ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Rabu, 19 Februari 2014

Fungsi Gunung Dalam Alqur'an

Al Qur’an mengarahkan perhatian kita pada fungsi geologis penting dari gunung.
"Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)
Sebagaimana terlihat, dinyatakan dalam ayat tersebut bahwa gunung-gunung berfungsi mencegah goncangan di permukaan bumi.
Kenyataan ini tidaklah diketahui oleh siapapun di masa ketika Al Qur’an diturunkan. Nyatanya, hal ini baru saja terungkap sebagai hasil penemuan geologi modern.
Menurut penemuan ini, gunung-gunung muncul sebagai hasil pergerakan dan tumbukan dari lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak bumi. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya, sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya dengan yang tampak di permukaan bumi.
Dalam tulisan ilmiah, struktur gunung digambarkan sebagai berikut:
Pada bagian benua yang lebih tebal, seperti pada jajaran pegunungan, kerak bumi akan terbenam lebih dalam ke dalam lapisan magma. (General Science, Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 305)
Dalam sebuah ayat, peran gunung seperti ini diungkapkan melalui sebuah perumpamaan sebagai "pasak":
"Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?" (Al Qur'an, 78:6-7)
Dengan kata lain, gunung-gunung menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi dengan memanjang ke atas dan ke bawah permukaan bumi pada titik-titik pertemuan lempengan-lempengan ini. Dengan cara ini, mereka memancangkan kerak bumi dan mencegahnya dari terombang-ambing di atas lapisan magma atau di antara lempengan-lempengannya. Singkatnya, kita dapat menyamakan gunung dengan paku yang menjadikan lembaran-lembaran kayu tetap menyatu.
Fungsi pemancangan dari gunung dijelaskan dalam tulisan ilmiah dengan istilah "isostasi". Isostasi bermakna sebagai berikut:
Isostasi: kesetimbangan dalam kerak bumi yang terjaga oleh aliran materi bebatuan di bawah permukaan akibat tekanan gravitasi. (Webster's New Twentieth Century Dictionary, 2. edition "Isostasy", New York, s. 975)
Peran penting gunung yang ditemukan oleh ilmu geologi modern dan penelitian gempa, telah dinyatakan dalam Al Qur’an berabad-abad lampau sebagai suatu bukti Hikmah Maha Agung dalam ciptaan Allah.
"Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)

Dengan perpanjangannya yang menghujam jauh ke dalam maupun ke atas permukaan bumi, gunung-gunung menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi yang berbeda, layaknya pasak. Kerak bumi terdiri atas lempengan-lempengan yang senantiasa dalam keadaan bergerak. Fungsi pasak dari gunung ini mencegah guncangan dengan cara memancangkan kerak bumi yang memiliki struktur sangat mudah bergerak. 

Mengapa gunung diistilahkan sebagai pasak? Menurut Prof Press, sebenarnya, kerak bumi mengapung di atas cairan. Lapisan terluar bumi membentang 5 km dari permukaan. Kedalaman lapisan gunung menghujam sejauh yang 35 km. Dengan demikian, pegunungan adalah semacam pasak yang didorong ke dalam bumi.

"Jadi gunung inilah yang berfungsi sebagai pasak untuk menstabilkan kerak bumi," ungkap  Prof Press.

Selasa, 04 Februari 2014

Sejarah Munculnya Filsafat Islam

Filsafat Islam (ilustrasi).
Filsafat Islam (ilustrasi).

Pemikiran filsafat masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai kaum Muslimin pada abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah di Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.

Dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve dijelaskan bahwa kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke daerah-daerah itu melalui ekspansi Alexander Agung, penguasa Macedonia (336-323 SM), setelah mengalahkan Darius pada abad ke-4 SM di kawasan Arbela (sebelah timur Tigris).

Alexander Agung datang dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya, ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini telah memunculkan pusat-pusat kebudayaan Yunani di wilayah Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antiokia di Suriah, Jundisyapur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia.

Pada masa Dinasti Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu nampak karena ketika itu perhatian penguasa Umayyah lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab. Pengaruh kebudayaan Yunani baru nampak pada masa Dinasti Abbasiyah karena orang-orang Persia pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan pusat.

Para Khalifah Abbasiyah pada mulanya hanya tertarik pada ilmu kedokteran Yunani berikut dengan sistem pengobatannya. Tetapi kemudian mereka juga tertarik pada filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Perhatian pada filsafat meningkat pada zaman Khalifah Al-Makun (198-218 H/813-833 M).

Penerjemahan Naskah
Kelahiran ilmu filsafat Islam tidak terlepas dari adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam.

Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban disebutkan bahwa usaha penerjemahan ini tidak hanya dilakukan terhadap naskah-naskah berbahasa Yunani saja, tetapi juga naskah-naskah dari bebagai bahasa, seperti bahasa Siryani, Persia, dan India.



Usaha penerjemahan tersebut berlangsung selama tidak kurang dari satu setengah abad di zaman klasik Islam (abad ke-1 hingga abad ke-7 H). Dan berlangsung secara besar-besaran di Baghdad sejak masa pemerintahan Al-Mansur (137-159 H/754-775 M), serta mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Makmun.
Bahkan di masa Harun Ar-Rasyid, utusan khusus dikirim ke Kerajaan Romawi untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Usaha ini telah menghasilkan tersedianya buku-buku berbahasa Arab dalam jumlah banyak di perpustakaan-perpustakaan, baik yang dibangun para penguasa Muslim maupun yang dibangun para hartawan.
Ketersediaan buku-buku terjemahan tersebut dimanfaatkan oleh kalangan Muslim untuk berkenalan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Majusi pada masa-masa sebelum munculnya Islam.
Kegiatan penerjemahan dalam perkembangan berikutnya, telah memunculkan tiga kelompok ahli ilmu pengetahuan. Pertama, mereka yang memusatkan perhatian pada cabang-cabang ilmu pengetahuan saja. Kelompok pertama ini disebut para ilmuwan.
Kedua, mereka yang selain mengkaji dan mengembangkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, juga memusatkan perhatian pada bidang filsafat. Kelompok kedua dinamakan para filsuf. Ketiga, yakni mereka yang berupaya menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat untuk keperluan berteologi. Kelompok yang terakhir ini disebut para teolog.
Ilmu filsafat dalam Islam pertama kali muncul dan berkembang di wilayah-wilayah Islam belahan timur, terutama di Baghdad. Baru tiga abad kemudian, ilmu filsafat ini berkembang luas di dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba (Spanyol).
Keterlambatan tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa buku-buku yang dihasilkan di dunia Islam belahan timur baru masuk secara besar-besaran ke dunia Islam belahan barat sejak paruh kedua abad ke-4 H, dengan dorongan dan bantuan dari pihak penguasa, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Hakam II (350-366 H/937-953 M) di Andalusia.
Berkembangnya ilmu filsafat di dunia Islam ini pada akhirnya telah melahirkan sejumlah filsuf terkenal dari kalangan Muslim. Mereka antara lain Al-Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd.
Dengan memanfaatkan materi filsafat dari para filsuf Yunani, seperti Plato, Aristoteles, Pitagoras, Demokritos dan Plotinus, serta berpegang teguh pada ajaran Alquran dan hadits Nabi SAW, para filsuf Muslim membangun satu corak filsafat baru yang kini dikenal sebagai filsafat Islam. Dan karena dihasilkan dalam zaman klasik Islam, maka filsafat mereka sering disebut dengan filsafat klasik Islam.