuk gerhana bulan dan sholat kusuf untuk gerhana matahari. Imam Maliki dan Syafi’i berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidatuna A’isyah berpendapat bahwa sholat gerhana dengan dua roka’at dengan dua kali ruku’, berbeda dengan sholat Id dan Jum’at.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas juga terdapat penjelasan serupa, yakni sholat gerhana dikerjakan dua roka’at dengan dua kali ruku’, dan dijelaskan oleh Abu Umar bahwa hadits tersebut dinilai paling shahih. Maka dengan begitu keistimewaan shalat gernana dibanding dengan shalat sunnah sunnah lainnya terletak pada bilangan ruku’ pada setiap roka’atnya.
Apalagi dalam setiap ruku’ disunnahkan membaca tasbih berulang-ulang dan berlama-lama. سُبْحَانِ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ Tasbih berarti gerak yang dinamis seperti ketika bulan berrotasi (berputar mengelilingi kutubnya) dan berevolusi (mengelilingi) bumi, bumi berotasi dan berevolusi mengelilingi matahari, atau ketika matahari berotasi dan berevolusi pada pusat galaksi Bimasakti. Namun pada saat terjadi gerhana, ada proses yang aneh dalam rotasi dan revolusi itu. Maka bertasbihlah! Maha Suci Allah, Yang Maha Agung! Adapun tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:
1. Memastikan terjadinya gerhana bulan atau matahari terlebih dahulu. (Sebagai panduan lihat di rubrik IPTEK)
2. Shalat gerhana dilakukan saat gerhana sedang terjadi.
3. Sebelum sholat, jamaah dapat diingatkan dengan ungkapan, ”Ash-shalatu jaami’ah.”
4. Niat melakukan sholat gerhana matahari (kusufisy-syams) atau gerhana bulan (khusufil-qamar), menjadi imam atau ma’mum. أُصَلِّيْ سُنَّةً لِكُسُوْفِ الشَّمْسِ / لِخُسُوْفِ الْقَمَرِ اِمَامًا / مَأْمُوْمًا لِلّهِ تَعَالَى
5. Sholat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat.
6. Setiap rakaat terdiri dari dua kali ruku dan dua kali sujud.
7. Setelah rukuk pertama dari setiap rakaat membaca Al-Fatihah dan surat kembali
8. Pada rakaat pertama, bacaan surat pertama lebih panjang daripada surat kedua. Demikian pula pada rakaat kedua, bacaan surat pertama lebih panjang daripada surat kedua. Misalnya rakaat pertama membaca surat Yasin (36) dan ar-Rahman (55), lalu raka’at kedua membaca al-Waqiah (56) dan al-Mulk (78)
9. Setelah sholat disunahkan untuk berkhutbah. (nam) Sumber Website Resmi Nahdlatul Ulama
Menurut Habib Munzir bin Fuad Al Musawwa, panduan singkat mengenai shalat gerhana caranya adalah ada tiga cara :
1. yg termudah adalah dg dua rakaat sebagaimana shalat subuh.
2. dua rakaat, dan setiap rakaat adalah dg dua rukuk dan dua kali qiyam, urutannya adalah : Takbiratul ihram, lalu Qiyam, fatihah, surat, rukuk, lalu Qiyam lagi, fatihah surat, rukuk, lalu I’tidal, lalu sujud, duduk sujud. lalu bangkit ke rakaat kedua dg hal yg sama.
3. dua rakaat sebagaimana poin kedua diatas, namun dipanjangkan, lalu diakhiri dg dua khutbah selepas shalat

Sabtu, 07 Desember 2013

Macam Puasa Sunnah


Pada kesempatan kali ini, Rumaysho.com mencoba mengangkat pembahasan puasa sunnah yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.
Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).
Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun).[1] Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
1. Puasa Senin Kamis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)
2. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”( HR. Bukhari no. 1178)
Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,
أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).
Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
3. Puasa Daud
Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا
Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّى أَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ الَّذِى تَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ » قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ . قَالَ « إِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ » . فَقُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ » . قَالَ قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا ، وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ ، وَهْوَ عَدْلُ الصِّيَامِ » . قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ » .
Disampaikan kabar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa aku berkata; “Demi Allah, sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya (‘Abdullah bin ‘Amru): “Benarkah kamu yang berkata; “Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku pasti akan shalat malam sepanjang hidupku?“. Kujawab; “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya“. Maka Beliau berkata: “Sungguh kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah dan berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan berpuasalah selama tiga hari dalam setiap bulan karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu seperti puasa sepanjang tahun.” Aku katakan; “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah“. Beliau berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah selama dua hari”. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu“. Beliau berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud ‘alaihi salam yang merupakan puasa yang paling utama“. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu“. Maka beliau bersabda: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu“. (HR. Bukhari no. 3418 dan Muslim no. 1159)
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari melakukan puasa lebih dari puasa Daud yaitu sehari puasa sehari tidak.”
Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Puasa seperti puasa Daud, sehari berpuasa sehari tidak adalah lebih afdhol dari puasa yang dilakukan terus menerus (setiap harinya).”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. … Wallahul Muwaffiq.”
4. Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156).
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir. Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.
5. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
6. Puasa di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya. Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).
7. Puasa ‘Arofah
Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
8. Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”
Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad  di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.
Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.” Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya

Kamis, 05 Desember 2013

Macam Macam Shalat Sunnah


Di samping shalat wajib, macam-macam shalat sunnah pernah dicontohkan dan dilakukan Nabi Muhammad saw sepanjang hidupnya. Berikut ini merupakan macam-macam shalat sunnah yang bisa Anda kerjakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Khaliq.

Macam-macam Shalat Sunnah – Shalat Sunnah Rawatib
Shalat sunnah rawatib adalah satu dari sekian banyak macam-macam shalat sunnah yang secara teratur dilakukan oleh Rasulullah saw, sebelum atau sesudah shalat wajib. Shalat sunnah rawatib hukumnya ada yang muakkad (mendekati wajib tetapi tidak wajib) dan ghairu muakkad (lebih ringan dari muakkad).
  1. Macam-macam Shalat Sunnah Muakkad
Adapun yang termasuk dalam sholat sunnah muakad adalah :
Ø  Shalat qabliah (sebelum) zhuhur,Shalat ini dilakukan sebelum shalat zhuhur dimulai. Jumlah rakaatnya boleh dua atau empat rakaat.
Ø  Shalat ba’diah (sesudah) zhuhur,Shalat ini dilakukan setelah shalat zhuhur. Jumlah rakaatnya boleh dua atau empat rakaat.
Ø  Shalat ba’diah (sesudah) maghrib, Shalat ini dilakukan setelah shalat maghrib. Jumlah rakaatnya sebanyak dua rakaat.
Ø  Shalat ba’diah (sesudah) isya’ Shalat ini dilakukan setelah shalat isya. Jumlah rakaatnya boleh dua atau empat rakaat.
Ø  Shalat qabliah (sebelum) shubuh,  Shalat ini dilakukan sebelum shalat shubuh. Jumlah rakaatnya sebanyak dua rakaat.
Ø  Shalat ba’diah (sesudah) jumat,  Shalat ini dilakukan setelah shalat jumat. Jumlah rakaatnya boleh dua atau empat rakaat.
  1. Macam-macam Shalat Sunnah Ghairu Muakkad
Adapun yang termasuk Sholat sunnah ghoiru muakad adalah :
Ø  Shalat qabliah (sebelum) ashar,  Shalat ini dilakukan sebelum shalat ashar. Jumlah rakaatnya dua atau empat rakaat.
Ø  Shalat qabliah (sebelum) maghrib, Shalat ini dilakukan sebelum shalat maghrib dan jumlahnya dua rakaat.
Ø  Shalat qabliah (sebelum) isya, Shalat ini dilakukan sebelum shalat isya. Jumlahnya dua, empat, atau enam rakaat.

Macam-macam Shalat Sunnah – Shalat Sunnah Berkaitan dengan Waktu
Shalat sunnah ini berkaitan dengan waktu pelaksanaannya. Macam-macam shalat sunnah tersebut adalah sebagai berikut.
  1.  Shalat Dhuha
Shalat ini dilakukan pada waktu dhuha, yaitu pada saat matahari terbit sekitar pukul 7.00 pagi sampai pukul 11.00 siang. Jumlah rakaat shalat dhuha minimal dua rakaat. Rasulullah pernah mencotohkan shalat dhuha sampai delapan rakaat.
  1. Shalat Tahajud
Shalat ini dilakukan pada waktu malam selepas isya sampai datangnya waktu sebelum shubuh. Rasulullah biasa melakukan shalat tahajud sebanyak sebelas rakaat. Delapan rakaat shalat tahajud dan tiga rakaat witir.
  1. Shalat Tarawih
Shalat tarawih dilakukan pada malam hari selepas isya sampai datangnya waktu sebelum shubuh. Shalat tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Jumlah rakaat shalat tarawih disesuaikan dengan kemampuan, namun yang biasa kita laksanakan ada yang 11 rokaat ( 8 rokaat sholat tarawih dan 3 rokaat sholat witir) dan juga ada yang sampai 23 rokaat ( 20 rokaat sholat tarawih dan 3 rokaat untuk sholat  witir)

  1. Shalat Witir
Shalat witir biasanya dikerjakan pada malam hari dan jumlah rakaatnya harus ganjil. Waktu pelaksanaannya selepas isya sampai datang waktu sebelum datang waktu shubuh.

Macam-macam Shalat Sunnah – Shalat Sunnah Berkaitan dengan Hari Raya
Macam-macam shalat sunnah yang berkaitan dengan hari raya adalah shalat sunnah idul fitri dan idul adha.
  1. Shalat sunnah idul fitri
Sholat idul Fitri dilaksanakan pada pagi hari tanggal 1 Syawal, Jumlahnya dua rakaat. Pada rakaat pertama, dilakukan takbir sebanyak tujuh kali setelah takbiratul ihram dan pada rakaat kedua setelah bangkit dari sujud dilakukan takbir sebanyak lima kali. Setelah shalat, dilanjutkan dengan khutbah. Pelaksanaan kedua shalat ini boleh di mesjid atau tanah lapang.
  1. Shalat sunnah idul adha
Sholat idul Adha dilaksanakan pada pagi hari tanggal 10 Dzulhijah, Jumlahnya dua rakaat. Pada rakaat pertama, dilakukan takbir sebanyak tujuh kali setelah takbiratul ihram dan pada rakaat kedua setelah bangkit dari sujud dilakukan takbir sebanyak lima kali. Setelah shalat, dilanjutkan dengan khutbah. Pelaksanaan kedua shalat ini boleh di mesjid atau tanah lapang.

Selasa, 03 Desember 2013

Macam-Macam Najis

Najis ialah kotoran yang bagi setiap Muslim wajib menyucikan diri daripadanya dan menyucikan apa yang dikenainya.
Firman Allah: “Mengenai pakaianmu, hendaklah kamu bersihkan.” (al-Muddatstsir: 4)
Firman Allah: “Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang tobat, dan mengasihi orang-orang yang bersuci.” (al-Baqarah: 222)
Sabda Rasulullah saw.: “Bersuci itu sebagian dari keimanan.”
Macam-macam najis adalah:
1. Bangkai: ialah yang mati secara begitu saja artinya tanpa disembelih menurut ketentuan agama. Termasuk juga dalam hal ini apa yang dipotong dari binatang hidup, berdasarkan hadits Abu Waqib al-Laitsi:
Telah bersabda Rasulullah saw.: “Apa yang dipotong dari binatang ternak, sedang ia masih hidup, adalah bangkai.” (HR Abu Daud dan Turmudzi yang diakuinya sebagai hadits hasan. Katanya: “Bagi ahli ilmu, ketentuan ini dituruti.”)
Dikecualikan dari itu:
a. Bangkai ikan dan belalang, maka ia suci, karena hadits Ibnu Umar ra.: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, ialah bangkai ikan dan belalang, sedang mengenai darah, ia adalah hati dan limpha.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daruquthni, tetapi hadits ini dlaif. Hanya Imam Ahmad yang mensahkannya sebagai hadits mauquf, sebagaimana dikatakan oleh Zar’an dan Abu Hatim)
Sedang hadits seperti ini hukumnya marfu’ artinya silsilah sanadnya sampai kepada Nabi, karena ucapan shahabat: dihalalkan bagi kami ini, atau diharamkan bagi kami itu, adalah serupa dengan ucapannya: kami diperintahkan dan kami dilarang.
Dan telah kita sebutkan sebelumnya sabda Nabi saw. mengenai laut yang artinya: “Airnya suci lagi menyucikan, dan bangkainya halal buat dimakan.”
b. Bangkai binatang yang tidak punya darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah menyebabkannya bernajis.
Berkata Ibnul Mundzir: “Tidak saya ketahui adanya perbedaan pendapat tentang sucinya apa yang disebutkan tadi, kecuali apa yang diriwayatkan dari Syafi’i. Dan yang lebih populer dari madzabnya ialah najis, hanya dimaafkan jika jatuh ke dalam benda cair selama benda cair itu tidak berubah karenanya.”
c. Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci karena asalnya semua itu adalah suci dan tak ada dalil mengatakan najisnya.
Berkata az-Zuhri mengenai tulang-belulang bangkai seperti misalnya gajah dan lain-lain: “Saya dapati orang-orang dari ulama-ulama Salaf mengambil sebagai sisir dan menjadi minyak, demikian itu tidak jadi apa-apa.” (Riwayat Bukhari)
Dan diterima dari Ibnu Abbas, katanya: majikan dari Maimunah menyedekahkan kepadaku seekor domba, tiba-tiba ia mati. Kebetulan Rasulullah saw. lewat maka sabdanya: “Kenapa tidak kalian ambil kulitnya buat disamak, hingga dapat dimanfaatkan?” “Bukankah itu bangkai?” ujar mereka. “Yang diharamkan ialah memakannya.” Ujar Nabi pula. (HR Jama’ah Ibnu Majah yang di dalam riwayatnya tersebut: “Dari Maimunah”, sementara dalam riwayat Bukhari dan Nasa’i tidak disebutkan soal menyamak)
Dan dari Ibnu Abbas ra. bahwa ia membacakan ayat berikut ini: “Katakanlah: menurut apa yang diwahyukan kepadaku tidak kujumpai makanan yang diharamkan kecuali bangkai.” (sampai akhir ayat 145 dari surah al-An’am). Kemudian ulasannya: “Yang diharamkan itu hanyalah apa yang dimakan. Mengenai kulit, air kulit, gigi, tulang, rambut dan bulu, maka ia halal.” (HR Ibu Mundzir dan Ibnu Hasyim)
Begitu pula sari susu bangkai dan susunya suci, karena para shahabat sewaktu menaklukkan negeri Irak, mereka memakan keju orang-orang Majusi padahal itu dibuat dari susu, sedang sembelihan mereka itu dipandang sama dengan bangkai.
Sebuah riwayat yang berasal dari Salman al-Farisi ra. bahwa ia ditanya mengenai sedikit keju, lemak dan bulu, maka jawabnya: “Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, dan yang haram apa yang diharamkan dalam kitab-Nya, dan apa-apa yang didiamkan-Nya termasuk barang yang dimaafkan-Nya.” Dan sebagaimana diketahui pertanyaan tersebut adalah mengenai keju orang-orang Majusi, yakni sewaktu Salman menjadi gubernur ‘Umar bin Khaththab di Madain.
2. Darah, baik ia darah yang mengalir atau tertumpah, misalnya yang mengalir dari hewan yang disembelih, ataupun darah haid. Tetapi dimaafkan kalau hanya sedikit.
Dari Ibnu Juraij mengenai firman Allah Ta’ala: aw damam masfuuhan; katanya yang dimaksud dengan darah masfuha itu ialah darah yang mengucur sedang yang terdapat dalam urat-urat itu tidak jadi apa (dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir)
Dan sewaktu kepada Abu Mijlaz ditanyakan tentang darah yang terdapat di bekas sembelihan domba (leher) atau darah yang dijumpai di permukaan periuk, ujarnya: “Tidak apa-apa yang dilarang itu hanyalah darah yang tertumpah.” (diriwayatkan oleh Abdu Hamid dan Abu Syeikh)
Dari ‘Aisyah ra. katanya: “Kami makan daging sedang darah tampak merupakan benang-benang dalam periuk.” Kata Hasan pula: “Kaum Muslimin tetap melakukan shalat dengan luka-luka mereka.” (diriwayatkan oleh Bukhari)
Kemudian ada lagi sebuah riwayat yang sah dari Umar ra. bahwa ia shalaat sedang lukanya masih berdarah. (Disebutkan oleh Hafidh dalam al-Fat-h)
Sementara Abu Hurairah ra. berpendapat tidak apa dibawa shalat kalau hanya setetes atau dua tetes darah.
Adapun darah nyamuk dan darah yang menetes dari bisul-bisul, maka dimaafkan berdasarkan atsar, atau riwayat dari para shahabat tadi. Dan ditanyakan kepada Abu Mijlaz mengenai bisul yang menimpa badan atau pakaian. Ujarnya: “Tidak apa, kerena yang disebutkan oleh Allah hanya darah dan tidak disebut-Nya dengan tentang nanah.” Berkata Ibnu Taimiyah: “Wajib mencuci kain dari nanah beku dan nanah yang bercampur darah.” Ulasnya pula: “Tetapi tidak ditemukan dalil mengenai najisnya.”
Demikianlah dan yang lebih utama, agar manusia menjaganya sedapat mungkin.
3. Daging babi
Firman Allah: “Katakanlah: Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena itu adalah najis.” (sampai akhir ayat 145 surah al-An’am)
Maksudnya karena semua itu adalah menjijikkan yang tak disukai oleh selera yang sehat. Maka kata ganti “itu” kembali kepada ketiga jenis tersebut. Mengenai bulu babi, menurut pendapat ulama yang terkuat, dibolehkan untuk diambil benang jahit.
4. Muntah
5. Kencing
6. Kotoran manusia.
Najis semua itu disepakati oleh bersama, hanya kalau muntah itu sedikit, maka dimaafkan. Begitu pula diberi keringanan terhadap kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan, maka cukup buat menyucikannya dengan jalan memercikkannya dengan air, berdasarkan hadist Ummu Qais ra. yang artinya: “Bahwa ia datang kepada Nabi saw. membawa bayinya yang laki-laki yang belum lagi sampai usia untuk diberi makan, dan bahwa bayinya itu kencing dalam pangkuan Nabi. Maka Nabi pun meminta air lalu memercikkannya (maksudnya sebagaimana tersebut pada riwayat-riwayat lain ialah menebarkan air dengan jari-jari, tidak sampai banyak hingga mengalir) ke atas kainnya, dan tidak mencucinya berkali-kali.” (disepakati oleh ahli-ahli hadits)
Dari Ali ra. katanya: telah bersabda Rasulullah saw.: “Kencing bayi laki-laki diperciki air, sedangkan kencing bayi perempuan hendaklah dicuci.” Berkata Qatadah: “Ini selama kedua mereka ini belum diberi makan, jika sudah, maka kencing mereka hendaknya dicuci.” (HR Ahmad –dengan lafadh atau susunan kata daripadanya- dan Ashabus Sunan kecuali Nasa’i. Berkata Hafidh dalam al-Fat-h: “Isnadnya adalah sah.”)
Kemudian memerciki itu hanya cukup, selama bayi tiada beroleh makanan selain dari jalan menyusu. Adapun bila ia telah diberi makan, maka tak ada perbedaan pendapat tentang wajib mencucinya. Keringanan dengan cukup diperciki itu mungkin sebabnya karena gemarnya orang-orang buat menggendong bayi hingga sering kena kencing dan masyaqqah atau sulit buat mencucinya, diberi keringanan dengan cara tersebut.
7. Wadi
Yaitu air putih kental yang keluar mengiringi kencing. Ia adalah najis tanpa perbedaan pendapat. Berkata ‘Aisyah ra.: “Adapun wadi ia adalah setelah kencing, maka hendaklah seseorang mencuci kemaluannya lalu berwudlu dan tidak usah mandi.” (Riwayat Ibnul Mundzir)
Dan dari Ibnu Abbas ra. mengenai mani, wadi dan madzi, katanya: “Adapun mani, hendaklah mandi, mengenai madzi dan wadi, pada keduanya berlaku cara bersuci.” (diriwayatkan oleh Atsram dan Baihaqi, sedang pada Baihaqi lafadhnya adalah sebagai berikut: “Adapun wadi dan madzi, katanya, cucilah kamaluanmu atau tempat kemaluanmu, dan laukanlah pekerjaan wudlu-mu untuk shalat.”)
8. Madzi: yakni air putih bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau ketika sedang bercanda. Kadang-kadang keluarnya tidak terasa. Terdapat pada laki-laki dan perempuan hanya lebih banyak pada golongan perempuan. Hukumnya najis menurut kesepakatan ulama, hanya bila ia menimpa badan wajib dicuci, dan jika menimpa kain, cukuplah dengan memercikinya dengan air karena ini merupakan najis yang sukar menjaganya sebab sering menimpa pakaian pemuda-pemuda sehat, hingga lebih layak mendapat keringanan dari kencing bayi.
Dari ‘Ali ra., katanya: Aku adalah seorang laki-laki yang banyak madzi, maka kusuruh seorang kawan menanyakan kepada Nabi saw. mengingat aku adalah suami putrinya. Kawan itupun menanyakan, maka jawab Nabi: ‘Berwudlulah dan cucilah kemaluanmu.’” (HR Bukhari dan lain-lain)
Dari Sahl bin Hanif ra. katanya: Aku mendapat kesusahan dan kesulitan disebabkan madzi dan sering mandi karenanya. Maka kusampaikan hal itu kepada Rasulullah saw. dan ujarnya: “Cukuplah kamu berwudlu karena itu.” Lalu kataku pula: “Ya Rasulallah, bagaimana yang menimpa kainku?” Sabdany: “Cukup bila engkau ambil sesauk air lalu percikkan ke kainmu hingga jelas olehmu mengenainya.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi serta katanya: “Hadits ini hasan lagi shahih.”)
Di dalam hadits ini terdapat Muhammad bin Ishak, dan ia adalah dlaif bila meriwayatkan disebabkan mudallas, hanya di sini ia tegas-tegas meriwayatkan hadits.
Juga hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Astram ra. dengan lafadh: “Aku banyak menemukan kesusahan karena madzi, maka akupun datang menemui Nabi saw. dan mengatakan hal itu kepadanya. Ujarnya: “Cukuplah bila kau mengambil sesauk air lalu memercikkan ke atasnya.”
9. Mani.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ia najis. Pendapat yang kuat adalah ia suci, tetapi disunahkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering. Berkata ‘Aisyah ra.: “Kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw. bila ia kering, dan kucuci bila ia basah.” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar)
Dari Ibnu Abbas, katanya: Nabi saw. ditanya orang mengenai mani yang mengenai kain, maka jawabnya: “Ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.” (Riwayat Daruquthni, Baihaqi dan Thahawi, sedang hadits menjadi perbantahan mengenai marfu’ atau mauqufnya, yakni tentang sampai sanadnya kepada Nabi saw. atau hanya sampai shahabat saja).
10. Kencing dan tahi binatang yang tidak dimakan dagingnya
Keduanya adalah najis karena hadits Ibnu Mas’ud ra. katanya: Nabi saw. hendak buang air besar, maka disuruhnya aku mengambilkan tiga buah batu. Dapatlah aku dua buah, dan kucari sebuah lagi tapi tidak ketemu. Maka kuambillah tahi kering lalu kuberikan kepadanya. Kedua batu itu diterima oleh Nabi, tetapi tahi tadi dibuangnya. Sabdanya: “Ini najis.” (HR Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)
Yang menambahkan dalam sebuah riwayat: “Ini najis, ini adalah tahi keledai.” Dan dimaafkan bila hanya sedikit, karena susah menjaganya. Berkata Walid bin Muslim: “Saya tanyakan kepada Auza’i: “Bagaimana tentang kencing binatang yang tidak dimakan dagingnya seperti bagal, keledai dan kuda?” Ujarnya: “Mereka mendapatkan kesulitan disebabkan itu dalam peperangan, dan tidaklah mereka cuci baik yang mengenai tubuh ataupun kain.”
Mengenai kencing atau tahi hewan yang dimakan dagingnya, di antara ulama mengatakan suci adalah Malik, Ahmad dan segolongan dari ulama madzab Syafi’i. Berkata Ibnu Taimiyah: “Tak seorang pun di antara shahabat yang mengatakan najis, bahkan mengatakannya najis itu adalah ucapan yang dibuat-buat yang tak ada dasarnya di kalangan shahabat yang dulu-dulu. Sekian.
Dari Anas ra. katanya: Orang-orang Ukul dan Ukrainah datang ke Madinah dan tertimpa sakit perut. Maka Nabi saw. menyuruh mereka untuk mencari unta perahan dan supaya meminum kencing dan susunya.” (HR Ahmad dan kedua Syaikh yakni Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjadi dalil tentang sucinya kencing unta.
Dan binatang-binatang lain yang dimakan dagingnya diqiyaskan kepadanya. Berkata Ibnul Mundzir: “Orang-orang yang mengatakan bahwa ini khusus bagi orang tesebut, tidaklah benar, karena keistimewaan itu tidak dapat diterima kecuali bila ada alasan.” Ulasnya lagi: “Dibiarkannya oleh ahli-ahli ilmu orang-orang itu menjual tahi kambing di pasar-pasar, dan menggunakan kencing unta buat obat-obatan baik di masa dulu maupun sekarang tanpa dapat disangkal, menjadi bukti atas sucinya.”
Berkata Syaukani: “Yang kuat ialah sucinya kencing dan sisa makanan dari setiap hewan yang dimakan dagingnya, berpegang kepada asal dan ishtish-hab lil baraatil ashliyah artinya mempertahankan hukum lama yakni kebebasan menurut asal. Sedang sifat dan keadaan najis itu adalah suatu hukum syara’, yang berpindah dari hukum yang dikehendaki oleh asal dan kebebasan, hingga ucapan orang yang mengakuinya tak dapat diterima kecuali bila ada dalil yang dapat dipakai alasan untuk memindahkan daripadanya, padahal dari orang-orang yang mengatakannya najis, tidak kita temui alasan tersebut.
11. Binatang jallalah, karena ada larangan terhadap mengendarai jallalah, memakan daging atau meminum susunya.
Dari Ibnu Abbas ra. katanya: Telah melarang Rasulullah saw. meminum susu jallalah.” (diriwayatkan oleh Yang Berlima kecuali Ibnu Majah, dan oleh Turmudzi dikatakan shahih)
Dan pada sebuah riwayat: “Nabi melarang mengendarai jallalah.” (HR Abu Dawud)
Dan diterima dari Umar bin Syu’aib, dari ayah dan seterusnya dari kakeknya ra. katanya: Rasulullah saw. melarang memakan daging keledai piaraan, begitu pun jallalah, baik mengendarai atau memakan dagingnya.” (HR Ahmad, Nasa’i dan Abu Daud)
Yang dimaksud dengan jallalah adlah binatang-binatang yang memakan kotoran, baik berupa unta, sapi, kambing, ayam, itik dan lain-lain sampai baunya berubah.
Tetapi jika ia dikurung dan terpisah dari kotoran-kotoran itu beberapa waktu dan kembali memakan makanan yang baik, hingga dagingnya jadi baik dan nama jallalah tadi jadi hilang dari dirinya, maka halal, karena illat atau alasan dilarang ialah karena berubah, sedang sekarang sudah tiada perubahan lagi.
12. Khamr / Arak. Bagi jumhur ulama ia adalah najis karena firman Allah: “Sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung itu adalah najis, termasuk perkara setan.” (al-Maidah: 90)
Sebagian ulama berpendapat bahwa ia adalah suci, sedang kata-kata najis pada ayat tersebut mereka tafsirkan sebagai najis maknawi, karena kata “Najis” itu merupakan predikat dari arak serta segala yang dihubungkan dengannya, padahal semua itu sekali-sekali tak dapat dikatakan najis biasa.
Firman Allah: “Hendaknya kamu jauhi najis yang berupa berhala.”
Ternyata bahwa berhala itu najis maknawi yang bila disentuh tidak menyebabkan kita bernajis. Juga karena dalam ayat tersebut ada ditafsirkan bahwa ia merupakan pekerjaan setan yang menimbulkan permusuhan dan saling benci serta jadi penghalang terhadap mengingat Allah dan melakukan shalat.
Dan dalam buku Subulus Salam tertera sebagai berikut: “Yang benar bahwa asal pada semua benda yang tersebut itu adalah suci, dan bahwa diharamkannya, tidaklah berarti bahwa ia najis. Contohnya candu, ia adalah haram tetapi tetap suci. Adapun barang najis, maka selamanya haram. Jadi setiap najis adalah haram, tetapi tidak sebaliknya. Keterangannya ialah menetapkan sesuatu sebagai najis, berarti melarang menyentuhnya dengan cara apapun juga. Maka menetapkan sesuatu barang sebagai najis, berarti menetapkan haramnya.
Lain halnya dengan menetapkan haramnya, misalnya memakai sutera dari emas, padahal keduanya adalah suci berdasarkan syara’ dan ijma’. Nah bila ini dapat anda pahami, maka diharamkannya berbagai macam tuak berikut arak sebagaimana dimaksudkan oleh dalil-dalil keterangan, tidak berarti bahwa itu najis, untuk itu hendaklah ada dalil atau keterangan lain.
Dan seandainya dalil itu tidak dijumpai, tetaplah ia berada dalam keadaan asal yang telah disepakati bersama yakni suci. Siapa-siapa yang menyangkal, berartilah ia menyangkal dalil itu sendiri.
13. Anjing. Ia adalah najis dan wajib mencuci apa yang dijilatnya, sebanyak tujuh kali, mula-mula dengan tanah berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. katanya: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Menyucikan bejanamu yang dijilat anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mulanya dengan tanah.” (HR Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi)
Mencuci dengan tanah maksudnya ialah mencampurkannya ke dalam air hingga menjadi keruh.
Jika ia menjilat ke dalam bejana yang berisi makanan kering, hendaklah dibuang mana yang kena dan sekelilingnya, sedang sisanya tetap dipergunakan karena sucinya tadi.
Mengenai bulu anjing, maka yang terkuat adalah suci, dan tak ada alasan mengatakannya najis.

Senin, 02 Desember 2013

Fiqih Haji Dan Umroh


1. PENGERTIAN HAJI DAN UMRAH 
Haji/Umrah menurut arti bahasa adalah “Az-ziyarah wa an-nusuk” yang berarti ziarah dan ibadah. 
Adapun menurut istilah syar’i haji/umrah adalah berkunjung ke tempat tertentu (Baitullah di Mekkah) pada masa yang tertentu dengan disertai rukun-rukun dan syarat-syarat yang tertentu. 
Sedamgkan pengertian Haji/Umrah secara umum yang difahami masyarakat adalah sebagai berikut: 
Haji adalah : Berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan beberapa amal perbuatan, antara lain : Ihram, Wukuf, Thawaf, Sa’i, Bercukur, dan amalan lainnya pada masa tertentu, demi memenuhi panggilan Allah SWT, dan mengharap ridho-Nya 
Umrah adalah : Berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan beberapa amal perbuatan, antara lain : Ihram, Thawaf, Sa’i,Bercukur, dan amalan lainnya pada masa tertentu, demi memenuhi panggilan Allah SWT, dan mengharap ridho-Nya
2. SYARAT-SYARAT WAJIB HAJI / UMRAH 
Syarat wajib adalah sesuatu yang wajib dipenuhi bagi setiap orang yang akan melaksanakan ibadah haji atau umrah, jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka kewajiban hajinya belum gugur. 
Adapun syarat-syarat wajib haji / umrah adalah : 
• Islam 
• Baligh (dewasa) 
• Aqil (Berakal) 
• Mukallaf / Mumayyiz 
• Merdeka 
• Istitha’ah (punya kemampuan)
3. RUKUN HAJI / UMRAH 
Rukun Haji/Umrah adalah rangkaian perbuatan yang wajib dikerjakan oleh orang yang melaksanakan ibadah haji/umrah yang tidak dapat diganti dengan lainnya walaupun dengan dam (denda), jika ditinggalkan maka tidak sah haji atau umrahnya. 
a. Rukun-rukun Haji 
1) Ihram 
 2) Wukuf di Arafah 
3) Thawaf Ifadhah 
4) Sa’i 
5) Bercukur (Tahallul) 
6) Tertib 
b. Rukun-rukun Umrah 
1) Ihram 
2) Thawaf 
3) Sa’i 
4) Bercukur (Tahallul)
5) Tertib
 4. WAJIB HAJI / UMRAH 
Wajib Haji/Umrah adalah rangkaian perbuatan yang wajib dikerjakan oleh orang yang melaksanakan ibadah haji/umrah, bila tidak dikerjakan wajib membayar dam (denda).
a. Wajib-wajib haji adalah : 
1) Niat / ihram haji dari miqat 
2) Mabit di muzdalifah 
3) Melontar jumrah aqabah 
4) Mabit di mina 
5) Melontar tiga jumrah 
6) Menghindari perbuatan yang terlarang 
7) Thawaf wada’ bagi yang akan meninggalkan mekah
b. Wajib-wajib umrah adalah : 
1) Niat / ihram umrah dari miqat 
2) Menghindari perbuatan yang terlarang 
5. SUNNAH-SUNNAH HAJI / UMRAH 
Sunnat Haji / Umrah adalah rangkaian amalan yang perlu dikerjakan dalam ibadah haji / umrah untuk memperoleh kesempurnaan dalam ibadah haji / umrah. Amalan ini tidak menentukan sah dan tidaknya ibadah haji / umrah 
a. Sunnah-sunnah haji adalah : 
1) Mandi dan shalat sunnat ihram 
2) Wukuf hingga terbenam matahari 
3) Thawaf qudum 
4) Thawaf tahiyyah 
5) Shalat sunnah thawaf 
6) Mengecup / menyalami hajar aswad 
7) Talbiyah sepanjang perjalanan
b. Sunnah-sunnah umrah adalah : 
1) Mandi dan shalat sunnat ihram 
2) Shalat sunnat thawaf 
3) Mengecup / menyalami hajar aswad 
4) Talbiyah sepanjang perjalanan 
 6. ISTITHA’AH 
Isthitha’ah haji/umrah artinya: kemampuaan melaksanakan ibadah haji/umrah. 
Menurut istilah syar’i adalah kemampuan seseorang secara fisik, harta dan pengetahuan untuk melaksanakan ibadah haji/umrah.
 7. MIQAT 
a. PENGERTIAN 
Miqat menurut bahasa adalah berasal dari kata “waqtun” yang berarti waktu. 
Menurut istilah syar’I (haji dan umrah), miqat adalah batas waktu atau tempat untuk ihram haji/umrah.
 b. MACAM-MACAM MIQAT 
Miqat haji/umrah dibagi menjadi dua macam: 
1) Miqat Zamani, yakni batas waktu untuk berihram haji atau umrah. 
2) Miqat Makani, yakni batas tempat untuk memulai ihram haji atau umrah

Jumat, 29 November 2013

Ringkasan Fiqih Zakat

Definisi Zakat
Zakat menurut bahasa adalah tumbuh dan bertambah, dan menurut syariat adalah kewajiban pada harta tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu dalam waktu tertentu.
Dan zakat adalah rukun Islam terpenting setelah dua kalimat syahadat dan shalat. Dan hukum menunaikannya adalah wajib berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku.” (QS al-Baqarah: 43)
Barangsiapa mengingkari wajibnya maka ia telah kafir, baik dia berzakat maupun tidak dan barangsiapa yang tidak mau membayar zakat karena bakhil dan pelit, karena sayang terhadap harta dan masih mengakui wajibnya zakat maka ia telah berdosa besar, terancam dengan siksa yang besar dan mengerikan di akhirat nanti, dan juga di dunia ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. ali-Imran: 180)

Syarat wajib zakat

a) Merdeka, bukan budak
b) Muslim
c) Hartanya mencapai nishab. Nishab adalah kadar harta tertentu sesuai dengan jenis harta tersebut. Baik pemilik harta maupun anak-anak, berakal maupun gila. Karena zakat wajib pada harta bukan pada orangnya.
d) Kepemilikannya mapan dan stabil dalam satu tahun atau tiap panen. Tidak berkaitan dengan harta orang lain.
e) Berlalu satu tahun (haul), berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu`anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu satu tahunHR Ibnu Majah dan At Tirmidzi. Kecuali pada pertanian, tidak diwajibkan pada tiap tahun, namun diwajibkan pada setiap panennya.

Harta yang dizakati

a) Emas, perak dan yang semisalnya, seperti uang dan lainnya.
b) Barang dagangan, semua barang dagangan.
c) Binatang ternak, yakni sapi, unta dan kambing
d) Pertanian, pada hasil bumi yang bisa ditakar dan ditimbang serta disimpan

A. Zakat Emas, Perak dan Uang

1. Wajib zakat pada emas bila telah mencapai dua puluh dinar atau lebih maka zakatnya dua setengah persen.
2. Dinar ditimbang dengan emas pakai ukuran mitsqal. Satu mitsqal ditimbang dengan timbangan sekarang adalah 4,25 gram.
3. 20 dinar sama dengan timbangan 85 gram emas. 20 x 4,25 = 85 gram emas. Inilah nishab emas. Kalau dalam mata uang rupiah, maka 85 gram x Rp 100.000 (dengan asumsi harga 1 gram emas = Rp 100.000) = Rp 8.500.000 maka yang wajib dikeluarkan adalah Rp 8.500.000 x 2,5% = Rp 212.500
4. Wajib zakat pada perak bila telah mencapai nishabnya (dengan bilangan) 200 dirham lebih, atau dengan timbangan lima awaq, adalah 2,5%
5. 200 dirham sama dengan timbangan 595 gram. Bila uang yang telah mencapai nishab berkumpul pada seseorang dan mencapai haul satu tahun maka wajib zakat, baik uang itu disiapkan untuk nafkah, nikah, membeli tanah atau membayar utang maupun untuk yang lainnya.
6. Pembuatan Emas dan Perak memiliki tiga keadaan:
a) Jika maksud pembuatan emas adalah untuk perdagangan maka itu ada zakatnya, berupa zakat barang dagangan yakni 2.5 persen. Karena barang tersebut telah menjadi barang dagangan maka diukur dengan mata uang negeri tersebut kemudian menzakatinya.
b) Jika maksud dari pembuatan emas tersebut untuk melapisi barang-barang, seperti tempat makan berupa pisau, sendok, kendi dan yang sejenisnya maka ini haram. Namun tetap wajib zakat bila telah mencapai nishab, dan zakatnya adalah 2.5 persen.
c) Jika maksud dari pembuatan emas untuk dipergunakan dalam hal-hal yang boleh atau untuk dipinjamkan, zakatnya 2,5 persen bila mencapai satu haul dan mencapai nishab. Namun di sini ada perselisihan pendapat ulama.
7. Uang kertas zaman sekarang, seperti riyal, dolar dan lain-lain hukumnya sama dengan hukum emas dan perak. Ditaksir dengan harga dasar; bila telah mencapai nishab salah satu dari emas dan perak tersebut, maka wajib zakat. Ukuran zakatnya 2,5 persen dan telah berlalu satu haul (tahun).
8. Cara Mengeluarkan Zakat Uang
Uang ditaksir dengan nishab emas atau perak, bila minimal nishab emas 85 gram dan misalnya harga satu gram emas 40 riyal Saudi, maka kita kalikan nishab emas dengan harga satu gram emas (85 x 40 = 3400 riyal) inilah minimal nishab uang. Maka zakat yang harus dikeluarkan 85 riyal Saudi, dan itu sama dengan 2,5 persen.
9. Untuk mengeluarkan kadar zakat uang, maka harta dibagi 40 maka akan keluar 2,5 persen. Demikianlah yang wajib dalam masalah zakat emas dan perak serta apa yang diikutkan hukumnya. Contohnya, kalau seseorang memiliki delapan puluh ribu riyal, maka (80.000/40 = 2000 riyal) jadi itulah kadar zakat uang, yakni 2.5 persen.
10. Hukum Zakat Perhiasan yang Dipakai
Dibolehkan bagi para perempuan apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka, memakai emas maupun perak tanpa ada pemborosan, dan wajib bagi mereka untuk membayar zakat bila telah mencapai nishab serta berlalu satu tahun. Barangsiapa yang tidak tahu hukum maka wajib membayarkannya kapan mengetahuinya. Adapun tahun-tahun yang berlalu sebelum adanya ilmu maka tidak ada zakatnya, karena hukum-hukum syar’i hanya wajib dengan ilmu. Namun di sini ada perselisihan pendapat ulama.
11. Emas, berlian dan batu-batu berharga serta yang sejenisnya bila hanya dipakai maka tidak ada zakatnya. Adapun bila diperdagangkan maka ditaksir harganya dengan nishab salah satu dari emas atau perak, jika telah mencapai nishab dan berlalu satu tahun maka zakatnya 2.5 persen
12. Emas tidak digabungkan dengan perak dalam menggenapkan nishab, harga barang dagangan digabungkan ke salah satu dari keduanya.

B. Zakat Binatang Ternak

Zakat binatang ternak wajib dengan dua syarat;
1. Hewan tersebut untuk dikembangbiakkan dan diternak, bukan dipakai untuk kerja.
2. Hewan tersebut dipelihara, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Pada unta yang dipelihara setiap empat puluh satu bintu labun” HR Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i.
Nishab Unta dan Zakatnya
Dari 5 sampai 9 ekor, 1 ekor kambing. Dari 10 sampai 14 ekor; 2 ekor kambing. Dari 15 sampai 19 ekor, 3 ekor kambing. Dari 20 sampai 24 ekor; 4 ekor kambing. Dari 25 sampai 35 ekor; 1 ekor unta usia 1 tahun (bintu makhad). Dari 36 sampai 45, 1 ekor unta usia 2 tahun (bintu labun). Dari 46 sampai 60, 1 ekor unta usia 3 tahun (hiqqah). Dari 61 sampai 75, 1 ekor unta usia 4 tahun (jadza’ah). Dari 76 sampai 90; 2 ekor unta usia 2 tahun. Dari 91 sampai 120; 2 ekor unta usia 3 tahun. Apabila lebih dari 120 ekor maka wajib (zakat) pada setiap 40 ekor unta, satu bintu labun. Pada setiap 50 ekor unta satu ekor hiqqah. Dan pada 150 tiga hiqqah. Pada 160 ekor unta empat bintu labun. Pada 180 ekor unta zakatnya dua hiqqah dan dua bintu labun. Pada 200 ekor unta lima bintu labun atau empat hiqqah.
Nishab Sapi dan Zakatnya
Dari 30 sampai 39, 1 ekor sapi usia 1 tahun (tabi’ atau tabi’ah). Dari 40 sampai 59, 1 ekor sapi usia 2 tahun (musinnah). Dari 60 sampai 63; 2 ekor sapi usia 1 tahun.
Kemudian pada setiap 30 ekor sapi, zakatnya satu ekor sapi jantan/betina berumur satu tahun (tabi’/tabi’ah) dan pada 40 ekor sapi maka zakatnya satu ekor sapi berumur dua tahun (musinnah) dan pada 50 ekor sapi zakatnya dua ekor sapi berumur dua tahun (musinnah). 70 ekor sapi zakatnya dua ekor sapi, yang satu berumur dua tahun dan yang lainnya berumur dua tahun (tabi’ dan musinnah). 100 ekor sapi zakatnya dua ekor sapi berumur satu tahun dan satu ekor sapi berumur dua tahun. Pada 120 ekor sapi zakatnya tiga ekor sapi berumur dua tahun.
Nishab Kambing dan Zakatnya
Dari 40 sampai 120; 1 ekor kambing. Dari 121 sampai 200; 2 ekor kambing. Dari 201 sampai 399; 3 ekor kambing.
Kemudian pada setiap seratus ekor kambing zakatnya satu ekor kambing. 399 ekor kambing zakatnya 3 ekor kambing, dan 400 sampai 499 ekor kambing zakatnya empat ekor kambing. Dan begitu seterusnya.

C. Zakat Barang Dagangan

1. Barang dagangan adalah barang yang dipersiapkan untuk jual-beli demi keuntungan, berupa tanah, hewan, makanan, minuman dan alat-alat serta lainnya.
2. Syarat diwajibkannya zakat pada harta dagangan ada dua:
a) Dimiliki dengan kehendak dan pilihannya
b) Dimiliki dengan niat untuk berdagang
3. Barang dagangan bila untuk perdagangan dan telah mencapai nishab serta berlalu satu tahun maka wajib membayar zakat. Ketika telah satu tahun ditaksir dengan yang paling berharga bagi wajib zakat (mustahiq) baik emas maupun perak, dikeluarkan 2.5 persen dari barang yang diperjualbelikan dan keuntungannya.
4. Rumah, tanah, mobil dan alat-alat bila diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau dipergunakan bukan sebagai dagangan maka tidak ada zakatnya. Bila disiapkan untuk penyewaan maka zakatnya wajib atas upah sewa sejak akad sampai berlalu satu tahun dan mencapai nishab. Sedangkan bila diperuntukkan sebagai dagangan maka wajib zakat pada harganya bila telah mencapai nishab dan berlalu satu tahun.
5. Alat-alat pertanian, pabrik, perdagangan dan yang semisalnya, tidak ada zakat pada dzat barang tersebut, karena (hakikatnya) barang tersebut bukan didagangkan namun untuk digunakan.

D. Zakat Hasil Bumi

1. Hasil bumi adalah biji-bijian, buah-buahan, barang tambang dan barang terpendam serta lainnya.
2. Wajib zakat pada semua jenis biji-bijian dan pada tiap buah yang dapat ditakar dan dapat disimpan seperti kurma dan kismis. Disyaratkan sebagai hak miliknya ketika datang kewajiban zakat, mencapai nishabnya (5 wasaq). Setiap satu wasaq = 60 sha’ dan setiap satu sha’ = 2.40 kg dan berarti nishab hasil bumi yakni 60 x 5 = 300 sha’ dan 300 sha’ x 2.40 kg = 720 kg.
3. Sha’ nabawi setara 4 mud (cakupan dua tangan) sedang dan setara dengan 2.40 kg.
4. Buah-buahan yang telah satu tahun bila satu jenis maka digabungkan dalam menyempurnakan nishab seperti jenis-jenis kurma.
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu’anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak ada zakat pada hasil panen yang kurang dari lima awaq, tidak ada zakat pada hasil panen yang kurang dari lima dzaud dan tidak ada zakat pada hasil panen yang kurang dari lima awsuq’” Muttafaqun ‘Alaihi.
5. (Kadar) wajib zakat pada hasil bumi
a) 10 persen. Wajib pada hasil panen yang diairi tanpa biaya, seperti yang diairi dengan air hujan atau mata air serta lainnya.
b) 5 persen. Wajib pada hasil panen yang diairi dengan biaya, seperti dengan air sumur yang dikeluarkan dengan alat (mesin) atau lainnya.
6. Waktu wajibnya zakat biji-bijian dan buah-buahan, bila telah tua biji-bijian tersebut dan telah masak buah-buahan (waktu panen), yakni dengan menjadi merah atau kuning. Bila dijual oleh pemiliknya maka zakatnya wajib atas dia bukan atas pembelinya.
7. Bila rusak biji-bijian dan buah-buahan (seperti kurma dan anggur, penerj) tanpa keteledoran dan tanpa sengaja dari pemiliknya, maka gugurlah kewajiban zakat.
8. Tidak ada kewajiban zakat pada sayuran dan buah-buahan (seperti jambu, rambutan, dan lain-lain) kecuali bila barang tersebut disiapkan untuk perdagangan, maka dari harganya dikeluarkan 2.5 persen bila telah berlalu satu tahun dan mencapai nishab.

Rabu, 27 November 2013

Ilmu Rijalul Hadis

TA’ RIEF ILMU RIJALIL HADITS
Ilmu Rijalil Hadits adalah salah satu dari ilmu-ilmu hadits yang sangat penting. Ilmu hadits, melengkapi sanad dan matan. Orang-orang sanad itulah perawih-perawih hadits. Maka merekalah pokok pembicaraan ilmu Rijalul Hadits yang merupakan salah satu dari dua tepi ilmu hadits. Lantataran inilah para ulama sangat mementingkan ilmu ini.
Ilmu Rijalul hadis terbagi atas dua ilmu yang besar:
1. Ilmu Tarikhir Ruwah : Ilmu sejarah perawi-perawi hadits.
2. Ilmu jahri wat Ta’dil : Ilmu yang menerangkan adil tidaknya perawi hadits.
Maka Ilmu Tarikhir Ruwah ialah :
“ ilmu yang mengenalkan kepada kita perawi-perawi hadits dari segi mereka meriwayatkan hadits. Maka ilmu ini menerangkan keadaan-keadaan perawi, hari kelahirannya, kewafatannya, guru-gurunya, masa mulai mendengar hadits dan orang-orang yang meriwayatkan hadits dari padanya, negrinya, tempat kediamannya, perlawatan-perlawatnnya, sejarah kedatangannya ketempat-tempat yang dikunjungi dan segala yang berhubungan dengan urusan hadits”.
Ilmu ini lahir bersama-sama dengan lahirnya periwayatan hadits dalam islam. Para ulama sangat mementingkannya supaya mereka mengetahui keadaan perawi-perawi sanad. Mereka menanyakan tentang umur perawi, tempat kediamannya, sejarah mereka belajar, sebagai mana mereka menanyakan tentang peribadi perawi sendiri agar mereka mengetahui tentang kemustahilannya dan kemunqathii’annya, tentang kemarfu’annya dan kemauqufannya.
Memang sejarahlah senjata yang ampuh untuk menghadapi para pendusta. Sufyan Ats Tsauri berkata :
“ tatkala para perawi telah mempergunakan kedustaan, kamipun mempergunakan sejarah”
Dengan kesungguhan para ulama dalam mengahadapi sejarah para perawi, terkumpullah suatu perbendaharaan besar yang menerangkan sejarah para perawi hadits, kekayaan itu mereka simpan dalam hasil-hasil karya mereka. Maka ada yang menulis tentang hal sahabat dan segala sangkut pautnya, tentang bilangan hadits-hadits mereka dan perawi-perawinya.
Di waktu memancar mata hari pembukuan ilmu, lahirlah aneka karangan yang menerangkan berita-berita sahabat dan tabi’in, tabi’it tabi’in dan orang-orang yang sesudah mereka. Berbagai macam jalan yang ditempuh para pengarang sejarah perawi hadits. Ada yang mengarang sejarah para perawi, thabaqat demi thabaqat, yakni orang-orang semasa, kemudian orang-orang semasa pula.
Diantara kiatab yang paling tua yang menulis sejarah perawi thabaqat demi thabaqat, ialah kitab At Thabaqat Al Kubra, karya Muhammad ibn Sa’ad (168-230 H). dan Thabaqatur Ruwah karangan Khalifah ibn Khayyath Al-ashfari (240H). Diantara mereka, ada yang mensyarahkan menurut athun perawi, dari tahun demi tahun. Di dalamnya diterangkan tahun wafat para perawi, disamping menerangkan keadaan beritanya.
Adz Dzahabi dalam kitabnya” Tarikhul Islam menempuh jalan ini”. Di antara mereka, ada yang menyusun sejarah perawi menurut huruf abjad. Macam inilah yang mudah kita pelajari. Diantara kitab yang paling tua yang sampai kepada kita ialah : At Tarikhul Kabir Karya Al Imam Muhammad ibn islmail Al bukhari (194- 256 H). di dalamnya disebutkan lebih kurang 40.000 biografi pria dan wanita.
Kitab yang paling mengumpulkan biografi perwai-perawi hadits ialah: Kitab Tahdzieb, karya Al Hafidh ibnu Hajar Al Asqalany (773-853 H). Al Hafidh Abu Muhammad Abdu Ghani ibn Abdul Wahid Al Maqdasi (514-600 H). menyusun sebuah kitab yang dinamakan Al Kamal fi Asmair Rijal. Kemudian kitab itu dibersihkan oleh Al Hafidh Yusuf ibn Abdur Rahman Al Mizzi (654- 742 H). dengan diberi tambahan-tambahan dan ditertibkan menurut huruf abjad, kitabnya dinamakan Tahdzibul Kamal fi Rijal yang selesai disusun pada tahun 712 H.
Kemudian Ibnu Hajar Al Asqalani meringkaskan kitab itu dengan sebuah kitab yang dinamakan Taqribut Tahdzib fi Asmal Rijal. Ada pula yang menyusun menurut negeri perawi hadits. Pengarannya menjelaskan ulama-ulama negerinya dan ulama-ulama yang datang ke negri itu. Dan terkadang-kadang diterangkan pula orang yag meriwayatkan hadits dari ulama-ulama itu.
Kebanyakan mereka menyebutkan keutamaan negeri ulama-ulamanya dibuat sejarah, kemudian mereka menyebut sahabat-sahabat yang berada di negeri itu, atau berkediaman di negara itu. Kemudian barulah diterangkan ualama-ulama lain menurut huruf abjad. Di antara kitab yang paling tua dalam bidang ini ialah, ialah Tarikh Naisabur, karangan Al Hakim(321-405 H) dan Tarikh Baghdad karya Ahmad ibn Ali Al Baghdadi yang terkenal dengan nama Al khatib Al Baghdadi ( 392-463 H) sebuah kitab yang baik. Di dalamya terdapat sejumlah 7831 biografi dan tarikh Dimasyqa, karya Ibnu Asakir ( 499-571).
Ada para ahli hadits yang menyusun kitab-kitab yang menerangkan nama-nama perawi, kun-yah dan Iaqab dan kebangsaan mereka. Ada pula yang menulis nama-nama yang mu’talif dan mukh’talif, perawi-perawi yang bersaudara, sahabat-sahabat yang panjang umur, demikian pula para tabi’in dan lainnya.
Ada pula yang menulis nama-nama yang hamper sama. Diantara kitab yang paling tua yang menerangkan nama dan kun-yah, ialah Al Asma Wal Kuna, karya Ali ibn Abdullah Al madini (161-234 H). kitab yang paling padat isinya dalam bidang ini ialah Al Kuna Wal Asma karangan Muhammad ibn Ahmad Ad Daulabi (234-320 H) dan kitab Al Ikmal, karya Ibn Nakula Al Baghdadi (421-486 H).
Kiatab yang paling padat isinya dalam bidang nama yang hampir-hampir sama, ialah Al Musytabah fi Asmair Rijal, karya Adz Dzahabi (673-740 H). sedangkan kitab yang paling padat isinya tentang laqab-laqab para perawi ialah Nushatul Alhab fil Al Qab, karya Al’Asqalani (733-852 H).
Kitab yang paling besar dalam bidang silsilah keturunan para perawi, ialah kitab Al Ansab, karya Tajul Islam Abdu Karim ibn Muhammad As San’ni (506-562 H). dan kitab Al Lubab, karya Ali ibn Muhammad Asy Syaibani Al Jazari (555-630 H). para ulama tidak saja meriwayatkan sejarah perawi perawi lelaki, bahkan meriwayatkan juga sejarah perawi-perawi wanita yang telah menjadi pengembang-pengembang hadits, seperti Aisyah dan isteri-isteri nabi lainnya, serta sahabat-sahabat wanita.
Muhammad ibn Sa’ad (168-230 H) menspesialkan jilid terakhir dari kitabnya untuk perawi-perawi wanita, sungguh usaha ulama-ulama kita dalam bidang ini mengagumkan benar.[1] Ilmu ini ada yang menanamkan Ilmu Tarikh, ada yang menanamkan Tarikhur Ruwah, ada yang menanamkan Wafayyatur Ruwah, dan ada yang menanamkan At Tawarikh Wafiyyyat.
ILMU JARHI WAT TA’DIL
1. TA’RIEF JARHI
Jarah, menurut bahasa lughah bermakna melakukan badan yang karenanya mengalirkan darah. Apabila dikatakan: hakim menjarahkan saksi maka maknanya : hakim menolak kesaksian saksi. [2]Menurut istilah ahli hadits.
“Nampak suatu sifat pada perawi yang merusak keadilannya atau mencederakan hafadhannya, karenanya gugurlah riwayatnya dipandang lemah”.
2. TA’RIEF TAJRIEH
Tajrieh menurut lughat, bermakna tasyqieq= melakukan, sedangkan ta’jieb = mengaibkan. Menurut uruf ahli hadits, ialah:
“mendhahirkan sesuatu cacat yang karenanya ditolak riwayatnya”
“Mensifatkan para perawih dengan sifat-sifat yang menyebabkan dilemahkan riwayatnya atau tidak diterima”.
Adil menurut lughah :
“suatu yang dirasakan oleh diri, bahwasanya dia itu adalah dalam keadaan lurus”.
Orang yang dipandang adil adalah : orang yang diterima kesaksiannya, yaitu : islam, bulugh, adalah keadilan dan dlabath. Menurut istilah adalah:
“ orang yang tidak nampak dalam urusan keagamaannya dan muruahnya sesuatu yang mencederakan keadilan dan muruhnya”.
Karena itu terimalah kesaksiaannya dan riwayatnya apabila sempurna keahliannya meriwayatkan hadits.
3. TA’DIL
ta'dil menurut lughat adalah taswiyah ( menyamakan) sedangkan menurut istilah ialah
“ mensfatkan perawi dengan sfat-sifat yang menetapkan kebersihannya dari pada kesalahan-kesalahannya, lalu Nampaklah keadilannya dan diterimalah riwayatnya”.
Menurut uruf ahlil hadis ialah
“ mengakui keadilan seseorang, kedlabithan dan kepercayaan”.
Maka ilmu jarwi wat Ta’dil ialah:
“ ilmu yang membahas keadaan-keadaan perawi dari segi terima, tolak riwayatnya”.
Ilmu ini salah satu yang terpenting dan tinggi benar nilaiya, karena dengan dialah dapat dibedakan antara yang shahih dengan yang saqim, antara yang diterima dengan yang ditolak, mengingat timbilnya hukum-hukum yang berbeda-beda dari pada tingkatan Jarah dan Ta’dil ini.
4. PERTUMBUHAN ILMU JARHI WAT TA’DIL
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui hadits-hadits yang shahih perlu mengetahui keadaan perawi-perawinya secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran perawi atau kedustaannya hingga dapatlah mereka nenbedakan antara yang diterima dan ditolak.
Karena itu para ulama menanyakan tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan mereka, hingga mengetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatan, lebih lama menyertai guru. Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbunya periwayatan dalam islam. Para ulama menerangkan catatan-catatan para perawi yang memang tercatat.
5. LAFADH-LAFADH TA’DIL
Para ulama hadits telah menempatkan lafadh-lafadh ta’dil dalam beberapa martabat
1. Ibnu Abi Hatim, Ibnush Shalah dan An Nawawi menjadikan 4 martabat.
2. Adz Dzahabi dan Al’Iraqi menjsdiksn 5 martabat.
3. Al Hafidh ibnu Hajar menjadikan 6 martabat bagi Ta’dil dan 6 martabat bagi tajrieh.
A. Tiap-tiap ibarat yang masuk kepadanya fi’il tafdlil dan yang menyerupai fi’il tafdil yang menunjukan kepada mubalaghah, yaitu seperti kata ulam hadits :
1.“ Si anu orang yang paling kepercayaan”.
2. “ Si Anu orang yang paling kuat hafalannya dan keadilannya”.
Dan perkataan.
“Kepadanyalah kesusahan”.
An Nawawi memasukan ke dalam martabat ini perkataan:
“ tak ada sesorang yanga lebih kuat dari padanya”.
“ dan siapa yang sama si anu”.
“ si polan ditanya tentang keadaannya “
Martabat inilah yang dipandang paling tinggi dari martabat yang lain.
B. Tiap-tiap ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi, dengan mengulangi-ulangi lafadh yang menunjukan kepada keadilan, dua kali atau lebih, baik lafadh yang kedua itu, lafadh yang pertama, ataupun yang semakna dengan lafadh yang pertama, dan makin banyak diulang-ulang kalimat itu, makin menunjukan maksud seperti dikatakan ;
Kepercayaan,kepercayaan
Kepercayaan, kuat hafalan.
Penghafal hadits dan orang yang perkataannya jadi hujjah.
Di antaranya perkataan Ibnu Sa’id dalam thabaqat terhadap syu’bah :
“Kepercayaan, orang yang terpelihara, teguh hafalan, perkataanya menjadi hujjah, pemelihara hadis.
Ibnu Uyainah mengatakan, bahwa telah diceritakan kepadanya oleh Amer ibn Dienar dan beliau seorang tsiqah Sembilan kali Ibn Uyainah kata tsiqah.
C. Ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi, dengan sesuatu lafadh yang member pengertian, bahwa perawi itu kokoh ingatannya, seperti dikatakan
1. Si polan orang yang teguh hati dan lidah
2. Si polan teguh dan bagus riwayatnya
3. Si polan kepercayaan
4. Si polan penghafal hadits
5. Si polan seorang yang teguh hafalannya
6. Si polan hijjah
D. Ibarat yang menunjukkan kepada derajat para perawi dengan suatu lafald yang tidak memberi pengertian, bahwa dia itu orang yang kokoh ingtannya, seperti
1. si polan orang yang sangat benar
2. si polan boleh dipegang perkataanya
3. si polan tak ada padanya cacat
4. si polan tak ada cacattan padanya
5. si polan orang pilihan
Diterangkan oleh ibnu Abi Hatim bahwa perawi yang dikaitkan demikian terhadap dirinya, ditulis haditsnya lalu diselidiki apakah orang itu kuat ingatan, atau tidak.
E. Ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi dengan sifat yang tidak member pengertian bahwa dia, kokoh ingatan dan tidak pula menunjukkan kepada benar dan amanah, seperti perkataan :
“ Si polan adalah orang yang dapat dipandang benar”
Masuk kedalam martabat ini, perkataan :
1. Si polan orang yang diriwayatkan dari padanya
2. Si polan yang pertengahan
3. Si polan seorang syaikh
4. Si polan seorang yang pertengahan dan seorang syaikh
5. Si polan seorang yang baik haditsnya
6. Si polan seorang yang mendekati haditsnya
7. Si polan seorang yang indah haditsnya
8. Si polan sesorang yang didekati hadisnya.
9. Si polan seorang yang shahih haditsnya
Di sini perlu ditegaskan bahwa Al Bulqini berpendapat, Muqaribul Hadits ( dengan mengkasrahkan raa) dipakai lafadh ta’dil sedangkan muqarabul hadits ( dengan mengghafathahkan raa) dipakai buat lafadh tajrih.[6] Makna muqarrab adalah radie’un = buruk. Diterangkan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani bahwa masuk kedalam martabat ini, apabila dikumpulkan antara lafadh shaduuq dengan lafadh yang menunjukan kepada lemah seperti :
1.orang yang benar, buruk hafalannya
2. orang benar, tapi berwaham
3. oarng benar, yang banyak waham
4. orang benar yang sering silap
5. orang yang benar berubah akal diakhir umurnya
Hadist-hadits orang yang tersebut ini, ditulis untuk I’tibar dan nadhar. Dan dimasukkan pula kedalam martabat ini, mensifatkan perawi, dengan ahli bid’ah. Seperti dikatakan : “ dia menganut madhzab Syi’ah, madzhab Qadariyah, Murjiyah dan lain-lain sebagainya.
F. Ibarat yang menunjukkan kepada derajat perawi dengan sesuatu lafadh dari lafadh-lafadh yang telah lalu, kemudian diiringinya dengan perkataan “ jiak dikehendaki allah”, atau menunjukan bahwa perawi itu tidak teguh mempunyai sifat-sifat itu, seperti dikatakan:
1. dia seorang benar insya allah
2. saya harap dia orang yang dapat diterima
3. si polan orang yang sedikit salih
Al Hafidh ibnu Hajar Al Asqalani menambah lagi dengan perkataan :
“Yang dierima”
Golongan ini ditulis haditsnya untuk dinadharkan. Tegasnya, tiga martabat yang pertama, ditulis dengan tidak dinadharkan lagi. Tiga martabat yang ke dua, ditulis haditsnya untuk dinadharkan. Diterima syahadat terhadap penetapan-penetapan tersebut dengan akuan seorang yang mengetahui sebab-sebab tazkiyah (ta’dil), seperti Asy Syafi’I, Ahmad dan Al bukhari.
6. HUKUM JARH
Al imam An Nawawi dalam muqaddamah Syarah Muslim mengatakan bahwa telah sepakat para ulama membolehkan mencatat para perawi lantaran hal itu diperlukan untuk memelihara agama. Hal ini tidak dipandang upa, bahkan dipandang suatu nasehat yang harus kita lakukan demi kepentingan agama. Ulama-ulam dan tokoh-tokoh utama membuat yang demikian.
7. MARTABAT-MARTABAT TAJRIEH
Sebagaimana ta;dil bermatabat, begitu juga tajrieh. Kesatu, memakai kata-kata yang menunjukkan kepada tercela perawi. Seburuk-buruk lafadh-lafadh tajrih, ialah mensifatkan perawi dengan ibarat yang menunjukkan kepada sangat dusta dalam mewadla’kan hadits, atau dengan kedua-duanya seperti :
1. Si polan seorang yang paling dusta
2. Seorang yang paling banyak membuat hadits palsu
3. Kepadanya puncak pembuatan hadits palsu
4. Dia tiang tonggak dusta
5. Dia sumber dusta
Kedua memakai kata-kata atau istilah :
1. Dia dajjal pengrusak
2. Dia seorang yang banyak memalsukan hadits
3. Dia seorang yang sangat pendusta
Kedua mensifatkan perawi dengan salah satu sifat dusta dan memalsukan hadits, tetapi tidak terlalu merekankan, atau mensifatkanny dengan sifat yang kurang buruknya dari dusta dan memalsukan hadits seperti:
1. Si anu terdutuh berdusta
2. Si anu tertuduh memalsukan hadits
3. Si polan padanya ada peninjauan
4. Si polan seorang yang gugur
5. Si polan seorang yang biasa
6. Si polan orang yang tidak di I’tibarkannya
7. Si polan, tidak di I’tibarkan haditsnya
8. Si polan para ulama berdiam diri tentang halnya
9. Si polan seorang yang tidak diacuhkan
10. Si polan oaring yang di tinggalkan
11. Si polan orang yang ditinggalkan haditsnya
12. Si polan para ulam meninggalkannya
13. Si polan bukan orang kepercayaan
Ketiga memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :
1. Si polan para ulama membuang haditsnya
2. Si polan orang yang dicampak
3. Si polan orang yang dicampak haditsnya
4. Si polan dla’if sekali
5. Si polan orang yang ditolak
6. Si polan para ulama menolak haditsnya
7. Si polan orang yang ditolak haditsnya
8. Si polan tidak dipandang apa-apa
9. Si polan tidak menyamai apa-apa
Keempat memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :
1. Si polan tidak diambil hujjah dengan dia
2. Si polan munkar hadits
3. Si polan bolak-balik haditsnya
4. Si polan lemah
5. Si polan dla’if
6. Si polan para ulama melemahkannya
Kelima memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :
1. Si polan dilemahkan
2. Si polan padanya ada kelemahan
3. Si polan pada haditsnya ada kelemahan
4. Si polan padanya ada pembicaraan
5. Si polan pada haditsnya ada pembicaraan
6. Si polan diingkar dan diakui, yakni sekali membawa hadits munkar dan sekali dia membawa ma’ruf
7. Si polan padanya ada perselisihan
8. Si polan diperkatakan ulama
9. Si polan dicecat ulama
10. Si polan mempunyai kelemahan
11. Si polan buruk hafalannya
12. Si polan lembut
13. Si polan lembut haditsnya
14. Si polan bukan hujjah
15. Si polan tidak kuat
16. Si polan tidak kukuh
17. Si polan bukan pegangan
18. Si polan tidak ada artinya
19. Si polantidak sama dengan kuat itu
20. Si polan bukan orang tidak diridlai
21. Si polan saya tidak ketahui buruknya
22. Si polan saya harap tak ada buruknya
Golongan ini ditulis haditsnya I’tibar. Golongan ini paling dekat kepada ta’dil. Ibnu Abie Hatim mengatakan bahwa: “ orang yang lembut haditsnya”, maka dikatakn laiyinul= orang yang lembut haditsnya, maka hadits tersebut di tulis untuk dinadharkan.
.