ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Jumat, 30 November 2012

Pidato Tentang Sholat






Alhamdulillahir Robbil ‘Aalamin washolatu wasalamu ‘ala asrofil anbiya’i wal mursalin wa ‘ala alihi wa ashabihi  mujahidin nathohirin , Allohuma sholi ala muhammad wa ala ali muhammad amma ba;du
Sebagai rasa syukur kita kepada Allah Swt marilah kita ucapkan kalimat tahmid bersama-sama  “ alhamdulillahir Robil alamin. Sholawat dan salam semoga selaluterlimpahkan pada nabi akiruzzaman Muhammad saw yang telah merelakan seluruh hidupnya untuk membimbing , membina dan menyelamatkan umat manusia dari jalan yang sesat,jahiliyah menuju jalan yang benar sirothol mustaqim.
Selanjutnya pada kesempatan kali ini saya akan menyampaikan uraian mengenai “sholat sebagai tiang agama”
Kaum muslimin rokhimakuulloh.....sholat adalahmerupakan salah satu rukun islam , sehingga sholat itu wajib dikerjakan oleh orang yang beragama islam, apabila kita meninggalkan sholat yang lima waktu maka akan mendapatkan dosa yang besar, dan bila kita meninggalkan sholat terus menerus maka pasti Alloh akan memasukkan keneraka maka dari itu jangan tinggalkan sholatkarena sholat itu merupakan tiangnya agama,seperti dalam sabda nabi Muhammad saw.
Assolatu ngimad duddin    ( alhadis )
Artinya sholat itu tiang agama,siapa yang mengerjakannya maka ia menegakkan agama, dan siapa yang meninggalkan maka ia telah merobohkan agama.( HR                           )
Jadi bila kita tidak mengerjakan sholat berarti kita belum benar-benar beragama islam ,ibarat rumah yang tidak yang tidak ada tiangnya pasti akan roboh. Dan namanya bukan rumah lagi tapi bernama rongsokan maka dariitu kita harus rajin sholat lima waktu.
Semoga Alloh memasukkan kita orang-orang yang bener-bener  muslim amiin amin ya Robbal Alamin .   Sekian
Apabila ada kata-kata yang tidak berkenan atau menyinggung perasaan teman-teman maka saya mohon maaf yang sebesar –besarnya.

Wabillahi taufiq wal hidayah      

Sopan Santun Di Rumah Dan Di Sekolahan



ASALAMU ALAIKUM WAROHMATULLOHI WA BAROKATUH
ALHAMDULILLAH ALHAMDULILLAHIROBBIL ALAMIN  WASHOLATU WASALAMU ALA ASROFIL ANBIYA’I WAL MURALIN WA ALAALIHI WA ASHABIHI AJ’MAIN AMA BA’DU

Bapak/Ibu Dewan Juri  Dan Para Hadirin Yang Kami Hormati
Marilah Kita Panjatkan Puja Dan Puji Syukur Kehadirat  Allah Swt, Yang Telah Melimpahkan Rahmat Dan Hidayahnya Kepada Kita. Sholawat Dan Salam Selalu Tercurahkan Kepada Nabi Kita Muhammad Saw yang telah mendidik kita menjadi umat yang berakhlak mulia.
Selanjutnya Kami Akan Membawakan Sebuah Pidato Yang Berjudul “Sopan Santun Di Rumah Dan Di Sekolahan”

Bapak/Ibu Dewan Juri  Dan Para Hadirin Yang Kami Hormati

Sopan Santun Merupakan Akhlak Yang Terpuji Yang Harus Kita Lakukan  Baik Sopan Santun Di Rumah Maupun Di Sekolahan , Sopan Santun menurut bahasa yang berarti  Budi Pekerti Yang Baik ,Halus Dan Baik Budi Bahasanya.
Sopan Santun Harus Selalu Kita Terapkan Dirumah Seperti Berbakti Pada Orangtua Berbicara Yang Lembut Kepada Orang Tua, Pada Kakek , Nenek, Kakak Dan Anggota Keluarga Lainnya.Sedangkan Sopan Santun Di Sekolah Contohnya Menghormati Guru , Mendengar Nasehat Guru, Mentaati Peraturan Sekolah, Bergaul Sesama  Teman Dengan Penuh Kebersamaan, Suka Menolong Teman Yang Kesulitan, Bertutur Kata  Yang Baik, Dan  Jangan Sampai Kita Berkata Yang Kotor ….Na’udzubilah Min Dzalik.

Rosulullah Saw Mengajarkan Kepada Kita Melalui Sabdanya Dalam Sebuah Hadis yang berbunyi
“ Falyakul Khoiron Au Liyasmut “         Yang Artinya Berkatalah Yang Baik Atau Diam Saja.
Lidah Memang Tak Bertulang Sehingga Terkadang Ucapan Kita Tanpa Kita Sadari Melukai Perasaan  Orang Lain,  Namun Meskipun Tak Bertulang  Bukan Berarti Tidak Bisa Dikendalikan, Kata Nabi Kendalinya Adalah Diam …Diam ….Dan Diam.

Bapak/Ibu Dewan Juri  Dan Para Hadirin Yang Saya Hormati

Bersikap Sopan Dirumah, Disekolahan Atau Dimanapun Merupakan Ciri Khas Anak Muslim Yang Cerdas Dan Santun Akhlaknya, Oleh Karena Itu Untuk Membentuk Watak Yang Mulia Tersebut Haruslah Dimulai Sejak Kecil Kemudian  Dibiasakan Secara Terus Menerus Baik Dilingkungan Rumah Maupun Di Sekolah.
Demikianlah Pidato Yang  Dapat Kami Sampaikan , Semoga Kita Dapat Memetik Hikmahnya. Apabila ada kata-kata yang tidak berkenan dihati para hadirin maka saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Apabila Ada Sumur Diladang Bolehlah Kita Numpang Mandi, Apabila Ada Umur Panjang Bolehlah Kita Berjumpa Lagi
Bilahi Sabilil Haq .
Wasalamu Alaikum Warohmatullohi Wa Barokatuh

Senin, 26 November 2012

Macam-Macam Kekafiran



Hadis Jibril yang populer menyebutkan, agama terdiri dari tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Ihsan mencakup Islam dan Iman. Sedang Iman mencakup Islam, dan Islam sendiri menuntut dasar keimanan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa dasar agama adalah pelaksanaan Islam secara global dan menyatakan kepercayaan terhadap semua berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berdasarkan keyakinan. Orang yang melaksanakan dasar ini, sebagai langkah awal, ia telah dinyatakan Islam. Jika kemudian diikuti dengan melaksanakan perintah-perintah agama dan meninggalkan larangan-larangannya, serta tidak melakukan pelanggaran yang berarti, maka keislamannya meningkat dan dapat berlanjut pada kesempurnaannya dengan merealisasikan iman dan ihsannya.
Pengakuan ini adalah dasar agama. Ketika iman terdiri dari pokok-pokok (ushul) dan cabang-cabang (furu'), yaitu melakukan kewajiban-kewajiban dan kebaikan-kebaikan serta meninggalkan larangan-larangan, maka cabang-cabang ini tidak berarti apa-apa kecuali jika dasarnya telah terlaksana. Maka orang yang berpaling dari dasar ini, pada kenyataannya ia adalah kafir, meskipun ia melaksanakan cabang-cabang iman.
Demikian juga kekafiran, ia terdiri dari pokok-pokoknya dan bagian-bagiannya. Maka orang yang terjerumus ke dalam pokok kekafiran, yaitu yang bertentangan dengan pokok iman dan hakikatnya, maka tidak diragukan lagi bahwa ia adalah kafir. Adapun orang yang terjerumus ke dalam bagian-bagian tertentu dari kekafiran yang tidak bertentangan dengan pokok-pokok keimanan dan hakikatnya, sedangkan ia memiliki pokok keimanan yang menetapkan keislamannya, maka ia tidak dapat diklaim sebagai kafir.
Akan tetapi, tindakannya yang melakukan bagian-bagian dari kekafiran memberikan pengaruh pada cabang-cabang keimanan, dari segi derajat keimanannya, sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama salaf ketika mereka ditanya mengenai sabda Rasul saw, "Tidak ada seseorang yang berzina ketika dia dalam keadaan mukmin" mereka mengatakan bahwa inilah Islam yang meliputi cakupan yang luas, sedangkan iman meliputi cakupan kecil dalam lingkup yang besar. Maka, ketika seseorang berzina atau mencuri, ia keluar dari lingkaran iman masuk ke lingkaran Islam, tetapi tidak mengeluarkannya dari Islam kecuali jika ia mengingkari Allah SWT.
Oleh karena itu, hilangnya keislaman seseorang mengharuskan hilangnya keimanan darinya, berbeda dengan hilangnya keimanan seseorang tidak mengharuskan hilangnya keislaman darinya.
Jadi, pokok iman berhadapan dengan pokok kufur. Tingkatan keimanan dan cabang-cabangnya berhadapan dengan tingkatan kekafiran dan bagian-bagiannya. Masing-masing dari keduanya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, ada dan tidak adanya.
Dari keterkaitan yang terdapat pada nama-nama dan hukum-hukum ini, jelaslah bagi Anda maksud para ulama mengenai pembagian kafir menjadi bermacam-macam, dan ketahuilah bahwa hal ini merupakan penjelasan yang menyatakan bahwa tidak selayaknya seseorang menuduh orang atau perbuatan tertentu sebagai kekafiran. Maksudnya adalah kekafiran yang bertentangan dengan pokok iman yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi kadang-kadang juga dimaksudkan selain itu, yaitu apa yang sering disebut dengan kufur kecil yang menurunkan iman seseorang tetapi tidak menghilangkan keislamannya, sedangkan keislamannya tersebut hanya akan hilang apabila ia mengingkari atau kafir kepada Allah SWT.
Pangkal Macam-Macam Kekafiran
Sebagaimana disebutkan bahwa dilihat dari segi berlawanannya dengan pokok keimanan, kekafiran terdiri dari beberapa macam. Berdasarkan hal ini kekafiran dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Pertama,Sesuatu yang bertentangan dengan agama, yaitu mengeluarkan seseorang dari Islam dan menjadi kafir dan diakhirat ia kekal di dalam neraka.
Para ulama menyebutkan kekafiran ini dengan kufur besar (al-kufru al-akbar), yaitu kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam dan menggugurkan keimanannya. Kekafiran ini adalah kufur yang tidak memberikan kesempatan menyandang iman bagi orang yang masuk ke dalamnya, dan itu terjadi dengan perkataan atau perbuatan yang menunjukkan kekafiran tersebut dengan dilakukannya unsur-unsur kekafiran tersebut.
Oleh karena itu, ungkapan bahwa kekafiran yang berdasarkan keyakinan adalah kekafiran yang besar (al-kufru al-akbar) dan ia berhadapan dengan kafir perbuatan yang merupakan kufur kecil adalah ungkapan yang salah. Akan tetapi, kufur perbuatan kadang-kadang merupakan kufur akbar (kufur besar).
Ibnu Qayyim ra berkata, "Sebagaimana kekafiran terjadi dengan perkataan, dan itu merupakan bagian dari kekafiran, demikian pula kekufuran terjadi sebab melakukan sebagian perbuatan kafir seperti menyembah patung dan menghina mushhaf."
Kedua,Tindakan yang tidak bertentangan dengan pokok keimanan, tetapi perbuatan tersebut berkaiatan dengan cabang-cabang iman, tingkatannya, dan hal-hal yang dapat menyempurnakannya, sehingga tidak mengeluarkan seseorang dari lingkaran agama Islam. Sebab, pokok iman masih melekat pada dirinya, selama tidak ada penentangnya, baik dari perkataan maupun perbuatan. Pada kekafiran semacam ini, yang hilang adalah kesempurnaan iman dan derajat yang dapat meningkatkan pokok iman dan tingkatan keislamannya, bukan semata-mata iman.
Kekafiran ini yang disebut dengan 'al-kufru al-ashghar' (kufur kecil) adalah selain dari kufur besar. Untuk menyebut hal ini, para ulama mempunyai istilah khusus seperti sebutan 'kufrun duuna kufrin' (kekafiran di bawah kekafiran), kezaliman di bawah kezaliman dan kefasikan di bawah kefasikan.
Al-Kufru al-Akbar (Kafir Besar)
Al-Kufru al-akbar (kafir besar) adalah sesuatu yang bertentangan dengan pokok iman dan hakikatnya, yang menjadikan seseorang kekal di dalam neraka dan mengeluarkan seseorang dari Islam.
Al-Kufru al-akbar terbagi menjadi beberapa macam. Para ulama menyebutkan beberapa hal, di antaranya Ibnu Qayyim, dia berkata: "Kufur akbar terdiri dari lima macam, yaitu Kafir karena dusta, kufur karena takabbur dan enggan percaya, kufur karena berpaling, kufur karena ragu dan kufur karena nifaq (munafiq)."
Dalil-dalil kekafiran tersebut:
Pertama, kufur karena dusta, Allah berfirman yang artinya, "Maka siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya. Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir?" (Az-Zumar: 32)
Kedua, kufur karena takabbur dan enggan percaya, Allah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'sujudlah kamu kepada Adam', maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabbur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir?" (Al-Baqarah: 34)
Ketiga,kufur karena berpaling, Allah berfirman, "Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka." (Al-Ahqaaf: 3)
Keempat,kufur karena ragu, Allah berfirman, "Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata dengan kawannya (yang mukmin) ketika ia bercakap-cakap dengan dia, 'Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat', Dan ia memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya sendirinya, ia berkata, 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira bahwa hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu'. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya, sedang ia bercakap-cakap dengannya, 'Apakah kamu kufur kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna'." (Al-Kahfi: 34-37)
Kelima,kufur karena nifaq, Allah berfirman, "Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti."
(Al-Munafiquun: 3)
Syekh Ibnu Taimiyah membagi kufur menjadi dua macam, yaitu kafir zahir dan kafir nifaq (kafir yang terang-terangan dan kafir yang disembunyikan).
Syekh Muhammad Shiddiq Khan juga membagi kafir menjadi dua macam, yaitu kafir sharih (jelas) dan kafir ta'wil.
Namun demikian, pendapat Muhammad Hasan khan memerlukan penjelasan lebih lanjut, yaitu tentang bentuk kafir yang kedua, yaitu kafir ta'wil. Jika yang ia maksudkan adalah kafir kecil (ashghar), maka ia tidak termasuk ke dalam macam-macam kekafiran dalam pembahasan ini (kafir besar). Hal ini, karena seseorang yang melakukan kafir yang besar kadang-kadang berdasarkan penafsiran (ta'wil) yang ia lakukan, dan ia dapat diampuni karena beberapa alasan seperti penafsiran itu sendiri.
Pembagian kafir besar (akbar) yang dilakukan para ulama tidak terlepas dari pembagian istilah yang memerlukan banyak pertimbangan, yang terpenting adalah pertimbangan ilmiyah dengan meneliti nash-nash dan ijtihad berdasarkan nash-nash tersebut.
Hal itu dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada manusia supaya mereka mempelajarinya dan tidak terjerumus ke dalam kekafiran itu, sebagai upaya menghalau keragu-raguan atau kesamaran-kesamaran yang timbul dalam benak manusia, seperti mereka yang berkeyakinan bahwa kafir hanya ada satu macam yaitu ingkar kepada Allah Sang Pencipta atau keyakinan adanya sekutu bagi Allah, dan selain itu tidak berpengaruh kepada keimanan selama pernyataan tauhid (dua syahadat) telah diucapkan dengan jelas.
Jika kita mau melihat hakikat kafir yang merupakan lawan dari iman dari setiap aspeknya, di mana orang yang melakukannya berdasarkan pengetahuan dan dengan sengaja menjadi kafir dan keluar dari agama Islam di dunia, sedang di akhirat ia kekal di dalam neraka, maka jika kita ingin mengetahui hakikat kekafiran dari aspek ini, kita dapat mengembalikan semua pembagian kekafiran pada tiga pokok yang menghimpun macam-macam kekafiran besar tersebut.
Pertama, dapat dilihat dari segi kekafiran yang menghilangkan pokok keimanan, yaitu penyimpangan dengan perkataan hati yang merupakan perwujudan ilmu dan kepercayaan, dan perbuatan hati yang merupakan ketaatan atas keislamannya. Hal itu dikarenakan iman adalah perkataan dan perbuatan, dan keduanya adalah fondasi yang asasi. Jika salah satunya menyimpang, yang lainnya tidak diperhitungkan. Hal yang dapat menghilangkan pokok iman ini adalah jika berpaling dari pelaksanaan secara terperinci dalam melakukan perintah atau meninggalkan larangan, dan kekafiran itu terjadi dengan menolak perintah dan mengingkarinya.
Pokok iman kadang-kadang ditetapkan jika terdapat pernyataan dan pelaksanaan secara global, bahkan kadang-kadang ditetapkan pula dengan cara yang lebih tinggi derajatnya, yaitu dengan pelaksanaan secara terperinci. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi kekurangan yang juga dapat mengurangi keimanan.

Dampak Kebodohan dalam Tauhid Al-Asmaa' was Shifaat (Mengesakan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah)



Berkenaan dengan masalah ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat, "Yang paling pokok dalam masalah ini adalah mensifati Allah SWT dengan sifat yang telah ditetapkan-Nya untuk Dzat-Nya dan dengan sifat yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya, baik sifat nafi (sifat yang menolak hal-hal yang tidak layak bagi Allah) maupun sifat itsbat (sifat yang menetapkan hal-hal yang pantas bagi Allah), di mana Allah telah menetapkan sifat yang pantas bagi Dzat-Nya dan menafikan sifat yang tidak pantas bagi Dzat-Nya.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa cara yang ditempuh oleh ulama Salaf dan para imam dalam masalah ini adalah menetapkan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh Allah tanpa mempermasalahkan, menyerupakan, menyimpangkan, dan mengabaikannya. Demikian juga, mereka menafikan sesuatu yang telah dinafikan Allah dari Dzat-Nya disertai dengan menetapkan sifat-sifat-Nya tanpa menunjukkan pengingkaran, baik terhadap nama-nama-Nya maupun terhadap ayat-ayat-Nya. Karena itulah maka Allah mencela orang-orang yang mengingkari nama-nama-Nya dan ayat-ayat-Nya. Sebagaimana hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya, "Hanya milik Allah al-Asmaa' al-Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan (perantara) menyebut al-Asmaa' al-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A'raaf: 180)
Orang yang menyimpangkan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dari hakikat dan pengertian yang sebenarnya, maka orang tersebut telah terjerumus kepada sikap pengingkaran. Adapun pengingkaran terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

  1. Menamai berhala dengan nama-nama Allah, seperti memberi nama Lata yang diambil dari kata Al-Ilaah, nama al-Uzza diambil dari kata Al-'Aziz dan nama Manat diambil dari kata Al-Mannan.
  2. Menyebut Allah SWT dengan sebutan yang tidak layak bagi-Nya, seperti sebutan yang diberikan oleh kaum Nasrani yang menyebut Allah dengan sebutan "bapak" dan sebutan para filosof yang menyebut Allah dengan sebutan "sebab positif".
  3. Menyifati Allah SWT dengan sifat kekurangan yang tidak pantas bagi-Nya, seperti perkataan orang-orang Yahudi yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya." (Ali Imran: 181), dan perkataan mereka yang mengatakan, "Tangan Allah terbelenggu." ( Al-Maidah: 64), serta perkataan mereka yang mengatakan bahwa Allah SWT beristirahat pada hari sabtu.
  4. Mengingkari makna dan hakikat nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, seperti yang dikatakan kelompok Jahmiyyah yang mengatakan bahwa nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya itu hanya merupakan lafadz semata tidak mengandung sifat dan makna. Maka, lafal "as-Sami' " tidak menunjukkan pada pendengaran, lafal "al-Bashir" tidak menunjukkan kepada penglihatan, lafal "al-Hayyu" tidak menunjukkan kepada kehidupan, dan lain-lain.
  5. Menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya seperti perkataan yang disampaikan oleh orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya yang mengatakan bahwa "tangan Allah itu seperti tanganku" dan lain sebagainya. Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari prasangka yang keliru.
Allah SWT telah mengancam orang-orang yang mengingkari nama-nama dan ayat-ayat-Nya dengan ancaman yang berat, sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya, "Hanya milik Allah al-Asma' al-Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan (perantara) menyebut al-Asma' al-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A'raaf: 180). Dalam ayat yang lain Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami." (Fushshilat: 40)
Akan tetapi, hukuman pengingkaran antara masing-masing orang berbeda antara satu sama lainnya. Maka hukuman orang yang mengingkari yang dihukumi sebagai orang kafir dan ingkar, tidak akan sama dengan hukuman orang yang mengingkari karena kebodohan (ketidaktahuan) atau karena kekeliruan dalam penafsiran, di mana dia masih dihukumi sebagai orang yang beriman dan dianggap sebagai orang yang tidak bertujuan melakukan pengingkaran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Katsir -rahimahullahu- dalam menafsirkan firman Allah SWT, "Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air mani, maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata. Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?" Katakanlah, "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk." (Yasin: 77 - 79). Sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan Ubay bin Khalaf. Selanjutnya, Ibnu Katsir berkata, "Mujahid, 'Ikrimah, 'Urwah bin az-Zubair, as-Sudi dan Qatadah berkata, 'Ubay bin Khalaf -la'natullahi 'alaihi- datang kepada Rasulullah saw, sambil menggenggam tulang yang sudah rapuh, lalu dia meremukkannya dan menaburkannya ke udara, seraya dia berkata, "Wahai Muhammad, apakah kamu mengira bahwa Allah akan membangkitkan tulang yang sudah remuk ini? Lalu Rasulullah saw menjawab, "Benar, Allah akan mematikan dan membangkitkanmu, dan Dia akan melemparkanmu ke dalam neraka."
Kisah yang dikutip dari tafsir Ibnu Katsir di atas berbeda dengan kisah yang terdapat dalam hadis Nabi saw. Di mana dalam hadis tersebut dikisahkan, ada seorang laki-laki yang berwasiat kepada keluarganya agar ketika ia meninggal nanti, ia dibakar dan abunya ditaburkannya ke udara. Karena, ia menganggap bahwa dengan cara itu Allah SWT tidak akan mampu mengumpulkan abu mayatnya dan menghidupkannya kembali. Sehingga dalam hadis tersebut dijelaskan, akhirnya orang tersebut diampuni karena ketakutannya akan siksa Allah SWT. Sebab, ia adalah orang yang bodoh, tapi mukmin, sehingga diampuni dosa-dosanya. Sementara, kisah di atas (Ubay bin Khalaf) dimasukkan ke neraka karena ia kafir dan ingkar kepada Allah. Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara orang yang bodoh atau keliru dalam memberikan penafsiran yang belum sampai kepadanya dalil sehingga dia meninggalkannya dengan orang yang benar-benar menentang dan mengingkarinya.
Atas dasar ini pula, maka jelaslah perbedaan antara para imam Ahli Sunnah dengan golongan orang-orang yang sesat dalam memahami masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT. Kesesatan itu terjadi dikarenakan adanya kesamaran dalam memahaminya dan dikarenakan tidak didasarkan kepada dalil yang benar, tetapi hanya mengandalkan bayang-bayang akal semata. Kekeliruan yang sangat fatal adalah adanya personifikasi yang selalu mereka kumandangkan secara berlebihan dalam menyucikan nama Allah SWT tanpa mengikuti cara yang dipakai oleh Alquran dan Sunnah.
Ketidaktahuan dalam masalah ini merupakan sesuatu yang masih dapat dimaafkan. Demikian juga halnya dengan kekeliruan dan kesalahan dalam memberikan penafsiran. Seandainya hal tersebut tidak dapat dimaafkan, tentu apa yang dilakukan oleh para mutakallimin (teolog) yang menafsirkan nash-nash yang menjelaskan sifat-sifat Allah dihukumi sebagai kekufuran. Di mana mereka membawa nash-nash tersebut kepada pemahaman yang majazi/kiasan (bukan arti yang sebenarnya), dan menganggap hal itu bukan merupakan sesuatu yang tetap bagi Allah dalam pengertian yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan prasangka mereka yang mendorong mereka untuk menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dengan demikian, maka penolakan mereka terhadap nash-nash yang berkaitan dengan masalah sifat-sifat Allah ini didasarkan kepada keinginan untuk menyucikan Allah SWT dari penyerupaan terhadap makhluk-Nya, menurut prasangka mereka. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa sebenarnya, mereka tidak bermaksud menolak atau mengingkari nash-nash tersebut dengan maksud ingin mendustakannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, "Imam Ahmad ra menaruh belas kasihan kepada mereka (yakni, aliran Jahmiyyah) dan memaafkan mereka. Karena, menurut pandangan beliau bahwa mereka itu tidak mendustakan Rasulullah saw dan tidak mengingkari risalah (ajaran) yang dibawanya. Akan tetapi, mereka keliru dalam memberikan penafsiran dan mereka mengikuti pendapat orang yang mengatakan hal itu kepada mereka."
Selanjutnya, beliau berkata, "Menurut pendapatku bahwa aliran Jahmiyyah ini termasuk aliran yang menganut ajaran al-Hulul (keyakinan bahwa Tuhan itu dapat menitis ke dalam makhluk), dan yang menolak pandangan orang-orang yang menafikan bahwa Allah itu berada di atas 'Arasy(singgasana). Sehingga ketika malapetaka menimpa mereka, dikatakan, "Seandainya aku menyetujui pendapat kalian, maka aku termasuk orang kafir. Karena, aku mengetahui bahwa perkataan kalian itu termasuk perkataan kufur. Sementara, menurut pandanganku, kalian itu tidak kafir, karena kalian itu termasuk orang-orang bodoh." Perkataan ini ditujukan kepada para ulama, para hakim, para guru, dan para pemimpin mereka, Kebodohan mereka itu bersumber dari kekeliruan berfikir para pemimpin mereka dalam memahami dalil naqli yang shahih dan dalil akli yang tepat.
Hukum Ketidaktahuan terhadap Sebagian Nama-nama dan Sifat-sifat Allah serta Dalil-dalilnya
Masalah ketidaktahuan terhadap sebagian nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya ini termasuk masalah yang dapat ditolelir, yang oleh para ulama disamakan dengan masalah ketidaktahuan dalam hal-hal yang berkaitan dengan tauhid. Sehingga seseorang yang menentang atau mengingkarinya karena kesalahan dalam memahaminya tidak dihukumi sebagai orang kafir, kecuali apabila telah sampai kepadanya dalil yang mengafirkan orang yang mengingkarinya. Karena, nama-nama Allah SWT dan sifat-sifat-Nya itu termasuk masalah akidah yang mesti didasarkan kepada nash syar'i, dan tidak bisa ditetapkan berdasarkan akal, pendapat, perasaan, dan lain sebagainya. Benar, bahwa akal itu dapat menemukan hal-hal yang bersifat fitrah, akan tetapi akal harus tunduk kepada dalil naqli yang shahih.
Imam Syafi'i ra berkata, "Allah itu memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menentangnya, sehingga orang yang menentangnya setelah disampaikan kepadanya dalil yang menjelaskannya dihukumi sebagai orang kafir. Adapun orang yang menentangnya sebelum disampaikan kepadanya dalil yang menjelaskannya dihukumi sebagai orang kafir. Adapun orang yang menentangnya sebelum disampaikan kepadanya dalil yang menjelaskannya, maka ia dapat ditolelir karena ketidaktahuannya. Karena pengetahuan tentang hal itu tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal, rasio, dan pikiran. Maka kita hanya menetapkan sifat-sifat ini dan menolak adanya penyerupaan, sebagaimana Allah telah menolak penyerupaan tersebut dari Dzat-Nya dalam firman-Nya, "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia." (As-Syuura: 11)
Imam an-Nawawi ra berkata, "Al-Qadhi (Abu Thayyib) berkata, 'Di antara imam yang mengafirkan hal itu (tidak mengetahui sifat-sifat Allah) adalah Ibnu Jarir at-Thabari, dan pendapat ini pertama sekali dikemukakan oleh Abu Hasan al-Asy'ari'." Sedangkan yang lainnya berpendapat, "Tidak kafir seseorang yang tidak mengetahui sifat Allah, dan tidak dianggap sebagai orang yang keluar dari sebutan mu'min, berbeda dengan orang yang mengingkarinya. Abu Hasan al-Asy'ari menarik kembali pendapatnya dan beliau menetapkan pendapatnya seperti pendapat ini. Beliau menganggap bahwa keyakinannya tentang hal itu bukanlah merupakan suatu keyakinan yang dijamin kebenarannya, dan beliau memandangnya sebagai masalah agama dan syara'. Oleh karena itu, beliau mengafirkan orang yang berkeyakinan bahwa pendapat yang dikemukakannya itu pasti benar. Mereka (para imam yang lainnya) berkata, "Seandainya orang-orang itu ditanya tentang sifat-sifat Allah, maka sedikit sekali orang yang mengetahuinya."
Ibnu Qutaibah ra berkata, "Sebagian kaum muslimin terkadang keliru dalam memahami sebagian sifat-sifat Allah dan hal itu tidak menyebabkan mereka dihukumi sebagai orang kafir."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Sebagian kelompok mutakallimin (theolog) berpendapat: 'Sesungguhnya sifat-sifat yang ditetapkan berdasarkan akal merupakan sifat yang wajib diakui sebagai sifat yang ditetapkan oleh akal, dan orang yang menolaknya dianggap kafir. Berbeda sekali dengan sifat yang ditetapkan berdasarkan pendengaran, di mana mereka terkadang menafikannya dan terkadang menafsirkannya atau menyerahkan maknanya, dan terkadang pula menetapkannya. Mereka menetapkan hukuman iman dan kufur itu dalam kaitannya dengan sifat-sifat yang ditetapkan berdasarkan akal fikiran. Padahal, hal ini tidak ada sumbernya yang berasal dari ulama Salaf dan para imam, karena keimanan dan kekufuran itu merupakan hukuman yang harus ditetapkan berdasarkan risalah (agama), dan mesti ditetapkan berdasarkan dalil-dalil syara' yang sudah jelas membedakan antara orang mukmin dan orang kafir dan tidak boleh didasarkan kepada dalil akli semata-mata."
Imam Ibnu Hazm ra berkata, "Orang tersebut tidak mengerti tentang kematian, di mana Allah SWT Maha Kuasa untuk mengumpulkan debu mayatnya dan menghidupkannya kembali. Oleh karena itu, maka dia diampuni karena pengakuan, ketakutan, dan ketidaktahuannya."
Bertitik tolak dari keterangan tersebut di atas, maka kita dapat membuat suatu batasan -semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita- seputar perbuatan yang dapat dan tidak dapat ditolelir karena ketidaktahuan yang berkaitan dengan masalah tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah dan tauhid Asma' was Shifaat berdasarkan keterangan yang bersumber dari dalil-dalil syara', pendapat para imam, dan pendapat para ulama. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa kebodohan (ketidaktahuan) itu terkadang pada suatu waktu dapat ditolelir, tetapi pada waktu yang lain terkadang tidak dapat ditolelir. Hal yang pertama kali harus dilihat adalah keadaan orang itu sendiri, dan yang kedua harus dilihat tentang masalah-masalah yang tidak diketahuinya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Sumber: Al-Jahlu bi Masaailil I'tiqaad wa Hukmuhu, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy

Rabu, 21 November 2012

Tafsir Surat al-'Ashr (Wal 'Ashri)

Demi masa,[1]. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,[2]. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”[3]

Info Umum

Surat ini diturunkan di kota Mekkah dan ayatnya berjumlah 3 ayat

Keutamaannya

Ath-Thabarany meriwayatkan di dalam al-Mu’jam al-Awsath (no.5097) dengan sanadnya dari ‘Abdullah bin Hishn, dia berkata, “Ada dua orang shahabat Rasulullah SAW., yang bila saling bertemu, tidak berpisah kecuali salah satunya membacakan kepada yang lainnya surat al-‘Ashr hingga selesai, kemudian masing-masing saling memberi salam.”
Imam asy-Syâfi’iy berkata, “Andaikata manusia hanya mentadabburi (merenungi) surat ini saja, tentu sudah cukup bagi mereka.”

Kosa Kata

------ : Huruf Wâw tersebut adalah Wâw al-Qasam (huruf yang bermuatan sumpah)
Sedangkan kata al-‘Ashr artinya masa dimana terjadinya gerak-gerik manusia.

--- : maksudnya adalah semua individu manusia


Allah Ta’ala menjelaskan bahwa semua manusia berada dalam kerugian total kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi yaitu iman, amal shalih, nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Jadi mereka mengoleksi antara pembenaran dan iman terhadap hal yang diperintahkan Allah agar beriman dengannya. Namun, iman tidak akan dapat terealisasi tanpa keberadaan ilmu yang merupakan cabang darinya dimana hanya bisa terlengkapi dengannya.

Sedangkan amal shalih mencakup semua perbuatan baik, yang zhahir maupun bathin, wajib maupun Mustahabb (dianjurkan) yang terkait dengan hak-hak Allah dan hak makhluk-Nya.

 ----- : mereka saling nasehat-menasehati, berjanji, mewasiatkan satu sama lain, menggalakkan dan mensugesti untuk selalu beriman dan beramal shalih.

: mereka saling berwasiat satu sama lain agar bersabar berikut dengan semua jenis-jenisnya, yaitu: sabar di dalam berbuat keta’atan kepada Allah, sabar untuk tidak berbuat maksiat kepada-Nya dan sabar terhadap takdir-takdir Allah yang tidak mengenakkannya.

Di dalam surat yang agung ini jelaslah bahwa semua manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi, yaitu iman, amal shalih, nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Dengan dua hal pertama (iman dan amal shalih), seorang hamba dapat melengkapi dirinya sendiri sedangkan dengan dua hal berikutnya dia dapat melengkapi orang lain dan dengan melengkapi keempat-empatnya, maka jadilah seorang hamba orang yang terhindar dari kerugian dengan meraih keuntungan yang besar. Inilah yang tentunya akan selalu diupayakan oleh seorang insan yang berakal di dalam kehidupannya.

Pesan Moral Surat Ini

1. Bahwa Allah berhak untuk bersumpah dengan makhluk-Nya mana saja yang dikehendaki-Nya sedangkan seorang hamba tidak boleh bersumpah selain dengan (atas nama) Khaliqnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW., “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah melakukan kekufuran atau berbuat kesyirikan.”

2. Semua manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang memiliki empat kualifikasi, yaitu iman, amal shalih, nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

3. Iman semata yang hampa dari amal, tidak akan berguna bagi pemiliknya.

4. Keutamaan berdakwah kepada Allah Ta’ala dan saling nasehat-menasehati.


5. Keutamaan sabar dengan semua jenis-jenisnya, khususnya terhadap hal yang dialami oleh seorang Muslim sebagai resiko yang harus dihadapinya di dalam berdakwah kepada Rabbnya, baik berupa perkataan, tindakan secara fisik, terhadap hartanya ataupun anaknya.

Tafsir Ayat Kursi ( QS. Albaqarah:255)


“Allah tidak ada Ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya, Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.s.,al-Baqarah:255)

Keutamaannya

Rasulullah SAW., menginformasikan kepada kita bahwa ayat kursi merupakan ayat yang paling agung di dalam al-Qur’an karena memuat makna-makna tauhid, pengagungan serta keluasan sifat-sifat Allah Ta’ala. (Taysir:91)

Dalil-Dalil Tentang Keutamaannya

1. Hadits dari Ubay bin Ka’b bahwasanya Nabi SAW., berkata kepadanya, “Ayat apa yang paling agung di dalam Kitabullah?.” Dia berkata, “Aku menjawab, Allah dan Rasul-Nya-lah Yang Maha Mengetahui.” Hingga beliau mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, kemudian aku berkata, “Allâhu Lâ ilâha illa huwal Hayyul Qayyûm.” Dia berkata, “Lalu beliau menepuk dadanya sembari berkata, “Semoga ilmumu menjadi ringan, wahai Abul Mundzir!.” (HR.Muslim)

2. Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Rasulullah SAW., mengangkatku sebagai wakil untuk menjaga (mengutip) zakat Ramadlan, lalu seseorang datang kepadaku seraya membuang makanan yang ada di tangannya, lantas aku memungutnya sembari berkata, ‘Akan aku laporkan hal ini kepada Rasulullah SAW. Lalu Abu Hurairah menceritakan tentang hadits tersebut, diantara isinya adalah, ‘Beliau bersabda, ‘Bila engkau akan beranjak ke tempat tidurmu, maka bacalah ayat Kursi karena sesungguhnya ia (dapat menjadikanmu) senantiasa mendapatkan penjagaan dari Allah dan syaithan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.’ Lalu Nabi SAW., bersabda kepadanya, “Dia telah berkata jujur padamu padahal seorang pembohong, itulah syaithan.” (HR.al-Bukhari)
Demikian sebagian hadits yang shahih terkait dengan keutamaannya. Sebenarnya banyak sekali dalil-dalil yang terkait dengan keutamaan ayat yang agung ini bahkan beragam karya tulis dikarang mengenai keutamaan dan penafsirannya.

Temanya

Yaitu, mengagungkan Allah, menyinggung perihal bertauhid kepada-Nya dan Qudrat-Nya.

Kapan Dibaca

Dianjurkan membaca ayat Kursi seusai setiap shalat fardlu, ketika akan tidur dan dibaca di dalam rumah untuk mengusir syaithan (sebagaiman telah disinggung di atas).

Makna Kosa Kata

: Yang di-Tuhankan, Disembah, Yang berhak untuk diibadahi sendiri (tanpa selain-Nya).

 (Yang hidup) kekal/abadi, Yang bagi-Nya seluruh makna kehidupan yang sempurna, mulai dari mendengar, melihat, berkuasa, berkehendak dan sifat-sifat Dzatiyyah lainnya.

 Yang terus menerus mengurusi segala sesuatu. Masuk dalam kategori sifat ini adalah seluruh sifat-sifat Fi’liyyah (yang menunjukkan perbuatan) karena Dia-lah Yang Maha Selalu mengurusi, Yang berdiri sendiri, tidak membutuhkan para makhluk selain-Nya, Dia-lah yang mengurusi semua (benda) yang ada sehingga menjadi ada, membiarkannya tetap ada (kekal) serta memberikan semua yang diperlukannya.

(tidur) sama-sama sifat yang melekat pada makhluk dan dibutuhkan karena ketakberdayaan dan kelemahannya.

 Makna “asy-Syafâ’ah” adalah bergabung kepada orang lain (dengan menjadi) sebagai penolongnya dan peminta untuknya. Penggunaan yang paling banyak adalah dalam arti bergabungnya orang yang paling tinggi kehormatan dan martabatnya kepada orang yang lebih rendah. Dalam hal ini, adalah berkat keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa tidak ada seorangpun yang dapat memberikan syafa’at kepada orang lain di sisinya melainkan atas idzin-Nya.

 makna kata ÇáßÑÓí adalah letak dua mata kaki. Sedangkan ‘Arasy itu tidak dapat diukur dengan ukuran apapun, inilah pendapat yang paling rajih (kuat) dari sekian banyak pendapat mengenai hal ini.

 Yakni, tidak memberatkan, membebankan dan menyusahkan-Nyya dalam menjaga/memelihara lelangit dan bumi karena kesempurnaan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya dan keluasan hikmah-Nya di dalam semua hukum-hukum-Nya.

(Yang Maha Tinggi) dengan Dzat-Nya atas seluruh makhluk-Nya, Yang Maha Tinggi dengan keagungan sifat-sifat-Nya dan Yang Maha Tinggi Yang Menguasai para makhluk dan tunduk kepada-Nya seluruh benda yang ada.

 (Yang Maha Besar/Agung) Yang mengoleksi semua sifat-sifat keagungan dan kebesaran.

Ayat agung yang memuat makna-makna paling agung yang mengisi hati dengan rasa takut kepada Allah, terhadap kemuliaan dan kesempurnaan-Nya ini memang berhak untuk menjadi ayat al-Qur’an yang paling agung dan berhak pula mengisi hati pembacanya dengan keyakinan dan keimanan serta mendapatkan pemeliharaan Allah dari syaithan manakala diiringi dengan tadabbur dan pemahaman terhadap maknanya.

Kandungan Ayat

Semua ayat ini mengandung faedah, bahkan tiap katanya mengandung banyak sekali faedah. Diantara yang paling penting dan besar adalah:
a. Bahwa ayat Kursi merupakan ayat yang paling agung di dalam Kitabullah secara umum karena ia memuat banyak sekali asma-asma Allah dan sifat-sifat-Nya.

b. Kesempurnaan Qayyûm-Nya, Qudrat-Nya, keluasan kekuasaan dan keagungan-Nya sehingga hal ini mengajak kita untuk mentadabburi dan merenungkannya.


c. Bahwa tidak terselubung dan luput satupun yang tersembunyi di muka bumi ataupun di langit oleh Allah Ta’ala “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.” Hal ini mengandung konsekuensi keharusan seorang Muslim untuk menghayatinya di dalam seluruh kehidupannya.

d. Menetapkan adanya syafa’at dan bahwa ia tidak akan dapa diraih kecuali dengan beberapa persyaratan, diantaranya idzin dan ridla-Nya terhadap hal yang disyafa’ati, “Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya.”

Selasa, 20 November 2012

Surat AL-Kafirun

 

Katakanlah:"Hai orang-orang kafir!" [1].aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.[2] Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah.[3] Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.[4] dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah.[5] Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”[6]

Info Umum

Surat ini diturunkan di kota Mekkah dan jumlah ayatnya 6 ayat.menempati urutan yang ke-109 dari 114  surat dalam Al Qur'an
Keutamaannya

Terdapat banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan surat ini, di antaranya:

- Ia Senilai Seperempat al-Qur’an

Imam at-Turmudziy meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Mâlik bahwasanya Rasulullah SAW., berkata kepada seorang shahabatnya, “Bukankah kamu hafal [Qul Yâ Ayyuhal Kâfirûn].?” Orang itu menjawab, “Benar.” Beliau menjawab, “[Ia senilai] seperempat al-Qur’an.” (HR.at-Turmudziy, no.2895, beliau berkata, Hadîts Hasan)

- Ia Membebaskan Diri Dari Kesyirikan

Hal ini berdasarkan riwayat ath-Thabaraniy dengan sanadnya dari Jibillah bin Hâritsah bahwasanya Nabi SAW., bersabda, “Bila kamu telah bergegas ke tempat tidurmu, maka bacalah [Qul Yâ Ayyuhal Kâfirûn] hingga kamu membacanya sampai akhir, sebab ia membebaskan diri dari kesyirikan.” (al-Mu’jam al-Kabîr, jld.II, h.278. Al-Haytsamiy berkata di dalam Majma’ az-Zawâ`id, jld.I, h.121, “Para periwayatnya telah dinilai Tsiqah.”

- Disunnahkan Membacanya Bersama Surat al-Ikhlash Dalam Shalat

Disunnahkan membacanya dalam shalat dua raka’at sebelum Thawaf. Hal ini berdasarkan riwayat Imam Muslim di dalam Shahîh-nya dari Jabir bahwasanya Rasulullah SAW., pernah membaca keduanya. (Shahîh Muslim, no.1218)
Demikian juga, disunnahkan membaca keduanya pada shalat sunnah Qabliyyah shubuh berdasarkan hadits dari Abu Hurairah dalam Shahîh Muslim.

Keduanya juga boleh dibaca pada shalat sunnah ba’diyyah Maghrib. Hal ini berdasarkan riwayat Ahmad dengan sanadnya dari Ibn ‘Umar RA., bahwasanya Rasulullah SAW., membaca keduanya duapuluh-an kali atau belas-an kali pada shalat qabliyyah shubuh dan ba’diyyah Maghrib.

Terakhir, ia (surat al-Kâfirûn) juga boleh dibaca ketika akan tidur sebagaimana telah disinggung mengenai keutamaan surat ini tadi.

Sebab Turunnya

Ibn Abi Hâtim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas RA., bahwasanya orang Quraisy telah mengundang Nabi SAW., untuk memberinya harta yang banyak sehingga beliau bisa menjadi orang terkaya di Mekkah, lalu mengawinkannya dengan wanita mana saja yang beliau sukai. Mereka berkata, “Inilah untukmu, wahai Muhammad tetapi (sebagai imbalannya) kamu berhenti menghina tuhan-tuhan kami dan tidak menjelek-jelekkannya. Jika kamu tidak bersedia, maka mari kita bergiliran; kamu menyembah tuhan-tuhan kami selama setahun, lalu setahun berikutnya giliran kami yang menyembah tuhan-mu.” Maka, Rasulullah SAW., menjawab, “Nanti dulu hingga wahyu diturunkan Rabbku kepadaku.” Lalu Allah menurunkan, [Qul Yâ Ayyuhal Kâfirûn] dan juga turun ayat lainnya, yaitu [Qul Afaghairallâhi Ta`murûûni A’budu Ayyuhal Jâhilûn; “Katakanlah, ‘maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan.’”]-az-Zumar:64

Renungan Bersama Surat Ini

Surat ini adalah surat pembebasan diri dari perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Musyrik dan memerintahkan agar berbuat ikhlash. Karena itu, ia disebut juga dengan surat al-Ikhlash.

Rasulullah SAW., diperintahkan agar mengatakan dan mengumumkan kepada setiap orang kafir di seluruh muka bumi ini bahwa beliau telah berlepas diri dari ibadah dan tuhan-tuhan yang mereka sembah selain-Nya, baik secara zhahir maupun bathin sebagaimana firman-Nya, “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.” Di sini, beliau berlepas diri secara total dari agama mereka; berhala-berhala dan sekutu-sekutu. Beliau seakan mengatakan, “Aku hanya menyembah Allah berdasarkan cara yang disukai dan diridlai-Nya.”

Dengan gaya pengulangan yang ada di dalam ayat ini, beliau telah berhasil memupuskan keinginan mereka agar memenuhi ajakan mereka untuk menyembah tuhan-tuhan mereka itu. Hal ini, sebagai bentuk penegasan akan perlunya berbuat ikhlash di dalam beribadah, semata karena Allah Ta’ala dan membuang selain-Nya.

Pesan Moral Surat Ini

1. Menjelaskan keterjagaan Rasul dan penyucian dirinya dari mengikuti orang-orang Musyrik.

2. Bahwa jalan Mukmin tidak akan bertemu dengan jalan orang kafir sebab si Mukmin mengikuti jalan Allah sedangkan si Kafir mengikuti jalan syaithan.

3. Betapa menjulang dan tingginya derajat seorang Mukmin di mana ia tidak akan sujud kepada berhala dan tidak akan ridla beribadah kepada selain-Nya.

4. Perlunya penegasan ucapan dengan cara mengulang-ulanginya terhadap hal-hal yang maha penting.

5. Balasan terhadap semua perbuatan akan didapat kelak pada hari Kiamat. Firman-Nya, “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”

Sabtu, 17 November 2012

Memaknai Tahun Baru Hijriah



Sang waktu terus berjalan. Tak terasa kita masuki tahun baru 1434 Hijriah. Itu artinya, hijrah Rasulullah saw. beserta para sahabatnya ke Madinah telah berumur 1434 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yang patut dikenang. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati, yang mengapresiasikan perlawanan akan kebatilan sekaligus sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun. Agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan, meski karenanya harus berdarah-darah, mereka harus meninggalkan negeri, harta, sanak, dan handai-taulan tercinta.
Dalam Ath-Thabaqat, Al-Laits bin Sa'ad mengutip sebuah riwayat dari Ibunda Aisyah r.a., adalah Rasulullah saw. bersuka-cita saat jumlah pengikutnya mencapai tujuh puluh orang, karena itu artinya Allah telah membuatkan "tameng pertahanan". Bukan sembarangan, mereka terdiri dari kaum profesional di bidang peperangan, persenjataan, dan pembelaan. Toh, permusuhan dan penyiksaan kaum musyrik bertambah gencar dan berat. Bahkan, tingkat siksaan dan celaan yang dirasakan sahabat belum pernah dialami sebelumnya. Mereka pun mengadu kepada Rasulullah saw. dan meminta izin untuk berhijrah. Pengaduan dan permintaan itu dijawab oleh Rasulullah saw., "Sesungguhnya aku pun telah diberi tahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Barangsiapa yang ingin keluar--hijrah-- maka hendaklah ia keluar ke Yatsrib."
Para sahabat kemudian hijrah secara bergelombang, dan tentu saja dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin al-Khattab r.a. Dengan tegas Umar bahkan bersuara lantang, "Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini." Sebuah tantangan yang antiklimaks, karena tak satu pun orang kafir Quraisy yang berani menampakkan batang hidungnya. Tibalah Rasulullah di Yatsrib, setelah sebelumnya para sahabatnya lebih dulu sampai. Belia disambut dengan penuh suka cita oleh sahabat Anshar. Yatsrib di kemudian hari diganti namanya menjadi Al-Madinah al-Munawwarah. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya kalender Islam.
Makna Hijrah

Secara harfiah, hijrah artinya berpindah. Secara istilah, ia mengandung dua makna: hijrah makani (tempat) dan hijrah maknawi (nilai). Hijrah makani artinya hijrah secara fisik, berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik, dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman. Ringkasnya, hijrah kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah (hijrah sejati). Alasannya, hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah saw. dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani (fisik), jelas mereka berjalan dari Mekah ke Madinah, menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi juga jelas, mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.
Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah berhubungan erat dengan al-wala' wal-bara' (loyalitas dan berlepas diri). Bal hiya min ahammi takaalifahaa, bahkan ia termasuk manifestasi (muwalah) yang paling penting. Penting, karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian, kesetiaan, dan pembelaan. Juga, menyangkut ketepatan seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yang patut dimusuhi.
Dalam sejarah, para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah, dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas, kesetiaan, keimanan, yang berujung pada menuju yang lebih baik atas rida Allah. Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah, beliau telah melakukan hijrah beberapa kali, dari Babilon ke Palestina, dari Palestina ke Mesir, dari Mesir ke Palestina lagi, semua demi risalah suci. Termasuk, hijrah beliau dari Palestina menuju Mekah yang dalam perkembangannya menjadi syariat haji.

Adalah Ibrahim a.s. yang baru dikarunia Ismail, anak yang selama ini dinanti, harus meninggalkan Palestina bersama istrinya, Hajar, menuju tanah gersang tak bertuan. Di tempat itulah Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya dengan hanya dibekali sekantong makanan dan seteko air. Ibnu Katsir menceritakan dalam tafsirnya, Saat Nabi Ibrahim hendak berlalu, sang istri menarik (menahan) tali kekang tunggangannya dan bertanya, "Apakah Kanda akan meninggalkanku bersama anakmu di tempat yang tiada tanaman, lagi tak bertuan?" Ibrahim a.s. terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan, "Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan hal ini." "Benar," jawab Ibrahim. Hajar menimpali, "Jika demikian, Allah tidak akan mempersulit kami."

Sungguh, sebuah dialog yang menusuk hati, merefleksikan keimanan yang amat dalam, sebuah ketundukan sekaligus pengorbanan yang menakjubkan. Terpancar sikap tawakal yang begitu tinggi, bahwa hanya Allah Yang Maha Menghidupkan, Maha Memberi Rezeki, Maha Mematikan. Sempurnalah implementasi hijrah pada diri Ibrahim a.s. dan keluarganya, baik secara makani maupun maknawi.
Ibrah dari Hijrah
Pelajaran yang nyata dari peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah, tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah, bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta, rumah, pekerjaan, tanah air, dan sanak kadang. Secara lahiriyah, umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yang barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yang penuh spekulasi. Toh, kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal ini sekaligus menegaskan, betapa maslahat din menempati pertimbangan tertinggi dari maslahat-maslahat yang lain.
Pelajaran lain, hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran. Ibarat minyak dan air, ia tidak akan bisa bertemu, karenanya, adalah sebuah utopia upaya-upaya "mengawinkan" antara nilai Islam dengan civic culture (budaya masyarakat) yang bertentangan dengan Islam, terlebih jika dilandasi nafsu mendahulukan budaya ketimbang nilai Islam atas nama pluralisme dan humanisme.
Pelajaran berikutnya adalah perseteruan kebenaran versus kebatilan mengharuskan manusia memilih salah satu di antara keduanya, tidak ada sikap "non-blok". Allah SWT berfirman yang artinya, "Kebenaran itu datang dari Rabb-mu, maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu." (Al-Baqarah: 147).
Untuk menangkap spirit hijrah lebih jauh, rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik, katanya, dalam kata hijrah terkandung arti berpindah "dari" dan berpindah "menuju". Maksudnya, berpindah dari yang semula tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika rumusan global tersebut betul-betul dihayati setiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan, barangkali nasib umat Islam secara umum akan lebih baik dari sekarang. Seorang koruptor akan berhenti dari korupsinya, para preman akan menghentikan aksi bromocorahnya, tidak ada lagi muslim penimbun, orang miskin akan bersuka cita karena kucuran infak para dermawan. Para dai berhenti bersengketa antar mereka dalam urusan yang kurang prinsip, dan seterusnya. Lantas, mengapa kenyataannya tidak demikian? Barangkali karena kita kurang menghayati dan mengamalkan arti hijrah sebagaimana mestinya

Upaya Merancukan Islam



Allah dengan sifat kasih sayang-Nya menghendaki manusia hidup dalam keselamatan dan kedamaian, sehingga Dia mengutus Rasulnya. Di antaranya adalah nabi Musa as. dengan kitab Taurat membimbing Bani Israil (Israel). Tetapi, setelah nabi tersebut tiada, bangsa tersebut melakukan penyimpangan dan pengrusakan terhadap agama, terutama terhadap kitab sucinya. Ayat-ayat palsu diciptakan untuk melegitimasi tindakan politiknya akibat perpecahan yang membelah mereka menjadi dua kerajaan, Yehuda (Yahudi) beribu kota di Yerusalem yang terdiri dari dua suku, dan Israel beribukota di Samaria yang terdiri dari 10 suku. Sehingga sampai kini kita mengenal bahwa kitab suci Yahudi (Perjanjian Lama) yang juga disucikan oleh umat Kristen, berasal dari dua sumber (versi): Yahwis dari Yehuda dan Elohis dari Israel.
Di antara ayat-ayat yang berasal dari sumber Elohis adalah ayat yang sering menyudutkan keturunan Yehuda, seperti: Yehuda berzina dengan mantan menantunya bernama Tamar (Kejadian 38: 1-30), Nabi Daud berzina dengan Batsyeba (II Samuel 11 :2-5), Nabi Sulaiman memiliki 700 istri dan 300 gundik serta durhaka kepada Allah (I Raja-raja 11: 1-4).
Setelah kaisar Aleksander Agung dari Yunani meluaskan wilayahnya di Timur Tengah yang sekaligus membawa Hellenisme, Bani Israel mengagumi filsafat Yunani, yang pada akhirnya kitab sucinya diterjemahkan dan ditafsirkan menurut alam pikiran Yunani. Sehingga bentuk dan isi ajaran nabi yang berasal dari Allah pun berubah, dan mengalami penyimpangan yang lebih jauh.
Kemudian Allah mengutus nabi Isa (Yesus) dengan kitab Injil untuk membimbing bani Israil sekaligus meluruskan penyimpangan agama tersebut. Namun, karena dia menyampaikan misinya selama sekitar tiga tahun, ajarannya bersentuhan dan bercampur-aduk dengan Paganisme dan filsafat Yunani, sehingga risalah Yesus mengalami metamorfose (berubah bentuk) menjadi Kristen sekarang ini. Bahkan sampai kini, umat Kristen yang mengaku sebagai pengikut Yesus, tidak mengetahui di mana Injil dari Allah yang dibawa oleh Yesus seperti yang disebut-sebut oleh Injil karangan Matius 4:23; 9:35; Markus 1:14-15; Lukas 8:1.
Kerusakan Taurat pada mulanya hanya berada pada lingkaran Israel. Tetapi, setelah Yesus meninggalkan umatnya, ajaran Allah dan Rasulnya (Musa dan Isa) yang sudah bermetamorfose sudah menyebar sampai ke Eropa. Sehingga, Allah mengutus Muhammad saw. yang membawa misi universal untuk meluruskan penyimpangan agama tersebut. (1)
Dia adalah nabi Allah yang terakhir sekaligus sebagai penutup para nabi sebelumnya, yang semuanya membawa risalah untuk membimbing manusia ke jalan kebenaran yang diajarkan oleh Allah. Agama Islam yang dibawa olehnya bukanlah ajaran baru, melainkan agama yang sudah dianut oleh para nabi terdahulu seperti Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa Daud, Sulaiman, Yahya dan Isa (Al-Baqarah: 132). AI-Qur?an menyatakan, kedatangan Nabi terakhir ini sudah dijelaskan oleh Allah dalam kitab Taurat dan Injil (Al-Baqarah: 146, al-A?raf: 157, ash-Shaf:6). Alkitab, sebagai kitab suci agama Kristen, juga menyatakan bahwa Nabi tersebut akan membawa manusia ke dalam kebenaran dan akan menegakkan hukum-hukum Allah secara tegas (Ulangan 18:15- 18,33:1-3,34:10, Yesaya 41 :1-4, 42:1-4, Habakuk 3:33, Yohanes 1:19-25, 16:7-15).
Karena Nabi Muhammad saw sebagai penerus dan pembawa kesempurnaan ajaran Allah yang telah diberikan kepada para nabi sebelumnya, maka tidaklah heran bila dijumpai banyak kesamaan hukum antara ajaran Allah yang diberikan kepada Ibrahim, Musa dengan Muhammad saw. Oleh karena itu, umat Islam diperintah oleh Allah untuk menyatakan kepada seluruh umat manusia sebagai berikut:
"Kami beriman kepada Allah, dan apa saja yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak-anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada Nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membedakan seorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepadaNya." (Al-Baqarah: 136).
Seperti yang telah dijelaskan oleh Al-Qur?an, sebelum dia lahir ke dunia, umat Israel telah diberitahu oleh Musa melalui Tauratnya (ulangan 34:10), bahwa disuatu saat nanti akan datang seorang rasul Allah yang lahir dari bangsa yang bukan Israel. Ternyata mereka tidak mengharapkan datangnya nabi terakhir nanti berasal dari luar bangsanya, dengan berupaya merancukan nubuat kedatangannya yang terdapat di dalam kitab suci mereka. Sehingga seakan-akan setiap nabi itu harus lahir dari bangsa Israel.
Oleh karena itu, sebelum Nabi Muhammad lahir ke dunia, mereka sudah mempersiapkan penyimpangan ajaran yang akan disusupkan ke dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Setelah nabi terakhir ini berada di Madinah dan membangun masyarakat Islam di kota itu, bangsa Yahudi berusaha melakukan pengacauan melalui cerita-cerita israiliat dan provokasi politik. Bahkan, di masa khalifah Abu Bakar as-Sidiq, mereka melahirkan nabi-nabi palsu.
Kepahitan sejarah yang sangat menusuk nurani umat Islam adalah keberhasilan si Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba? yang menimbulkan fitnah besar yang mengakibatkan kematian khalifah Usman bin Affan, khalifah Ali bin Abi Thalib dan timbulnya permusuhan sesama Muslim, serta munculnya aliran-aliran teologi Islam yang saling mengkafirkan sesama Muslim, dan pengaruhnya dapat kita rasakan sampai hari ini.
Usaha merancukan Islam pada periode berikutnya tidak hanya dilakukan oleh Yahudi saja. Kaum Kristen juga ingin melumatkan Islam yang sering menghantam dogma dan kepalsuan kitab sucinya. Keduanya saling bekerja sama melakukan kontaminasi terhadap ajaran-ajaran Islam dengan mencemari sejarah, hukum dan tatanan masyarakat Islam. Terutama mereka menyerang sumber pokok yakni, Al-Qur?an dan hadis Nabi.
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
Lahirnya ribuan orientalis dari kalangan Yahudi dan Kristen tidak bisa dilepaskan dari tujuan pengerusakan terhadap Islam dan masyarakatnya. Dengan biaya besar dan program yang terpadu, mereka melakukan penelitian di seluruh dunia Islam, dan berhasil menerbitkan ribuan buku tentang Islam dan umatnya.
Sebagai gambaran, pada abad ke-18 Spanyol telah menelurkan beberapa orientalis dari kalangan pendeta antara lain: Fransisco Canes, Estaban Arleage, Mariano Pizzi, Jose Antonio Conde. Orientalis Spanyol yang muncul pada abad ke- 20 antara lain: Fascual Gayanngos, Feransisco Javier Simonet, Miquel Asin Palacios, Angel Gonzales Palencia, Felix Pareja Casanas, Emilio Garcia Gomes, Manuela Manzanares de Ciree, Juan Vernet Gines, Maria Jesus Viquera Molins.
Sedangkan Inggris telah menelurkan deretan orientalisnya sejak abad ke-16. Mereka antara lain: William Bedwe", Edward Pococke, George Sale, Edward William Lane, Sir Thomas Arnold, D.S Margoliouth, R.A. Nicholson, A.J Arberry, W. Montgomery Watt, Bernard Lewis, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Di Indonesia sendiri kita mengenal tokoh orientalis kawakan Belanda Christian Snouck Hurgronje yang menjadi adviser Nederland untuk masalah Islam Indonesia. Kini berbagai negara Kristen baik di Eropa dan Amerika telah bermunculan berderetan orientalis baru.
Di samping ada yang jujur dalam mengungkapkan tentang Islam, namun sebagian besar dari mereka sengaja melakukan upaya distruksi. Kita bisa membaca pandangan mereka yang sangat serampangan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik dari kalangan Yahudi maupun Kristen. Sebagai contoh kita dapat membaca tulisan sejarawan Yahudi, Max I Dimont, yang berbunyi:
"Muhammed (569-632 A.D) lost both parents before he was six. He was brought up first by his grandfather, and later by an uncle. Both forgot to have him tutored in reading and writing, an oversight quickly remedied in later life when Muhammed learned the art of instant reading by revealation. As with Abraham, Moses, and Jesus, we know nothing of his early youth, except that at the age of twelve he was taken by caravan to Syria. Where he for the first time come into contact with Jewish and Christian religion. From this encounter he carried away a lifelong respect for "the Book" of the Jews. The Jewish Patriarchs became his heroes, heroes whom he later enshrined in the Koran, the Bible of the Mohammedans. At the age of twenty-five he married a wealthy, fourty-year old widow, with whom he live in monogamy for a quarter of a century. After her death, in Mohammed?s fifty-first year, his penchant for younger women between the age of seven and twenty-one found its full expression. His later harem of ten wives and two concubines contained houris of various ages and stages of experience." (2).
"Muhammad (596-632 M) kehilangan kedua orang tuanya sebelum berusia 6 tahun. Mula-mula ia diasuh oleh kakeknya, kemudian oleh pamannya. Keduanya lupa mengajari baca tulis kepada Muhammad, tapi kemudian Muhammad mempelajari seni membaca cepat melalui wahyu. Seperti tentang riwayat Ibrahim, Musa dan Yesus, kita tidak mengetahui sedikit pun perihal masa mudanya, kecuali di usia 12 tahun ia ikut kafilah pergi ke Syria. Di saat itulah ia pertama kali mempelajari agama Yahudi dan Kristen. Oleh karena itulah dia sangat menghormati "kitab-kitab" Yahudi sepanjang hidupnya. Para imam Yahudi (Patriarch) menjadi pahlawannya. Pahlawan-pahlawan yang kemudian diabadikan dalam Al-Our?an, kitab suci pengikut Muhammad. Di usia 25 tahun ia memperistri seorang janda kaya raya berumur 40 tahun selama seperempat abad. Setelah isterinya meninggal, di saat Muhammad berusia 51 tahun, kegemarannya kepada wanita muda yang berusia 7 sampai 21 tahun sangat menyolok. Kesepuluh isterinya dan dua gundiknya yang cantik-cantik itu dianggap sebagai bidadari yang memiliki pengalaman dan usia yang berbeda."
Tulisan Max I. Dimont ini, disamping menuduh Muhammad sebagai telaki maniak yang haus wanita muda, salah satu hal lain yang sering menjadi sorotan para orientalis adalah perjalanan niaga Muhammad saw. Bagi mereka, adalah mustahil jika Muhammad yang mengerti perdagangan ekspor-impor sampai ke Syria tidak bisa membaca dan menulis, dan mustahil tidak berinteraksi dengan bangsa lain. Padahal, di saat itu banyak pendeta Kristen dah rabbi Yahudi hidup dan mengajar di negara Syria. Kemungkinan besar, Muhammad telah belajar Alkitab atau Bibel kepada seorang pendeta.
Dugaan ini diperkuat dengan kedudukan kakek dan paman beliau sebagai tokoh masyarakat di kola Makkah atau Ummul Qura (ibu desa-desa, di masa sekarang lebih tepat disebut ibu kota). Di saat itu, Mekah adalah pusat para penyair yang setiap tahun sering menyelenggarakan festival puisi dan syair. Oleh karena itulah Muhammad pasti sudah belajar tulis baca sejak kecil, dan setelah berdagang barang ekspor-impor ke Syria pada usia 12 tahun (menurut kalangan Islam berumur 14 tahun), dia sudah mempelajari kitab suci Yahudi dan Kristen, kemudian dirumuskan kembali menjadi Al-Our?an. Sehingga, banyak kesamaan cerita dan ajaran yang terdapat dalam Perjanjian Lama (kitab suci Yahudi) dengan Al-Our?an. Ensiklopedi Britanica mengatakan:
"The word Ummi, literally "Populer" or "Plebein" (according to one etymology), applied to him in the Koran, is said to mean "One who can neither read nor write", a Supposition But the word may mean "Meccan", i,e, native of "The Mother of villages" (Ummu al Qura; and it is probable that he could both read and write, but unskilfully."
"Kata 'ummi' yang menurut arti asalnya adalah 'umum' atau 'kampungan' dicantumkan dalam Al-Our?an khusus untuk Muhammad dengan arti 'Orang yang tidak bisa membaca dan menulis', menjadi kepercayaan yang masuk dalam doktrin mukjizat Al-Qur?an. Tetapi kata 'Makkah' yang arti asalnya adalah 'Ibu desa-desa' (Umm al-Qura), memberi kemungkinan bahwa Muhammad bisa membaca dan menulis."
Ternyata di kalangan para penulis enslikopedi Britannica sendiri saling berselisih. Di satu pihak mengatakan bahwa Muhammad pasti bisa membaca, tetapi di pihak lain mengatakan bahwa dia buta huruf. Sebagaimana penuturan mereka sebagai berikut:
"There is no evidence that he was able to read, and his dependence on oral communications may explain some of his misconceptions; e.g., the confusion of Haman, the minister of , Ahasuerus, with the minister of Pharaoh (xl 38), and the identification of Miriam, the sister of Moses, with Mary (Miryam), the mother of Jesus (xix, 2.9). It is certain that in Medina he had opportunities of becoming acquainted with Jews of some culture, and there is linguistic as well as literary evidence for his inebtedness to members of Nestorian Church. Even in rare passages where we can trace direct resemblance to the of the Old Testament (cf. xxi, 48, with Ps. xxxviii, 29; i,5, with Ps. xxvii, 11) or the New (cf. vii, 48 with Luke xvi, 24; xlvi, 19, with Luke xvi, 25), there is nothing more than might readly have been picked up in conversation with any Jew or Christian. "4
"Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dia dapat membaca, dan ketergantungannya kepada komunikasi lisan mungkin mengakibatkan kesalahan konsep ajarannya. Seperti kesimpangsiuran mengenai Haman, menteri Ahasuerus, disebutkan sebagai menteri Fira?un (QS XI: 38), dan tentang identitas Miryam, saudara Nabi Musa, disebut Maryam yang melahirkan Yesus (QS Maryam: 29). Lebih jelas lagi ketika di Madinah. Muhammad memiliki kesempatan untuk bergaul akrab dengan orang-orang Yahudi, dan dari segi bahasa terdapat bukti literal bahwa Muhammad menyerap cerita dari orang-orang Kristen Nestoria. Bahkan pada beberapa halaman Al-Qur?an, kita dapat menemukan kemiripan teksnya dengan kitab Perjanjian lama (QS Al-Anbiya: 105 dengan Mazmur 38: 29, QS Al-Fatihah: 5 dengan Mazmur 17: 11) atau dengan Perjanjian Baru (QS Al-A?raf: 48) dengan Lukas 16: 24, QS Al-Ahqaf: 19 dengan Lukas 16: 25. Itu semua tidak lebih dari "hasil jiplakan dalam percakapannya dengan orang-orang Yahudi atau Kristen."
Tampak sekali kealpaan mereka terhadap konsep bahwa Muhammad adalah penutup dan penyempurna risalah Islam. yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya, sehingga mereka lupa bahwa hukum dan ajaran pokok agama Islam sejak masa Nabi Adam sampai Muhammad adalah sama. Kemungkinan besar firman Allah yang disampaikan kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad banyak kesamaannya baik dalam lafadnya (teks) maupun makna dan pengertiannya. Namun, sebagaimana yang kami sebutkan sebelumnya, karena Kitab Taurat dan Injil sudah mengalami bencana pengerusakan oleh tangan-tangan manusia, maka kesamaan teks itu sulit dijumpai. Sedangkan masalah identitas Maryam dan Miryam, akan kita bahas pada edisi berikutnya.

Footnote:
1. Baigent, Leigh & Lincoln, The Messianic Legacy, Corgi Books, Transworld Publisher Ltd, London, 1992.
2. Max I. Dimont, Jews, God and History, Signet Book, The New American Library, New York, Tenth Printing, h. 189.
3. Encyclopaedia Britannica, Vol. 15, h. 646.
4. Encyclopaedia Britannica, Vol. 13, h. 483.

Jumat, 16 November 2012

Cara - Cara Sholat Malam

Berdasar dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:


1. Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.

Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:

A. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan, kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat.(Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)

B. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur’an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu ‘Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)

Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.

C. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir.

Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu Qul ya ayyuhal kafirun dan Idza zulzilat.

Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama kemudian ia berwitir maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.

Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya’nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba’diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis di uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunah ba`diyah Isya.


2. Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir.

Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.

Penjelasan
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.

Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi’i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.

Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih.

Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat + 2 rakaat qabliyah Shubuh.

Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama’ seperti pad uraian yang lalu.

Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba’diyah Isya.

3. Shalat 11 rakaat dengan memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.

Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat ‘atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya.

Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.

Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat.

4. Shalat 11 rakaat yaitu dengan 4 rakaat satu salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.

Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi.

Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.

5. Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang belaiu tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam.

Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa’ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian belaiu duduk dan mengingat Allah dan memujinya (attahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.

Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.

6. Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (attahiyat) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.


Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu:
....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin a boleh berwitir dengan satu rakaat.

Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah saatu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.

Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk attahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat

Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan:
Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah Sabbihisma Rabbikal A’la dan pada rakaat kedua membaca surah Al-Kafirun, dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.

Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.

Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahw beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.

Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.

Mengapa Kita Harus berdzikir..?

1.Membuat hati menjadi tenang.
Allah berfirman,
”Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar Ra’d : 28)

Banyak orang yang ketika mendapat kesulitan maka mereka mencari cara–cara yang salah untuk dapat mencapai ketenangan hidup. Diantaranya dengan mendengarkan musik yang diharamkan Allah, meminum khamr atau bir atau obat terlarang lainnya. Mereka berharap agar bisa mendapatkan ketenangan. Yang mereka dapatkan bukanlah ketenangan yang hakiki, tetapi ketenangan yang semu. Karena cara–cara yang mereka tempuh dilarang oleh Allah dan Rasul–Nya.

Ingatlah firman Allah Jalla wa ’Ala di atas, sehingga bila kita mendapat musibah atau kesulitan yang membuat hati menjadi gundah, maka ingatlah Allah, insya Allah hati menjadi tenang.


2.Mendapatkan pengampunan dan pahala yang besar.

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab : 35)

3.Dengan mengingat Allah, maka Allah akan ingat kepada kita.
Allah berfirman,
“Karena itu, ingatlah kamu kepada Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (dengan memberikan rahmat dan pengampunan)”. (Al Baqarah : 152)

4.Dzikir itu diperintahkan oleh Allah agar kita berdzikir sebanyak–banyaknya.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla
“Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak–banyaknya. Dan bertasbihlah kepada – Nya di waktu pagi dan petang.” (Al Ahzab : 41 – 42)

5.Banyak menyebut nama Allah akan menjadikan kita beruntung.

“Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (Al Anfal : 45)

Pada Al Qur’an dan terjemahan cetakan Al Haramain terdapat footnote bahwa menyebut nama Allah sebanyak – banyaknya, maksudnya adalah memperbanyak dzikir dan doa.

6.Dzikir kepada Allah merupakan pembeda antara orang mukmin dan munafik, karena sifat orang munafik adalah tidak mau berdzikir kepada Allah kecuali hanya sedikit saja. (Khalid Al Husainan, Aktsaru min Alfi Sunnatin fil Yaum wal Lailah, Daar Balansiyah lin Nasyr wat Tauzi’, Riyadh, Terj. Zaki Rahmawan, Lebih dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Pustaka Imam Asy Syafi’i, Bogor, Cetakan I, Juni 2004 M, hal. 158).

Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang – orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An Nisaa’ : 142)

7.Dzikir merupakan amal ibadah yang paling mudah dilakukan.
Banyak amal ibadah yang sebetulnya mudah untuk kita lakukan. Semisal :
- Membaca basmallah ketika akan makan / minum
- Membaca doa keluar / masuk kamar mandi
- Membaca dzikir – dzikir sewaktu pagi dan petang
- Membaca doa keluar / masuk rumah
- Membaca doa ketika turun hujan
- Membaca dzikir setelah hujan turun
- Membaca doa ketika berjalan menuju masjid
- Membaca dzikir ketika masuk / keluar masjid
- Membaca hamdalah ketika bersin
- Membaca dzikir – dzikir ketika akan tidur
- Membaca doa ketika bangun tidur

Dan lain–lain banyak sekali amalan yang mudah kita lakukan. Bila kita tinggalkan, maka rugilah kita berapa banyak ganjaran yang harusnya kita dapat, tetapi tidak kita peroleh padahal itu mudah untuk diraih. Coba saja hitung berapa banyak kita keluar masuk kamar mandi dalam sehari?



DZIKIR HARUS SESUAI DENGAN ATURAN ISLAM

Dzikir adalah perkara ibadah, maka dari itu dzikir harus mengikuti aturan Islam. Ada dzikir – dzikir yang sifatnya mutlak, jadi boleh dibaca kapan saja, dimana saja, dan dalam jumlah berapa saja karena memang tidak perlu dihitung.

Tetapi ada juga dzikir – dzikir yang terkait dengan tempat, misal bacaan – bacaan dzikir ketika mengelilingi (thawaf) di Ka’bah. Ada juga dzikir yang terkait dengan waktu, misal bacaan dzikir turun hujan. Juga ada dzikir yang terkait dengan bilangan, misal membaca tasbih, tahmid, dan takbir dengan jumlah tertentu (33 kali) setelah shalat wajib. Tentu tidak boleh ditambah – tambah kecuali ada dalil yang menerangkannya.

Kalau seseorang membuat sendiri aturan – aturan dzikir yang tidak diterangkan oleh Islam, maka berarti dia telah membuat jalan yang baru yang tertolak. Karena sesungguhnya jalan – jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah itu telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Patutkah kita menempuh jalan baru selain jalan yang telah diterangkan oleh Rasul Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Tentu tidak, karena Agama Islam ini telah sempurna. Kita harus mencukupkan dengan jalan yang telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.