ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Jumat, 07 Desember 2012

Aliran Al-Jabriyyah



Jabr adalah doktrin yang menafikan secara hakiki timbulnya perbuatan dari hamba (manusia), dan sebaliknya justru menganggapnya berasal dari Allah.
Al-Jabriyyah terbagi beberapa kelompok:

  1. Al-Jabriyyah murni yang meyakini bahwa manusia tidak memiliki perbuatan dan kemampuan untuk berbuat sama sekali.
  2. Al-Jabriyyah menengah (moderat), yaitu mereka yang menetapkan bahwa manusia memiliki kekuatan untuk berbuat namun tidak punya pengaruh sama sekali.

Adapun orang yang tidak berpendapat adanya pengaruh pada kekuatan yang diciptakan pada manusia dalam suatu perbuatan dan menamakannya kasb, orang itu bukanlah penganut Jabriyyah. Sedangkan kaum Mu'tazilah menamakan Jafriyyah orang yang tidak memandang adanya pengaruh pada kekuatan yang diciptakan dalam berbuat dan bertindak secara mandiri. Dengan begitu, seharusnya mereka juga menjuluki pengikut mereka yang berpendapat bahwa efek-efek sekunder adalah perbuatan yang tidak ada pelakunya, sebagai Jabriyyah juga. Karena, mereka tidak memandang adanya pengaruh pada kekuatan yang diciptakan dalam perbuatan-perbuatan itu.
Para penulis dalam beberapa tulisan menggolongkan kelompok an-Najjariyyah dan adh-Dhirariyyah ke dalam golongan al-Jabriyyah. Dan kami telah mendengar pengakuan mereka atas pengikut mereka dari an-Najjariyyah dan adh-Dhirariyyah, maka kami masukkan mereka ke golongan al-Jabriyyah. Dan kami tidak mendengar pengakuan mereka atas kelompok selain itu, maka mereka kami golongkan ke dalam golongan ash-Shifatiyyah.
Sub-Aliran al-Jabriyyah
Al-Jahmiyyah
Mereka adalah pengikut Jahm bin Shafwan seorang penganut Jabriyyah murni. Bid'ahnya muncul di kota Turmudz. Ia dibunuh oleh Muslim bin Ahwaz al-Mazini -seorang gubernur Bani Umayyah- di Marw pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Ia mengikuti Mu'tazilah dalam menafikan sifat-sifat Allah yang azali, dan ia menambahkan beberapa hal selain pendapat Mu'tazilah itu, di antaranya:

  1. Menurut Jahm, Allah Ta'ala tidak boleh disifati dengan suatu sifat yang juga disifatkan pada makhluk-Nya. Karena hal itu menyebabkan adanya tasybiih (penyerupaan). Karena itu Jahm menafikan bahwa Allah itu bersifat hidup dan mengetahui, dan menetapkan bahwa Allah itu Maha Kuasa, Maha Berbuat, dan Maha Pencipta, karena tidak seorang pun dari makhluk-Nya disifati dengan qudrah, fi'l (berbuat) dan mencipta.
  2. Ia juga menetapkan adanya ilmu baru bagi Allah Ta'ala, yang tidak memiliki tempat tertentu. Ia berkata, Allah tidak mengetahui sesuatu sebelum Dia menciptakannya, karena jika Ia sudah mengetahui kemudian baru menciptakan, berarti, apakah ilmu-Nya tetap seperti sebelumnya atau tidak? Jika tetap, itu berarti suatu kebodohan, karena mengetahui sesuatu yang sudah ada berbeda dengan mengetahui sesuatu yang akan ada. Namun jika tidak tetap, berarti ilmu-Nya telah berubah, dan sesuatu yang berubah adalah makhluk, tidak bersifat qadiim. Dalam hal ini Jahm mengikuti Hisyam bin al-Hakam sebagaimana yang telah diketahui. Ia berkata bahwa jika telah tetap ilmu-Nya adalah makhluk, maka ia tidak lepas dari dua kemungkinan: jika ilmu itu diciptakan dalam dzat Allah Ta'ala , dan hal itu menandakan adanya perubahan dalam dzat-Nya dan bahwa dzat-Nya menjadi tempat bagi sesuatu yang diciptakan, atau jika ilmu-Nya berada di suatu tempat, berarti tempat itu yang disifati dengan ilmu itu, bukan Allah Ta'ala. Dengan demikian jelaslah bahwa ilmu itu tidak memiliki tempat. Lalu ia menetapkan bahwa ilmu-Nya adalah suatu yang diciptakan sesuatu dengan jumlah makhluk yang ada.
  3. Pendapatnya tentang kekuatan yang diciptakan. Bahwa manusia tidak kuasa melakukan apa pun dan ia tidak disifati dengan kemampuan, tetapi sebenarnya manusia itu perbuatannya ditentukan (oleh Allah) secara mutlak. Ia tidak punya kekuatan, keinginan dan juga pilihan. Sebenarnya Allah Ta'ala menciptakan perbuatan-perbuatan itu pada diri manusia sebagaimana yang Ia ciptakan pada benda-benda lain. Adapun penisbatan perbuatan itu kepadanya secara majazi (tidak hakiki), sebagaimana dinisbatkan pada benda-benda mati, misalnya: dikatakan pohon itu berbuah, air mengalir, batu itu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit berawan dan menurunkan hujan dan lain-lainnya. Pahala dan hukuman juga hal yang jabr sebagaimana perbuatan seluruhnya. Jika jabr telah ditetapkan maka sebenarnya taklif adalah jabr juga.
  4. Pendapatnya bahwa aktifitas penghuni surga dan neraka akan berhenti dan berakhir. Surga dan nerakan akan lenyap setelah penghuni surga merasakan kenikmatannya dan penghuni neraka merasakan siksaannya. Karena tidak dapat dibayangkan adanya gerakan yang tidak ada habisnya sebagaimana tidak dapat juga dibayangkan adanya gerakan yang tak berpemulaan. Dia menginterpretasikan firman Allah Ta'ala: "...Khaalidiina fiihaa...." (mereka kekal di dalamnya) bahwa hal itu hanya menunjukkan betapa lamanya hal itu dan sebagai penegasan, bukan kekal sebenarnya. Sama seperti kita mengatakan: "Semoga Allah mengekalkan kerajaan si fulan". Ia melandaskan pendapatnya tentang terputusnya gerakan dengan firman Allah Ta'ala, yang artinya: ".. mereka kekal di dalamnya selama adanya langit dan bumi, kecuali jika Allah menghendaki lain...." (Huud: 108). Ayat ini menurutnya mengandung syarat dan pengecualiaan, sedangkan kekekalan dan keabadian itu tidak bersyarat dan tidak dikecualikan.
  5. Pendapatnya bahwa orang mengenal Allah kemudian mengingkari-Nya dengan lisannya tidaklah kafir, karena ilmu dan pengetahuan itu tidaklah lenyap oleh keingkaran, ia tetap mu'min. Dan dia berkata bahwa iman itu tidak terbagi-bagi pada keyakinan, ucapan dan perbuatan. Dia juga berkata bahwa orang-orang beriman tidak ada perbedaan tingkatnya. Bagi dia iman para nabi sama dengan iman umat-umatnya, karena pengetahuan tidak berbeda-beda tingkatan.

Para salaf semuanya adalah yang paling keras membantah pendapatnya ini, dan menisbatkan dia kepada kelompok ta'thiil murni (yang meniadakan sifat-sifat Allah). Jahm juga sama dengan Mu'tazilah dalam menafikkan ru'yah (orang mu'min akan melihat Allah di hari kiamat), juga dalam menetapkan bahwa Alquran itu adalah makhluk, serta kewajiban mengetahui dengan akal sebelum turunnya wahyu.
Sumber: Diterjemahkan dari kitab al-Milal wa an-Nihal, Muhammad bin Abdul Karim asy-Syahrastani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar