ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Rabu, 03 Oktober 2012

Penafsiran Menyesatkan tentang Fosil (Keruntuan Teori Evolusi [VII])



Sebelum melangkah ke bagian terperinci dari mitos evolusi manusia, perlu disebutkan metode propaganda yang telah meyakinkan masyarakan umum tentang gagasan bahwa di masa lampau pernah hidup makhluk separuh manusia separuh kera. Metode propaganda ini menggunakan "rekonstruksi" yang dibuat berdasarkan fosil-fosil. Rekonstruksi yang dimaksud adalah pembuatan gambar atau model makhluk hidup berdasarkan sepotong tulang--kadangkala hanya berupa fragmen-- yang berhasil digali. "Manusia kera" yang kita lihat dalam surah kabar, majalah, atau film semuanya adalah hasil rekonstruksi.
Fosil-fosil biasanya tidak tersusun dan tidak lengkap. Karenanya, rekaan apa pun yang didasarkan padanya cenderung sangat spekulatif. Kenyataannya, rekonstruksi (gambar atau model) yang dibuat evolusionis berdasarkan peninggalan-peninggalan fosil itu telah dipersiapkan secara spekulatif namun cermat untuk mendukung pernyataan evolusi. Seorang ahli antropologi dari Harvard, David R. Pilbeam, menegaskan fakta ini ketika mengatakan, "Setidaknya dalam paleontoantropologi, data masih sangat jarang sehingga teori sangat mempengaruhi penafsiran. Teori-teori, di masa lampau, dengan jelas mencerminkan idiologi-idiologi kita, bukannya mewakili data sesungguhnya." Karena masyarakat sangat terpengaruhi oleh informasi visual, rekonstruksi-rekonstruksi ini adalah cara terbaik untuk membantu kaum evolusionis mencapai tujuannya, yaitu meyakinkan orang bahwa makhluk-makhluk ini benar-benar ada di masa lalu.
Sampai di sini, kita perlu menggarisbawahi satu hal: rekonstruksi berdasarkan sisa-sisa tulang hanya dapat mengungkapkan karakteristik sangat umum dari obyek tersebut, karena penjelasan terperinci sesungguhnya terletak pada jaringan lunak yang cepat sekali hancur. Jadi, dengan penafsiran spekulatif terhadap jaringan lunak, gambar atau model rekonstruksi menjadi sangat tergantung pada imajinasi pembuatnya. Earnst A. Hooten dari Universitas Harvard, menjelaskan situasi ini sebagai berikut:
"Usaha untuk menyusun kembali bagian-bagian lunak adalah pekerjaan yang lebih beresiko lagi. Bibir, mata, telinga, dan ujung hidung tidak meninggalkan data apa pun pada tulang di bawahnya yang bisa menjadi petunjuk. Dengan kemudahan yang sama, dari sebuah tengkorak Neandertaloid, Anda dapat mengonstruksi muka simpanse roman aristokrat seorang filsuf. Nilai ilmiah restorasi hipotes tipe-tipe manusia purba ini sedikit sekali, itu pun kalau ada, dan ini cenderung hanya menyesatkan masyarakat.
Kenyataannya, evolusionis mengarang cerita yang sangat tidak masuk akal sehingga untuk satu tengkorak yang sama, mereka bahkan menggambarakan wajah-wajah yang berbeda. Satu contoh terkenal dari penipuan semacam ini adalah tiga gambar rekonstruksi berlainan yang dibuat untuk satu fosil bernama Australopithecus robustus (Zinjanthropus).
Penafsiran menyimpang terhadap fosil maupun pembuatan banyak rekonstruksi rekaan bisa menjadi indikasi betapa sering evolusionis melakukan tipu muslihat. Namun, ini tidak seberapa dibandingkan dengan semua pemalsuan yang sengaja dilakukan sepanjang sejarah evolusi.
Penipuan-Penipuan Evolusi
Tidak ada bukti fosil yang nyata untuk mendukung gambaran "manusia kera" yang tidak putus-putusnya diindoktrinasikan media massa dan akademisi evolusionis. Dengan kuas di tangan, evolusionis membuat makhluk-makhluk khayalan. Namun, mereka memiliki masalah serius karena tidak ada fosil-fosil yang cocok dengan gambar-gambar itu. Salah satu metode menarik yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah ini adalah membuat fosil-fosil yang tidak dapat mereke temukan. Manusia Piltdown, skandal paling menghebohkan dalam sejarah ilmu pengetahuan, adalah contoh khas metode ini.
Manusia Piltdown: Rahang Orang Utan dan Tengkorak Manusia
Seorang dokter terkenal yang juga ahli paleoantropologi amatir, Charles Dawson, menyatakan bahwa ia telah menemukan tulang rahang dan fragmen tengkorak di dalam sebuah lubang di Piltdown, Inggris, pada tahun 1912. Tulang rahang tersebut lebih mirip tulang rahang kera, tetapi gigi dan tulang tengkoraknya seperti milik manusia. Spesimen ini dinamakan "Manusia Piltdown". Fosil ini diduga berusia 500 ribu tahun, dan dipajang di beberapa museum sebagai bukti mutlak evolusi manusia. Selama lebih dari 40 tahun, telah banyak artikel ilmiah mengenai "Manusia Piltdown" ditulis, sejumlah penafsiran dan gambar dibuat, dan fosil tersebut dikemukakan sebagai bukti penting evolusi manusia. Tidak kurang dari 500 tesis doktor ditulis mengenai subjek ini. Seorang ahli paleontologi terkenal dari Amerika, Henry Fairfield Osborn, ketika sedang mengunjungi British Museum pada tahun 1935 berkata, "... kita harus selalu diingatkan bahwa alam dipenuhi paradoks, dan ini adalah suatu temuan mengejutkan tentang manusia prasejarah ...."
Pada tahun 1949, Kenneth Oakley dari departemen paleontologi British Museum mencoba metode "pengujian fluorin", pengujian baru yang digunakan untuk menentukan umur fosil-fosil tua. Uji coba dilakukan pada fosil manusia Piltdown. Hasilnya sungguh mengejutkan. Selama pengujian, diketahui bahwa tulang rahang Manusia Piltdown tidak mengandung fluorin. Ini menunjukkan bahwa tulang rahang tersebut terkubur tidak lebih dari beberapa tahun. Sedangkan tengkoraknya, yang hanya mengandung sejumlah kecil fluorin, menunjukkan usianya hanya beberapa ribu tahun.
Penelitian kronologis terakhir yang dilakukkan dengan menggunakan metoda fluorin menunjukkan bahwa tengkorak tersebut hanya berusia beberapa ribu tahun. Terbukti pula bahwa gigi pada tulang rahang adalah dari orang utan yang dibuat seolah usang, dan bahwa peralatan-peralatan "primitif" yang ditemukan bersama fosil hanya imitasi sederhana yang telah diasah dengan peralatan baja. Dalam analisis terperinci yang diselesaikan oleh Weiner, pemalsuan ini diumumkan pada tahun 1953. Tengkorak ini milik manusia yang berusia 500 tahun, dan tulang rahangnya milik kera yang baru saja mati! Kemudian gigi-gigi disususun berderet dan ditambahkan pada rahangnya secara khusus, dan sendinya dirancang menyerupai sendi manusia. Lalu, semua bagian diwarnai dengan potasium dikromat agar tampak tua. Warna ini memudar ketika dicelup dalam larutan asam. Le Gros Clark, anggota tim yang membongkar penipuan ini, tidak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya atas peristiwa ini dan mengatakan bahwa "Bukti-bukti abrasi tiruan dengan segera tampak di depan mata. Hal ini begitu jelasnya hingga patut dipertanyakan bagaimana ini sampai lolos dari pengamatan sebelumnya?" Dengan terungkapnya fakta ini, "Manusia Piltdown" kemudian segera disingkirkan dari British Museum setelah lebih dari 40 tahun dipajang di sana.
Manusia Nebraska: Gigi Babi
Pada tahun 1922, Henry Fairfield Osborn, manajer American Museum of Natural History, mengumumkan bahwa ia telah menemukan sebuah fosil gigi geraham yang berasal dari periode Pliosin, di Nebraska Barat, dekat Snake Brook. Gigi ini dinyatakan memiliki karakteristik gigi manusia dan gigi kera. Argumentasi ilmiah yang mendalam pun dimulai. Sebagian orang menafsirkan gigi ini berasal dari Pithecanthropus Erectus, sedangkan yang lain menyatakan gigi tersebut lebih menyerupai gigi manusia. Fosil yang menimbulkan perdebatan sengit ini dinamakan "Manusia Nebraska". Manusia baru ini juga dengan segera diberi nama ilmiah Hesperopithecus haroldcooki.
Banyak ahli yang memberikan dukungan kepada Osborn. Berdasarkan satu gigi ini, rekonstruksi kepala dan tubuh Manusia Nebraska pun digambar. Lebih jauh, Manusia Nebraska bahkan dilukiskan bersama istri dan anak-anaknya, sebagai sebuah kelurga utuh dengan latar belakang alam.
Semua skenario ini dikembangkan hanya dari satu gigi. Evolusionis begitu meyakini keberadaan "manusia bayangan" ini, hingga ketika seorang peneliti bernama William Bryan menolak keputusan menyimpang yang mengandalkan satu gigi ini, ia dikritik dengan kasar.
Pada tahun 1927, bagian lain kerangkanya juga ditemukan. Menurut potongan-potongan tulang ini, gigi tersebut bukan milik manusia atau kera, melainkan milik spesies babi liar Amerika yang telah punah, bernama Prothennops. William Gregory memberi judul artikelnya yang dimuat majalah Science dengan Hesperopithecus: Apparently Not an Ape Nor a Man (Hesperopithecus: Ternyata Bukan Kera Maupun Manusia). Dalam artikel itu ia mengumumkan kekeliruan ini. Setelah semua gambar Hesperopithecus haroldcooki dan "keluarnganya" segera dihapus dari literatur evolusi.
Ota Benga: Orang Afrika dalam Kerangkeng
Setelah Darwin menyatakan bahwa manusia berevolusi dari makhluk hidup yang mirip kera melalui bukunya The Descent of Man, ia kemudian mulai mencari fosil-fosil untuk mendukung argumentasinya. Bagaimanapun, sejumlah evolusionis percaya bahwa makhluk "separuh manusia-separuh kera" tidak hanya ditemukan dalam bentuk fosil, tetapi juga dalam keadaan hidup di berbagai belahan dunia. Di awal abad ke-20. pencarian "mata rantai transisi yang masih hidup" ini menghasilkan kejadian-kejadian memilukan, dan yang paling biadab di antaranya adalah yang menimpa seorang Pigmi (suku di Afrika Tengah dengan tinggi badan rata-rata kurang dari 127 sentimeter) bernama Ota Benga.
Ota Benga ditangkap pada tahun 1904 oleh seorang peneliti evolusionis di Kongo. Dalam bahasanya, nama Ota Benga berarti "teman". Ia memiliki seorang istri dan dua orang anak. Dengan dirantai dan dikurung seperti binatang, ia dibawa ke Amerika Serikat. Di sana, para ilmuwan evolusionis memamerkannya untuk umum pada Pekan Raya Dunia di St. Louis bersama spesies kera lain dan memperkenalkannya sebagai "mata rantau transisi terdekat dengan manusia". Dua tahun kemudian, mereka membawanya ke kebun binatang Bronx di New York. Ia dipamerkan dalam kelompok "nenek moyang manusia" bersama beberapa simpanse, gorilla bernama Dinah, dan orang utan bernama Dohung. Dr. William T. Hornaday, seorang evolusionis direktur kebun binatang tersebut memberikan sambutan panjang lebar tentang betapa bangganya ia memiliki "bentuk transisi" yang luar biasa ini di kebun binatangnya dan memperlakukkan Ota Benga dalam kandang seolah ia seekor binatang biasa. Tidak tahan dengan perlakuan yang diterimanya, Ota Bengan akhirnya bunuh diri.
Manusia Piltdown, Manusia Nebraska, Ota Benga.... Skandal-skandal ini menunjukkan bahwa ilmuwan evolusinis tidak ragu-ragu menggunakan segala cara yang tidak ilmiah untuk membuktikan teori mereka. Dengan mengingat hal ini, ketika kita melihat yang dinamakan bukti lain dari mitos "evolusi manusia", kita akan menghadapi situasi yang sama. Inilah sebuah cerita fiksi dan sepasukan relawan yang siap mencoba apa saja untuk membenarkan cerita itu.

Sumber: The Evolution Deceit, Harun Yahya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar