ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Rabu, 03 Oktober 2012

Asal-Usul Burung dan Mamalia (Keruntuan Teori Evolusi [VI])



Menurut teori evolusi, kehidupan berawal dan berevolusi di laut, kemudian amfibi memindahkannya ke darat. Skenario evolusi ini juga menyatakan bahwa amfibi kemudian berevolusi menjadi reptil, makhluk yang hanya hidup di darat. Sekali lagi, skenario ini tidak masuk akal, karena terdapat perbedaan-perbedaan struktural yang jauh antara dua kelompok besar hewan ini. Misalnya, telur amfibi didesain untuk berkembang di dalam air sedangkan telur amniotik reptil didesain untuk berkembang di darat. Evolusi "bertahap" amfibi adalah mustahil, sebab tanpa telur yang didesain dengan baik dan sempurna tidak mungkin sebuah spesies dapat bertahan hidup. Selain itu, seperti biasa, tidak ada bukti bentuk transisi yang mestinya menghubungkan amfibi dengan reptil. Robert L. Carrol, seorang ahli paleontologi vertebrata, mengakui bahwa reptil-reptil awal sangat berbeda dengan amfibi dan nenek moyang mereka belum dapat ditemukan.
Akan tetapi, skenario evolusionis tanpa harapan ini belum juga berakhir. Masih ada masalah, bagaimana membuat makhluk-makhluk ini dapat terbang! Karena mempercayai burung sebagai hasil evolusi, evolusionis berkeras bahwa burung-burung tersebut berasal dari reptil. Akan tetapi, tidak ada satu pun mekanisme khas burung dengan struktur yang sepenuhnya berbeda dengan binatang darat dapat dijelaskan dengan evolusi bertahap. Misalnya, sayap sebagai satu ciri khas burung merupakan jalan buntu bagi para evolusionis. Seorang evolusionis dari Turki, Engin Korur, mengakui kemustahilan evolusi sayap.
Ciri yang sama antara mata dan sayap adalah bahwa keduanya hanya berfungsi jika telah berkembang sempurna. Dengan kata lain, mata setengah jadi tidak dapat melihat; seekor burung dengan sayap setengah jadi tidak dapat terbang. Tentang bagaimana organ-organ ini muncul, masih merupakan salah satu mistri alam yang perlu dicari penjelasannya .
Pertanyaan bagaimana struktur sayap yang sempurna muncul dari serangkaian mutasi acak, masih belum terjawab sama sekali. Adalah penjelasan yang tidak mungkin bahwa lengan depan reptil dapat berubah menjadi sayap yang berfungsi sempurna sebagai hasil distorsi pada gen-gennya (mutasi).
Lagi pula, sekadar memiliki sayap tidak memadai bagi organisme darat untuk terbang. Organisme darat tidak memiliki mekanisme-mekanisme struktural lain yang digunakan burung untuk terbang. Misalnya, tulang-tulang burung jauh lebih ringan daripada tulang-tulang organisme darat. Cara keja paru-paru mereka sangat berbeda. Mereka memiliki sistem otot dan rangka yang berbeda dan sistem jantung-peredaran darah yang sangat khas. Ciri-ciri ini adalah prasyarat untuk bisa terbang, yang sama pentingnya dengan sayap. Semua mekanisme ini harus ada seluruhnya pada saat bersamaan; semuanya tidak mungkin terbentuk sedikit demi sedikit dengan cara "terakumulasi". Karena itulah, teori yang menyatakan bahwa organisme terbang benar-benar menyesatkan .
Semua ini menimbulkan pertanyaan baru: kalaupun kisah mustahil ini kita anggap benar, mengapa evolusionis tidak mampu menemukan fosil-fosil "bersayap setengah" atau "bersayap tunggal" untuk mendukung kisah mereka?
Satu lagi bentuk transisi hipotetis: Archaeopteryx. Sebagai jawaban, evolusionis mengajukan satu makhluk yaitu fosil burung yang disebut Archaeopteryx. Burung ini dikenal luas sebagai salah satu "bentuk transisi" dari hanya beberapa yang masih mereka pertahankan. Archaeopteryx, nenek moyang burung modern, menurut kaum evolusionis, hidup 150 juta tahun lalu. Teori tersebut menyatakan bahwa sejenis dinosaurus berukuran kecil yang disebut Velociraptor atau Dromeosaurus berevolusi dengan mendapatkan sayap dan kemudian mulai terbang. Archaeopteryx diasumsikan sebagai makhluk transisi dari dinosaurus, nenek moyangnya, dan kemudian terbang untuk pertama kalinya.
Akan tetapi, penelitian terakhir pada fosil Archaeopteryx menunjukkan bahwa makhluk hidup ini sama sekali bukan bentuk transisi, melainkan spesies burung dengan beberapa karakteristik yang berbeda dari burung masa kini.
Hingga beberapa waktu yang lalu, pernyataan bahwa Archaeopteryx merupakan makhluk "separo burung" yang tidak dapat terbang dengan sempurna masih sangat populer di kalangan evolusionis. Ketiadaan sternum (tulang dada) pada makhluk ini, atau paling tidak perbedaannya dengan sternum milik unggas yang dapat terbang, dianggap sebagai bukti paling penting bahwa burung ini tidak dapat terbang secara sempurna. (Tulang dada terdapat di bawah toraks, sebagai tempat bertambatnya otot-otot yang digunakan untuk terbang. Pada masa kini, tulang dada terdapat pada semua unggas yang dapat atau tidak terbang, dan bahkan pada kelelewar: mamalia terbang dari famili yang sangat berbeda).
Namun, fosil Archaeopteryx ketujuh yang ditemukan pada tahun 1992 menimbulkan kegemparan luar biasa dikalangan evolusionis. Pada fosil Archaeopteryx tersebut, tulang dada yang sejak lama dianggap hilang oleh evolusionis ternyata benar-benar ada. Fosil temuan terakhir itu digambarkan oleh majalah Nature sebagai berikut, "Fosil Archaeopteryx ketujuh yang baru-baru ini ditemukan masih memiliki sebagian sternum berbentuk persegi panjang. Sternum ini sudah lama diperkirakan ada, tetapi tidak pernah terdokumentasi sebelumnya. Temuan tersebut membuktikan bahwa makhluk ini memiliki otot-otot kuat untuk terbang.
Penemuan ini menggugurkan pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah makhluk setengah burung yang tidak dapat terbang dengan baik.
Di sisi lain, struktur bulu burung tersebut menjadi salah satu bukti terpenting yang menegaskan bahwa Archaeopteryx benar-benar burung yang dapat terbang. Struktur bulu Archaeoptery yang asimetris tidak berbeda dari burung modern, menunjukkan bahwa binatang ini dapat terbang dengan sempurna. Seorang ahli paleontology terkenal, Carl O. Dunbar menyatakan, "Karena bulunya, Archaeopteryx dipastikan termasuk kelas burung."
Fakta lain yang terungkap dari struktur bulu Archaopteryx adalah bahwa hewan ini berdarah panas. Sebagaimana telah diketahui, reptil dan dinosaurus adalah binatang berdarah dingin yang dipengaruhi oleh suhu lingkungan, dan tidak dapat mengendalikan sendiri suhu tubuh mereka. Fungsi terpenting bulu burung adalah untuk mempertahankan suhu tubuh. Fakta bahwa Archaeopteryx memiliki bulu menunjukkan bahwa makhluk ini benar-benar seekor burung berdarah panas yang perlu mempertahankan suhu tubuh, sementara dinosaurus tidak.
Spekulasi Evolusionis: Gigi dan Cakar Archaeopteryx
Dua hal penting yang diandalkan kaum evolusionis ketika menyatakan bahwa Archaeopteryx merupakan bentuk transisi: adalah cakar pada sayap burung itu dan giginya.
Memang benar bahwa Archaeopteryx memiliki cakar pada sayapnya dan gigi dalam mulutnya, tetapi ciri-ciri ini tidak berarti bahwa makhluk ini berkerabat dengan reptil. Selain itu, dua spesies burung yang hidup saat ini, Taouraco dan Hoatzin, keduanya memiliki cakar untuk berpegangan pada cabang-cabang pohon. Kedua makhluk ini sepenuhnya burung tanpa karakteristik reptil. Karena itu, pernyataan bahwa Archaeopteryx adalah bentuk transisi hanya karena cakar pada sayapnya sama sekali tidak berdasar.
Gigi pada paruh Archaeopteryx juga tidak menunjukkan bahwa makhluk ini adalah bentuk transisi. Evolusionis sengaja melakukan penipuan dengan mengatakan bahwa gigi-gigi ini adalah karakteristik reptil. Bagaimanapun, gigi bukan ciri khas reptil. Kini, banyak reptil yang memang bergigi dan banyak pula yang tidak. Lagi pula, Archaeopteryx bukan satu-satunya spesies burung yang memiliki gigi. Namun jika kita mengamati catatan fosil, kita akan menemukan bahwa di zaman Archaeopteryx dan setelahnya, bahkan hingga baru-baru ini, terdapat suatu genus burung yang dapat dikategorikan sebagai "burung bergigi".
Hal yang terpenting adalah bahwa struktur gigi Archaeoptery dan burung-burung lain yang bergigi sama sekali berbeda dengan struktur gigi dinosaurus, yang dianggap nenek moyang mereka. Beberapa ahli ornitologi terkenal, Martin, Steward, dan Whetstone mengamati bahwa Archaeopteryx dan burung-burung bergigi lainnya memiliki gigi dengan permukaan atas datar dan berakar besar. Namun, gigi dinosaurus teropoda, nenek moyang hipotetis burung-burung ini, menonjol seperti gerigi gergaji dan memiliki akar menyempit. Para peneliti juga membandingkan tulang-tulang pergelangan pada Archaeopteryx dan dinosaurus, dan tidak menemukan kemiripan di antara mereka.
John Ostrom adalah seorang ahli terkemuka yang menyatakan bahwa Archaeopteryx berevolusi dari dinosaurus. Namun, penelitian ahli anatomi seperti Tarsitano, Hecht, dan A.D. Walker mengungkapkan bahwa pendapatnya tentang sejumlah "kemiripan" antara Archaeopteryx dan dinosaurus pada kenyataannya adalah penafsiran yang salah.
Semua penemuan ini menunjukkan bahwa Archaeopteryx bukanlah bentuk transisi, melainkan hanya sejenis burung yang termasuk kategori "burung bergigi".
Archaeopteryx dan Fosil-Fosil Burung Purba Lainnya
Selama beberapa dekade, evolusionis menyatakan Archaeopteryx sebagai bukti terbesar skenario evolusi burung, namun beberapa fosil yang baru ditemukan mengugurkan skenario tersebut.
Lianhai Hou dan Zhonghe Zhou, dua ahli paleontologi dari Institut Paleontologi Vertebrata Cina, pada tahun 1995 menemukan fosil burung baru yang mereka namai Confuciusornis. Usia fosil burung ini hampir sama dengan Archaeopteryx (sekitar 140 juta tahun), tetapi tidak bergigi. Selain itu, paruh dan bulunya memiliki ciri yang sama dengan burung modern, sayap burung ini juga memiliki cakar seperti Archaeopteryx. Pada spesies burung ini dijumpai struktur khusus yang disebut "pygostyle" yang menopang bulu-bulu ekor. Singkatnya, burung ini tampak sangat menyerupai burung modern, walau hidup semasa dengan Archaeopteryx yang dianggap sebagai nenek moyang tertua dari semua burung dan disebut semi-reptil. Kenyataan ini mengugurkan semua anggapan evolusionis yang menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah nenek moyang primitif dari semua burung.
Satu fosil lagi yang ditemukan di Cina pada bulan November 1996 telah menimbulkan kebingungan yang lebih besar. Keberadaan burung berusia 130 juta tahun bernama Liaoningornis ini diumumkan dalam majalah Science oleh Hou, Martin, dan Alan Feduccia. Liaoningornis memiliki tulang dada tempat menempel otot-otot untuk terbang, seperti burung modern. Dalam hal lain, burung ini juga tidak berbeda dengan burung modern. Yang berbeda hanya giginya. Keadaan ini menunjukkan bahwa burung bergigi tidak memilki struktur primitif sama sekali seperti anggapan evolusionis. Hal ini dinyatakan dalam sebuah artikel Discover, "Dari mana burung berasal? Bukan dari Dinosaurus, menurut fosil ini".
Fosil lain yang membantah pernyataan evolusionis tentang Archaeopteryx adalah Eoalulavis. Struktur sayap Eoalulavis yang diperkirakan berusia 30 juta tahun lebih muda dari Archaeolteryx, juga ditemukan pada burung modern yang terbang dengan lambat. Ini membuktikan bahwa 120 juta tahun lalu, terdapat burung-burung yang dalam banyak aspek tidak berbeda dengan burung modern.
Kenyataan ini sekali lagi memastikan bahwa Archaeopteryx atau burung-burung purba lain yang mirip dengannya bukan bentuk-bentuk transisi. Fosil-fosil tersebut tidak menunjukkan bahwa spesies-spesies burung berevolusi dari satu ke yang lain. Bahkan sebaliknya, catatan fosil membuktikan bahwa burung modern dan sejumlah burung-burung purba seperti Archaeopteryx ternyata pernah hidup bersama pada satu zaman. Akan tetapi, beberapa spesies ini seperti Archaeopteryx dan Confuciusornis telah punah dan hanya sebagian dari spesies-spesies yang pernah ada mampu bertahan hingga sekarang.
Ringkasnya, beberapa ciri khas Arcahaeopteryx tidak menunjukkan bahwa makhluk ini adalah bentuk transisi! Stephan Jay Gould dan Niels Eldredge, dua ahli paleontologi Harvard dan evolusionis terkenal, mengakui bahwa Archaeopteryx adalah makhluk hidup yang memiliki "paduan" dari beragam ciri, akan tetapi tidak dapat dianggap sebagai bentuk transisi.
Mata Rantai Imajiner antara Burung dan Dinosaurus
Pernyataan yang ingin dikemukakan para evolusionis dengan menampilkan Archaeopteryx sebagai bentuk transisi adalah bahwa burung merupakan hasil evolusi dari dinosaurus. Namun, salah seorang ahli ornitologi terkemuka di dunia, Alan Feduccia dari Universitas North Carolina, menentang teori bahwa burung memiliki kekerabatan dengan dinosaurus, sekalipun ia sendiri seorang evolusionis. Berkenaan dengan hal ini Feduccia mengatakan, "Saya telah mempelajari tengkorak-tengkorak burung selama 25 tahun dan saya tidak melihat kemiripan apa pun. Saya benar-benar tidak melihatnya.... Pernyataan bahwa Teropoda merupakan nenek moyang burung, menurut pendapat saya, akan sangat mempermalukan paleontologi abad ke-20."
Larry Martin, spesialis burung purba dari universitas Kansas, membantah teori bahwa burung berasal dari garis keturunan yang sama dengan dinosaurus. Ketika membahas kontradiksi yang dihadapi evolusi, Martin menyatakan, "Terus terang, jika saya harus mendukung bahwa burung dengan karakteristik tersebut berasal dari dinosaurus, saya akan merasa malu setiap kali harus berdiri dan berbicara tentangnya." Ringkasnya, skenario "evolusi burung" yang didasarkan hanya pada Archaeopteryx tidak lebih dari praduga dan angan-angan evolusionis.
Asal-Usul Mamalia
Sebagaimana telah digambarkan, teori evolusi menyatakan bahwa beberapa makluk rekaan yang muncul dari laut berubah menjadi reptil dan bahwa burung berasal dari reptil yang berevolusi. Menurut skenario yang sama, reptil bukan hanya nenek moyang burung, melainkan juga nenek moyang mamalia. Namun, struktur reptil dan mamalia sangat berbeda. Reptil bersisik pada tubuhnya, berdarah dingin dan berkembang biak dengan bertelur, sedangkan mamalia memiliki rambut pada tubuhnya, berdarah panas, dan bereproduksi dengan melahirkan anak.
Sebuah contoh perbedaan struktural antara reptil dan mamalia adalah struktur rahang mereka. Rahang mamalia hanya terdiri dari satu tulang rahang, dan gigi-gigi ditempatkan pada tulang ini. Rahang reptil memiliki tiga tulang kecil pada kedua sisinya. Satu lagi perbedaan mendasar, mamalia memiliki tiga tulang pada telinga bagian tengah (tulang martil, tulang sanggurdi dan tulang landasan), sedangkan reptil hanya memiliki satu tulang. Evolusionis menyatakan bahwa rahang dan telinga bagian tengah reptil berevolusi sedikit demi sedikit menjadi rahang dan telinga mamalia. Akan tetapi, mereka tak mampu menjelaskan bagaimana perubahan ini terjadi. Khususnya, pertanyaan utama yang tetap tidak terjawab adalah bagaimana telinga dengan satu tulang berevolusi menjadi telinga dengan tiga tulang, dan bagaimana pendengaran tetap berfungsi selama perubahan ini berlangsung. Pantaslah tidak pernah ditemukan satu fosil pun yang menghubungkan reptil dengan mamalia. Inilah sebabnya seorang ahli paleontologi evolusionis, Roger Lewin, terpaksa berkata,"Peralihan menjadi mamalia pertama, yang mungkin terjadi dalam satu saja atau maksimal dalam dua garis keturunan, masih menjadi teka-teki".
George Gaylord Simpson, salah seorang tokoh utama evolusi dan pendiri teori neodarwinisme, berkomentar mengenai fakta yang sangat membingungkan evolusionis ini: "Peristiwa paling membingungkan dalam sejarah kehidupan di bumi adalah perubahan dari mesozoic atau zaman reptil ke zaman mamalia. Seakan-akan tirai diturunkan secara mendadak untuk menutup panggung di mana seluruh peran utama dimainkan reptil, terutama dinosaurus, dalam jumlah besar dan keragaman yang menakjubkan. Tirai ini segera dinaikkan kembali untuk memperlihatkan panggung yang sama tetapi dengan susunan pemain yang sepenuhnya baru, yang sama sekali tidak melibatkan dinosaurus, dan reptil lain hanya menjadi figuran, dan semua peran utama dimainkan mamalia dari berbagai jenis yang hampir tidak pernah disinggung dalam babak-babak sebelumnya."
Selain itu, ketika mamalia tiba-tiba muncul, mereka sudah sangat berbeda satu sama lain. Hewan-hewan yang berbeda seperti kelelawar, kuda, tikus dan paus semuanya adalah mamalia dan mereka semua muncul pada periode geologi yang sama. Mustahil menarik garis hubungan evolusi di antara mereka, bahkan dalam batasan imajinasi yang paling luas sekalipun. Ahli zoologi evolusionis, R. Eric Lombard, mengemukakan hal ini dalam sebuah artikel majalah Evolution.
Mereka yang mencari informasi spesifik yang dibutuhkan dalam menyusun filogeni (sejarah dan perkembangan evolusi) kelompok-kelompok mamalia akan kecewa.
Semua ini menunjukkan bahwa semua makhluk hidup muncul di bumi secara tiba-tiba dan dalam bentuk sempurna tanpa melalui proses evolusi. Ini merupakan bukti nyata bahwa mereka telah diciptakan. Akan tetapi, evolusionis berupaya menafsirkan fakta bahwa makhluk hidup muncul dalam suatu urutan sebagai indikasi adanya evolusi. Padahal, urutan kemunculan makhluk hidup adalah "urutan penciptaan", karena mustahil membuktikan proses evolusi. Dengan penciptaan agung dan tanpa cacat, lautan dan kemudian daratan dipenuhi makhluk hidup, dan akhirnya manusia diciptakan.
Bertentangan dengan kisah "manusia kera" yang diindoktrinasikan pada masyarakat luas dengan propaganda media yang gencar, manusia juga muncul di bumi secara tiba-tiba dan dalam keadaaan telah sempurna.
Sumber: The Evolution Deceit , Harun Yahya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar