Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam
pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide
pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’
(truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem,
radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama
agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan
agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang
paling benar.
Di
Barat, pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang
paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern. Sejak
awal, postmodernisme ini menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang
luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan
dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
- Sebagai pandangan dunia yang
menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang
eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain
pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai
yang benar.
- Sebagai penerimaan atas konsep bahwa
dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang
eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek
bersama yang terdapat dalam agama-agama.
- Kadang-kadang juga digunakan sebagai
sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat
kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau
berbagai denominasi dalam satu agama.
- Dan sebagai sinonim untuk toleransi
agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara
berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.
·
Dalam The Golier Webster Int.
Dictionary Of The English Language diungkap bahwa pluralisme dipahami
dalam dua makna, pertama, adanya pengakuan terhadap kualitas majemuk
atau toleransi terhadap kemajemukan. Artinya, toleransi yang dimaksud adalah di
mana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip
masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Kedua, pluralisme
berupa doktrin, yakni: a). pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b)
dalam masalah kebenaran, tidak ada jalan untuk mengatakan hanya ada satu
kebenaran tunggal tentang suatu masalah, c) berisi ancaman bahwa tidak ada
pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya, d) teori yang
sejalan dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth),
e) dan terakhir, pandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau
semua pendapat adalah sama benarnya (no view is true, or that all view are
equally true). (Lihat juga dalam Oxford Advanced Lear ners’
Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary of Philosophy).
·
Dari sisi definisi saja dapat
diketahui bahwa pluralisme itu sendiri sudah mengandung pandangan relativitas
dalam kebenaran, atau setidaknya, curiga terhadap kebenaran. Pluralisme ini
tidak berpegang pada suatu dasar apa pun. Tidak boleh ada kebenaran tunggal.
Bahkan dalam satu pengertian, pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran
itu tidak ada.
Pluralisme Menurut Islam
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan
Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling
bertakwa di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat ini
menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa serta
identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak
mengakui kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ
دُونِ اللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ
وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Mereka
menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak
memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela (QS
al-Hajj:67-71).
Ayat ini
menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada
selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide
pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya dan
menyembah kepada Tuhan yang sama?
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ
اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya
agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).
Allah SWT
pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain Islam (QS Ali Imran [3]: 85);
menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani,
ataupun agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka
sebagai orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72).
Karena itu, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya bukan
menyerukan pluralisme agama apalagi dialog antaragama untuk mencari titik temu
dan kesamaan. Masalahnya, mana mungkin Islam yang mengajarkan tauhid (QS 5:
73-77; QS 19: 88-92; QS 112: 1-4) disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus
sebagai anak Tuhan ataupun disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair
juga sebagai anak Tuhan?! Apalagi Islam disamaratakan dengan agama-agama lain?
Benar, bahwa eksistensi agama-agama tersebut diakui, tetapi tidak berarti
dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya bebas beribadah,
makan, berpakaian, dan menikah dengan tatacara agama mereka. Tetapi, tidak
berarti diakui benar.
Karena itu,
yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru para
pemeluk agama lain untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan Islam. Meski
dengan catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan.
Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan
pada sejumlah faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya
keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling
benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk
agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan.
Menurut
kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya
kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena itu, menurut
mereka, diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah
eksklusif dan berpotensi memicu konflik.
Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk
melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia
dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan
yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk
menghalang kebangkitan Islam.
Faham ini sangat berbahaya khususnya bagi umat islam bahaya pertama
adalah penghapusan identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam, misalnya,
Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i
bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah
dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh
Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah publik yang
sekular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah Islam dalam
negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa mengancam
pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya sekularisme
(pemisahan agama dari kehidupan).
Bahaya lain pluralisme agama adalah munculnya agama-agama baru yang
diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah
Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan
Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa
contohnya. Lalu dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama
menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti
penodaan terhadap Islam.
Melihat ini, menarik menilik 'apa' yang disampaikan oleh Prof. Dr. M.
Amien Rais, tokoh senior Muhammadiyah. Beliau secara tegas mengkritik
tokoh-tokoh dan aktivis Muhammadiyah yang sudah meninggalkan wacana Tauhid
dengan bicara dan menyebarkan faham Pluralisme secara 'kebablasan (wawancara di
Majalah Tabligh, edisi Maret 2010).
Menyadari ini, para tokoh nasional hendaknya berhati-hati dalam
menggunakan istilah pluralisme. Apalagi mengajak orang lain untuk
menjalankannya. Di atas segalanya, mereka harus lebih mengedepankan isu ”iman”,
bukan lainnya. Dalam masalah pluralisme ini misalnya, jangan hanya karena
"dipaksakan", lalu istilah itu begitu saja dipakai. Sebab, setiap
istilah itu tidaklah 'tergeletak' begitu saja. Ia mengandung nilai-nilai,
konsep dan ideologi bangsa yang melahirkannya. Jika datang dari Barat misalnya,
maka ia mewakili nilai-nilai mereka (Barat). Demikian juga dengan istilah
pluralisme.
Kita meyakini, tanpa menggunakan istilah yang 'keren-kerenan',
bangsa kita bisa terus menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Sejak awal,
Islam mengakui dan menghargai perbedaan. Sampai-sampai, perbedaan dalam masalah
agama tidak boleh menghalangi seorang anak untuk berbuat baik kepada orang
tuanya. Namun, untuk masalah keimanan dan kemusyrikan, kita tidak mentolerir.
Maksudnya, kita menginginkan perdamaian dan kerukunan. Tetapi, tauhid
lebih penting. Faktanya, Islam mampu melakukan ini.Singkatnya, tidak dapat
disangkal bahwa, pluralisme itu adalah faham syirik. Tempointeraktif.com,
30/12/2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar