ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Rabu, 20 Mei 2015

Siapakah Sebenarnya Orang Yang Cerdas Itu?

Rasulullah Saw. bersabda:
عن ابي يعلى شداد ابن اوس رضي الله عنه قال قال رسول الله ص م الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ (رواه الترميذي)
Dari Abi Ya’la Syaddad bin Aus ra. berkata, Rasulullah Saw bersabda: Orang yang cerdas itu adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya, dan mengerjakan untuk kehidupan setelah kematian. Dan yang lemah itu adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berandai-andai kepada Allah. (HR. Turmudzi)
Kata dana pada hadits tersebut disyarah oleh para ulama dengan beberapa pengertian, di antaranya al-khudu’ yang bermakna ketundukan atau ketaatan. Orang pintar dalam hadits ini bukanlah orang yang bangga dengan ijazah sarjananya, atau bangga dengan gelar keprofesorannya, atau orang yang pandai dengan ilmu retorika bahasa, mampu menguasai massa demi kepentingan politiknya, atau dengan hal-hal lainnya.
Al-Kaisu, orang yang cerdas yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw adalah orang yang mampu dengan bijak mengendalikan hawa nafsunya untuk tunduk dan taat terhadap perintah Allah Swt serta menjahui segala larangan-larangan-Nya. Ungkapan senada dapat kita temukan juga dalam hadits Rasulullah Saw lain, yang menyebutkan bahwa orang yang paling berani itu adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya. Dan juga jihad yang lebih besar daripada peperangan mengangkat senjata, adalah jihad melawan hawa nafsu.
Wahai saudaraku, betapa banyak orang pintar di dunia ini yang tidak sanggup menguasai keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjerumuskan dirinya dalam kehinaan di pandangan Allah Swt. Na'udzubillahi min dzalik.
Salah satu contohnya seperti sebagian para pejabat-pejabat yang suka melakukan korupsi, menelantarkan kepentingan rakyat demi kesejahteraan hidup pribadi, adakah ia itu pandai ataukah bodoh? Mungkin jika dipandang dari strata sosial dan jenjang akademik yang diperolehnya maka ia kita golongkan kepada orang pandai, tapi sebenarnya ia adalah orang yang lemah akalnya dan pengecut. Hawa nafsulah yang menguasai dirinya, bukan dirinya yang menguasai hawa nafsu. Merekalah al-‘ajiz, orang-orang lemah yang dimaksud dalam hadits al-kaisu man dana nafsahu wa ‘amila lima ba’dal maut, wal ‘ajizu manittaba’a nafsahu hawaha wa tamanna ‘alallahi.
Demikian pula dengan orang-orang pintar yang menipu orang lain yang dianggapnya bodoh, pahadal sebenarnya dirinya sendirilah yang tertipu. Layaknya orang-orang munafik yang hendak menipu orang-orang yang beriman mereka tidak menyadari bahwa merekalah sebenarnya orang-orang bodoh lagi tertipu, (hal ini dapat kita temukan, dijelaskan dalam surat al-baqarah ayat 9-13)
Adapun makna lain dari lafaz dana selain al-khudu’, ialah muhasabah, yakni mengintropeksi diri. Jadi orang-orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa mengintropeksi dirinya, dan melakukan perbaikan. Orang-orang seperti ini memiliki visi dan misi jauh ke depan, tidak hanya menyiapkan bekal untuk dunia, tapi juga untuk akhiratnya. Demikianlah Islam mengajarkan umatnya menjadi orang-orang yang sukses dunia akhirat. Memotivasi untuk optimis dan berbuat lebih baik dan yang terbaik, dengan menyandarkannya semua kepada Allah Swt.
Ada beberapa hal yang perlu ditinjau dalam melakukan muhasabah;
1. Aspek Ibadah ( الجَانِبُ التَّعَبُّدِي )
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini; ‘Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.’ (QS. 51 : 56).
Setiap musim harus berusaha untuk meningkatkan amal ibadahnya. Mulai dari niat, tatacara, pelaksanaan, penghayatan, dan pemberian dampaknya dalam kehidupan. Sudahkah kita ikhlas selama ini beribadah hanya kepada Allah semata, atau ada niat lain yang terkandung dalam hati, riya umpamanya? Sudahkah benar cara saya beribadah, apa demikian ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah yang dijelaskan oleh para fuqaha’? Mengapa saya tidak mencari tahu?
Sebatas mana kekhusyukan saya dalam menjalankannya? Tidakkah dalam hati saya terbesit kepentingan dunia dan terlupa akan akhirat? Dan apakah shalat, zakat, puasa, shadaqah dan lain-lain halnya mempunyai dampak dalam kehidupan saya, atau hanya sia-sia belaka? Apa yang perlu diperbaiki dari itu semua?
                 
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki ( الجانب العملي والتكسبي )
Allah Swt mewanti-wanti kita agar bekerja dan memperoleh penghasilan yang halal, bukan dengan cara yang bathil yang merugikan orang lain, sebagaimana firman-Nya:
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa/ 4 : 29)
Imam As-Suyuti ketika menjelaskan tentang memakan harta dengan cara batil, beliau menafsirkannya dengan ( بطريق غير مشروع مخالف حكم الله تعالى ) ‘dengan cara tidak sesuai dengan syariat dan bertentangan dengan hukum Allah SWT’. Artinya segala macam bentuk usaha, yang pekerjaannya, cara pelaksanaannya, tidak syar’i dan bertentangan dengan hukum Islam, maka itu adalah batil.
3. Aspek Kehidupan Sosial Keislaman ( الجانب الحياة الإجتماعية الإسلامية )
Dan aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa karena akhlaknya terhadap orang lain; ia mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, dan perbuatan buruk lainnya, sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya.
Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
Oleh karenanya, hendaknya aspek ini dievaluasi. Bagaiamana selama ini kita bersosialisasi dengan masyarakat, bergaul dengan tetangga, beraktivitas dengan teman kerja, berakhlak di tengah orang ramai, dan sebagainya. Jika terdapat aib atau cacat di sana, maka perbaikilah.
4. Aspek Da’wah ( الجانب الدعوي )
Seorang guru saya pernah berkata, “Tidak akan ada suatu perubahan atau perbaikan, jika tidak ada dakwah atau seruan kepadanya. Begitu pentingnya dakwah ini sehingga ia menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim, Rasulullah Saw sendiri bersabda, “balligh ‘anni walau ayah” (sampaikanlah dariku walau hanya sepotong ayat). Perintah ini diserukan untuk seluruh jama’ah kaum muslimin. Namun ada yang perlu diingat dan direnungi, untuk apa kita berdakwah. Apa tujuan kita berdakwah?
Kita berdakwah untuk Allah dan Rasul-Nya, menjunjung tinggi agama yang telah dipilihkannya kepada bani Adam, yaitu Islam sebagai rahmatal lil’alamin. Dakwah menyerukan kepada kebenaran Islam, La ilaha illallah, Muhammadarrasulullah, dengan berbagai pemahaman, namun hakikatnya selalu merujuk kepada Tauhid, mengesakan Allah Swt dan menghambakan diri pada-Nya. Jangan sampai dakwah kita kehilangan tujuan, dan terjebak dalam fanatisme kelompok atau mazhabiyah, sehingga terjadilah perpecahan internal kaum muslimin, antara sunni dan syi’i, antara fuqaha’ dan muhadditsin, antara organisasi Islam yang satu dengan yang lainnya. Padahal semua berlabel Islam, hawa nafsu dan syaitanlah membisikkan agar kita bertengkar sesama Islam.
Dalam penghujung ceramah singkat ini, ada sebuah ayat yang patut direnungi oleh umat Islam dewasa ini yang mudah terpancing oleh isu-isu iftiraqul ummah, perpecahan umat. Allah Swt. berfirman:

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran [3] : 103)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar