ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Selasa, 03 Desember 2013

Macam-Macam Najis

Najis ialah kotoran yang bagi setiap Muslim wajib menyucikan diri daripadanya dan menyucikan apa yang dikenainya.
Firman Allah: “Mengenai pakaianmu, hendaklah kamu bersihkan.” (al-Muddatstsir: 4)
Firman Allah: “Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang tobat, dan mengasihi orang-orang yang bersuci.” (al-Baqarah: 222)
Sabda Rasulullah saw.: “Bersuci itu sebagian dari keimanan.”
Macam-macam najis adalah:
1. Bangkai: ialah yang mati secara begitu saja artinya tanpa disembelih menurut ketentuan agama. Termasuk juga dalam hal ini apa yang dipotong dari binatang hidup, berdasarkan hadits Abu Waqib al-Laitsi:
Telah bersabda Rasulullah saw.: “Apa yang dipotong dari binatang ternak, sedang ia masih hidup, adalah bangkai.” (HR Abu Daud dan Turmudzi yang diakuinya sebagai hadits hasan. Katanya: “Bagi ahli ilmu, ketentuan ini dituruti.”)
Dikecualikan dari itu:
a. Bangkai ikan dan belalang, maka ia suci, karena hadits Ibnu Umar ra.: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, ialah bangkai ikan dan belalang, sedang mengenai darah, ia adalah hati dan limpha.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daruquthni, tetapi hadits ini dlaif. Hanya Imam Ahmad yang mensahkannya sebagai hadits mauquf, sebagaimana dikatakan oleh Zar’an dan Abu Hatim)
Sedang hadits seperti ini hukumnya marfu’ artinya silsilah sanadnya sampai kepada Nabi, karena ucapan shahabat: dihalalkan bagi kami ini, atau diharamkan bagi kami itu, adalah serupa dengan ucapannya: kami diperintahkan dan kami dilarang.
Dan telah kita sebutkan sebelumnya sabda Nabi saw. mengenai laut yang artinya: “Airnya suci lagi menyucikan, dan bangkainya halal buat dimakan.”
b. Bangkai binatang yang tidak punya darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah menyebabkannya bernajis.
Berkata Ibnul Mundzir: “Tidak saya ketahui adanya perbedaan pendapat tentang sucinya apa yang disebutkan tadi, kecuali apa yang diriwayatkan dari Syafi’i. Dan yang lebih populer dari madzabnya ialah najis, hanya dimaafkan jika jatuh ke dalam benda cair selama benda cair itu tidak berubah karenanya.”
c. Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci karena asalnya semua itu adalah suci dan tak ada dalil mengatakan najisnya.
Berkata az-Zuhri mengenai tulang-belulang bangkai seperti misalnya gajah dan lain-lain: “Saya dapati orang-orang dari ulama-ulama Salaf mengambil sebagai sisir dan menjadi minyak, demikian itu tidak jadi apa-apa.” (Riwayat Bukhari)
Dan diterima dari Ibnu Abbas, katanya: majikan dari Maimunah menyedekahkan kepadaku seekor domba, tiba-tiba ia mati. Kebetulan Rasulullah saw. lewat maka sabdanya: “Kenapa tidak kalian ambil kulitnya buat disamak, hingga dapat dimanfaatkan?” “Bukankah itu bangkai?” ujar mereka. “Yang diharamkan ialah memakannya.” Ujar Nabi pula. (HR Jama’ah Ibnu Majah yang di dalam riwayatnya tersebut: “Dari Maimunah”, sementara dalam riwayat Bukhari dan Nasa’i tidak disebutkan soal menyamak)
Dan dari Ibnu Abbas ra. bahwa ia membacakan ayat berikut ini: “Katakanlah: menurut apa yang diwahyukan kepadaku tidak kujumpai makanan yang diharamkan kecuali bangkai.” (sampai akhir ayat 145 dari surah al-An’am). Kemudian ulasannya: “Yang diharamkan itu hanyalah apa yang dimakan. Mengenai kulit, air kulit, gigi, tulang, rambut dan bulu, maka ia halal.” (HR Ibu Mundzir dan Ibnu Hasyim)
Begitu pula sari susu bangkai dan susunya suci, karena para shahabat sewaktu menaklukkan negeri Irak, mereka memakan keju orang-orang Majusi padahal itu dibuat dari susu, sedang sembelihan mereka itu dipandang sama dengan bangkai.
Sebuah riwayat yang berasal dari Salman al-Farisi ra. bahwa ia ditanya mengenai sedikit keju, lemak dan bulu, maka jawabnya: “Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, dan yang haram apa yang diharamkan dalam kitab-Nya, dan apa-apa yang didiamkan-Nya termasuk barang yang dimaafkan-Nya.” Dan sebagaimana diketahui pertanyaan tersebut adalah mengenai keju orang-orang Majusi, yakni sewaktu Salman menjadi gubernur ‘Umar bin Khaththab di Madain.
2. Darah, baik ia darah yang mengalir atau tertumpah, misalnya yang mengalir dari hewan yang disembelih, ataupun darah haid. Tetapi dimaafkan kalau hanya sedikit.
Dari Ibnu Juraij mengenai firman Allah Ta’ala: aw damam masfuuhan; katanya yang dimaksud dengan darah masfuha itu ialah darah yang mengucur sedang yang terdapat dalam urat-urat itu tidak jadi apa (dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir)
Dan sewaktu kepada Abu Mijlaz ditanyakan tentang darah yang terdapat di bekas sembelihan domba (leher) atau darah yang dijumpai di permukaan periuk, ujarnya: “Tidak apa-apa yang dilarang itu hanyalah darah yang tertumpah.” (diriwayatkan oleh Abdu Hamid dan Abu Syeikh)
Dari ‘Aisyah ra. katanya: “Kami makan daging sedang darah tampak merupakan benang-benang dalam periuk.” Kata Hasan pula: “Kaum Muslimin tetap melakukan shalat dengan luka-luka mereka.” (diriwayatkan oleh Bukhari)
Kemudian ada lagi sebuah riwayat yang sah dari Umar ra. bahwa ia shalaat sedang lukanya masih berdarah. (Disebutkan oleh Hafidh dalam al-Fat-h)
Sementara Abu Hurairah ra. berpendapat tidak apa dibawa shalat kalau hanya setetes atau dua tetes darah.
Adapun darah nyamuk dan darah yang menetes dari bisul-bisul, maka dimaafkan berdasarkan atsar, atau riwayat dari para shahabat tadi. Dan ditanyakan kepada Abu Mijlaz mengenai bisul yang menimpa badan atau pakaian. Ujarnya: “Tidak apa, kerena yang disebutkan oleh Allah hanya darah dan tidak disebut-Nya dengan tentang nanah.” Berkata Ibnu Taimiyah: “Wajib mencuci kain dari nanah beku dan nanah yang bercampur darah.” Ulasnya pula: “Tetapi tidak ditemukan dalil mengenai najisnya.”
Demikianlah dan yang lebih utama, agar manusia menjaganya sedapat mungkin.
3. Daging babi
Firman Allah: “Katakanlah: Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena itu adalah najis.” (sampai akhir ayat 145 surah al-An’am)
Maksudnya karena semua itu adalah menjijikkan yang tak disukai oleh selera yang sehat. Maka kata ganti “itu” kembali kepada ketiga jenis tersebut. Mengenai bulu babi, menurut pendapat ulama yang terkuat, dibolehkan untuk diambil benang jahit.
4. Muntah
5. Kencing
6. Kotoran manusia.
Najis semua itu disepakati oleh bersama, hanya kalau muntah itu sedikit, maka dimaafkan. Begitu pula diberi keringanan terhadap kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan, maka cukup buat menyucikannya dengan jalan memercikkannya dengan air, berdasarkan hadist Ummu Qais ra. yang artinya: “Bahwa ia datang kepada Nabi saw. membawa bayinya yang laki-laki yang belum lagi sampai usia untuk diberi makan, dan bahwa bayinya itu kencing dalam pangkuan Nabi. Maka Nabi pun meminta air lalu memercikkannya (maksudnya sebagaimana tersebut pada riwayat-riwayat lain ialah menebarkan air dengan jari-jari, tidak sampai banyak hingga mengalir) ke atas kainnya, dan tidak mencucinya berkali-kali.” (disepakati oleh ahli-ahli hadits)
Dari Ali ra. katanya: telah bersabda Rasulullah saw.: “Kencing bayi laki-laki diperciki air, sedangkan kencing bayi perempuan hendaklah dicuci.” Berkata Qatadah: “Ini selama kedua mereka ini belum diberi makan, jika sudah, maka kencing mereka hendaknya dicuci.” (HR Ahmad –dengan lafadh atau susunan kata daripadanya- dan Ashabus Sunan kecuali Nasa’i. Berkata Hafidh dalam al-Fat-h: “Isnadnya adalah sah.”)
Kemudian memerciki itu hanya cukup, selama bayi tiada beroleh makanan selain dari jalan menyusu. Adapun bila ia telah diberi makan, maka tak ada perbedaan pendapat tentang wajib mencucinya. Keringanan dengan cukup diperciki itu mungkin sebabnya karena gemarnya orang-orang buat menggendong bayi hingga sering kena kencing dan masyaqqah atau sulit buat mencucinya, diberi keringanan dengan cara tersebut.
7. Wadi
Yaitu air putih kental yang keluar mengiringi kencing. Ia adalah najis tanpa perbedaan pendapat. Berkata ‘Aisyah ra.: “Adapun wadi ia adalah setelah kencing, maka hendaklah seseorang mencuci kemaluannya lalu berwudlu dan tidak usah mandi.” (Riwayat Ibnul Mundzir)
Dan dari Ibnu Abbas ra. mengenai mani, wadi dan madzi, katanya: “Adapun mani, hendaklah mandi, mengenai madzi dan wadi, pada keduanya berlaku cara bersuci.” (diriwayatkan oleh Atsram dan Baihaqi, sedang pada Baihaqi lafadhnya adalah sebagai berikut: “Adapun wadi dan madzi, katanya, cucilah kamaluanmu atau tempat kemaluanmu, dan laukanlah pekerjaan wudlu-mu untuk shalat.”)
8. Madzi: yakni air putih bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau ketika sedang bercanda. Kadang-kadang keluarnya tidak terasa. Terdapat pada laki-laki dan perempuan hanya lebih banyak pada golongan perempuan. Hukumnya najis menurut kesepakatan ulama, hanya bila ia menimpa badan wajib dicuci, dan jika menimpa kain, cukuplah dengan memercikinya dengan air karena ini merupakan najis yang sukar menjaganya sebab sering menimpa pakaian pemuda-pemuda sehat, hingga lebih layak mendapat keringanan dari kencing bayi.
Dari ‘Ali ra., katanya: Aku adalah seorang laki-laki yang banyak madzi, maka kusuruh seorang kawan menanyakan kepada Nabi saw. mengingat aku adalah suami putrinya. Kawan itupun menanyakan, maka jawab Nabi: ‘Berwudlulah dan cucilah kemaluanmu.’” (HR Bukhari dan lain-lain)
Dari Sahl bin Hanif ra. katanya: Aku mendapat kesusahan dan kesulitan disebabkan madzi dan sering mandi karenanya. Maka kusampaikan hal itu kepada Rasulullah saw. dan ujarnya: “Cukuplah kamu berwudlu karena itu.” Lalu kataku pula: “Ya Rasulallah, bagaimana yang menimpa kainku?” Sabdany: “Cukup bila engkau ambil sesauk air lalu percikkan ke kainmu hingga jelas olehmu mengenainya.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi serta katanya: “Hadits ini hasan lagi shahih.”)
Di dalam hadits ini terdapat Muhammad bin Ishak, dan ia adalah dlaif bila meriwayatkan disebabkan mudallas, hanya di sini ia tegas-tegas meriwayatkan hadits.
Juga hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Astram ra. dengan lafadh: “Aku banyak menemukan kesusahan karena madzi, maka akupun datang menemui Nabi saw. dan mengatakan hal itu kepadanya. Ujarnya: “Cukuplah bila kau mengambil sesauk air lalu memercikkan ke atasnya.”
9. Mani.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ia najis. Pendapat yang kuat adalah ia suci, tetapi disunahkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering. Berkata ‘Aisyah ra.: “Kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw. bila ia kering, dan kucuci bila ia basah.” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar)
Dari Ibnu Abbas, katanya: Nabi saw. ditanya orang mengenai mani yang mengenai kain, maka jawabnya: “Ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.” (Riwayat Daruquthni, Baihaqi dan Thahawi, sedang hadits menjadi perbantahan mengenai marfu’ atau mauqufnya, yakni tentang sampai sanadnya kepada Nabi saw. atau hanya sampai shahabat saja).
10. Kencing dan tahi binatang yang tidak dimakan dagingnya
Keduanya adalah najis karena hadits Ibnu Mas’ud ra. katanya: Nabi saw. hendak buang air besar, maka disuruhnya aku mengambilkan tiga buah batu. Dapatlah aku dua buah, dan kucari sebuah lagi tapi tidak ketemu. Maka kuambillah tahi kering lalu kuberikan kepadanya. Kedua batu itu diterima oleh Nabi, tetapi tahi tadi dibuangnya. Sabdanya: “Ini najis.” (HR Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)
Yang menambahkan dalam sebuah riwayat: “Ini najis, ini adalah tahi keledai.” Dan dimaafkan bila hanya sedikit, karena susah menjaganya. Berkata Walid bin Muslim: “Saya tanyakan kepada Auza’i: “Bagaimana tentang kencing binatang yang tidak dimakan dagingnya seperti bagal, keledai dan kuda?” Ujarnya: “Mereka mendapatkan kesulitan disebabkan itu dalam peperangan, dan tidaklah mereka cuci baik yang mengenai tubuh ataupun kain.”
Mengenai kencing atau tahi hewan yang dimakan dagingnya, di antara ulama mengatakan suci adalah Malik, Ahmad dan segolongan dari ulama madzab Syafi’i. Berkata Ibnu Taimiyah: “Tak seorang pun di antara shahabat yang mengatakan najis, bahkan mengatakannya najis itu adalah ucapan yang dibuat-buat yang tak ada dasarnya di kalangan shahabat yang dulu-dulu. Sekian.
Dari Anas ra. katanya: Orang-orang Ukul dan Ukrainah datang ke Madinah dan tertimpa sakit perut. Maka Nabi saw. menyuruh mereka untuk mencari unta perahan dan supaya meminum kencing dan susunya.” (HR Ahmad dan kedua Syaikh yakni Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjadi dalil tentang sucinya kencing unta.
Dan binatang-binatang lain yang dimakan dagingnya diqiyaskan kepadanya. Berkata Ibnul Mundzir: “Orang-orang yang mengatakan bahwa ini khusus bagi orang tesebut, tidaklah benar, karena keistimewaan itu tidak dapat diterima kecuali bila ada alasan.” Ulasnya lagi: “Dibiarkannya oleh ahli-ahli ilmu orang-orang itu menjual tahi kambing di pasar-pasar, dan menggunakan kencing unta buat obat-obatan baik di masa dulu maupun sekarang tanpa dapat disangkal, menjadi bukti atas sucinya.”
Berkata Syaukani: “Yang kuat ialah sucinya kencing dan sisa makanan dari setiap hewan yang dimakan dagingnya, berpegang kepada asal dan ishtish-hab lil baraatil ashliyah artinya mempertahankan hukum lama yakni kebebasan menurut asal. Sedang sifat dan keadaan najis itu adalah suatu hukum syara’, yang berpindah dari hukum yang dikehendaki oleh asal dan kebebasan, hingga ucapan orang yang mengakuinya tak dapat diterima kecuali bila ada dalil yang dapat dipakai alasan untuk memindahkan daripadanya, padahal dari orang-orang yang mengatakannya najis, tidak kita temui alasan tersebut.
11. Binatang jallalah, karena ada larangan terhadap mengendarai jallalah, memakan daging atau meminum susunya.
Dari Ibnu Abbas ra. katanya: Telah melarang Rasulullah saw. meminum susu jallalah.” (diriwayatkan oleh Yang Berlima kecuali Ibnu Majah, dan oleh Turmudzi dikatakan shahih)
Dan pada sebuah riwayat: “Nabi melarang mengendarai jallalah.” (HR Abu Dawud)
Dan diterima dari Umar bin Syu’aib, dari ayah dan seterusnya dari kakeknya ra. katanya: Rasulullah saw. melarang memakan daging keledai piaraan, begitu pun jallalah, baik mengendarai atau memakan dagingnya.” (HR Ahmad, Nasa’i dan Abu Daud)
Yang dimaksud dengan jallalah adlah binatang-binatang yang memakan kotoran, baik berupa unta, sapi, kambing, ayam, itik dan lain-lain sampai baunya berubah.
Tetapi jika ia dikurung dan terpisah dari kotoran-kotoran itu beberapa waktu dan kembali memakan makanan yang baik, hingga dagingnya jadi baik dan nama jallalah tadi jadi hilang dari dirinya, maka halal, karena illat atau alasan dilarang ialah karena berubah, sedang sekarang sudah tiada perubahan lagi.
12. Khamr / Arak. Bagi jumhur ulama ia adalah najis karena firman Allah: “Sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung itu adalah najis, termasuk perkara setan.” (al-Maidah: 90)
Sebagian ulama berpendapat bahwa ia adalah suci, sedang kata-kata najis pada ayat tersebut mereka tafsirkan sebagai najis maknawi, karena kata “Najis” itu merupakan predikat dari arak serta segala yang dihubungkan dengannya, padahal semua itu sekali-sekali tak dapat dikatakan najis biasa.
Firman Allah: “Hendaknya kamu jauhi najis yang berupa berhala.”
Ternyata bahwa berhala itu najis maknawi yang bila disentuh tidak menyebabkan kita bernajis. Juga karena dalam ayat tersebut ada ditafsirkan bahwa ia merupakan pekerjaan setan yang menimbulkan permusuhan dan saling benci serta jadi penghalang terhadap mengingat Allah dan melakukan shalat.
Dan dalam buku Subulus Salam tertera sebagai berikut: “Yang benar bahwa asal pada semua benda yang tersebut itu adalah suci, dan bahwa diharamkannya, tidaklah berarti bahwa ia najis. Contohnya candu, ia adalah haram tetapi tetap suci. Adapun barang najis, maka selamanya haram. Jadi setiap najis adalah haram, tetapi tidak sebaliknya. Keterangannya ialah menetapkan sesuatu sebagai najis, berarti melarang menyentuhnya dengan cara apapun juga. Maka menetapkan sesuatu barang sebagai najis, berarti menetapkan haramnya.
Lain halnya dengan menetapkan haramnya, misalnya memakai sutera dari emas, padahal keduanya adalah suci berdasarkan syara’ dan ijma’. Nah bila ini dapat anda pahami, maka diharamkannya berbagai macam tuak berikut arak sebagaimana dimaksudkan oleh dalil-dalil keterangan, tidak berarti bahwa itu najis, untuk itu hendaklah ada dalil atau keterangan lain.
Dan seandainya dalil itu tidak dijumpai, tetaplah ia berada dalam keadaan asal yang telah disepakati bersama yakni suci. Siapa-siapa yang menyangkal, berartilah ia menyangkal dalil itu sendiri.
13. Anjing. Ia adalah najis dan wajib mencuci apa yang dijilatnya, sebanyak tujuh kali, mula-mula dengan tanah berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. katanya: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Menyucikan bejanamu yang dijilat anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mulanya dengan tanah.” (HR Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi)
Mencuci dengan tanah maksudnya ialah mencampurkannya ke dalam air hingga menjadi keruh.
Jika ia menjilat ke dalam bejana yang berisi makanan kering, hendaklah dibuang mana yang kena dan sekelilingnya, sedang sisanya tetap dipergunakan karena sucinya tadi.
Mengenai bulu anjing, maka yang terkuat adalah suci, dan tak ada alasan mengatakannya najis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar