Etika dan ilmu. Dua hal tersebut
mempunyai relasi dalam kedirian masing-masing. Etika jelas memiliki pengaruh
dalam eksistensi apa yang disebut ilmu. Sebelum analisis lebih lanjut, perlu
sedikit dijelaskan apa sebenarnya etika itu. Etika merupakan cabang aksiologi
yang pada pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai “betul” (“right”) dan “salah” (“wrong”) dalam arti “susila” (“moral”) dan
“tidak susila” (“immoral”).[1] Menurut Robert C. Solomon dalam
Etika: Suatu Pengantar, etika adalah bagian filsafat yang meliputi hidup baik,
menjadi orang baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kata
“etika” menunjuk pada disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan
pembenarannya, serta nilai-nilai hidup kita yang sesungguhnya dan hukum-hukum
tingkah laku kita.
Etika bisa dibilang sesuatu yang
membatasi. Membatasi dalam hal ini memiliki tujuan agar tidak terjadi deviasi
nilai dalam sistem masyarakat. Sebenarnya pembenaran atau penyalahan tindakan
mempunyai sifat relatif. Karena etika memiliki nilai subyektivitas, mencakup
pandangan dan pemikiran individu yang terkadang dianggap ‘berbeda’ dengan kaum
mayoritas yang memiliki regulasi dan penataan yang telah dikukuhkan. Etika
adalah ilmu yang reflektif dan kritis. Norma-norma dan pandangan moral dengan
sendirinya sudah terdapat dalam masyarakat.[2] Hal ini yang akan
menciptakan bumping antara
yang sudah tertanam dan yang baru datang.
Pada hakikatnya, etika mengandung
sebuah pilihan.[3] Kebebasan untuk memilih apa yang
akan dilakukan, dijadikan dasar, atau hal-hal lain yang bersifat ‘harus
dipilih’. Di sinilah ilmu dan etika membuat problematika. Ilmu yang saat ini
semakin berkembang, terkadang mengabaikan nilai-nilai yang telah tertanam.
Namun bila dipikirkan secara lebih mendalam, ilmu yang dalam perkembangannya
dikekang oleh nilai-nilai, seakan tidak memiliki kebebasan untuk maju. Menurut
Aristoteles, jika sebelumnya sudah dipatok apakah bermanfaat atau tidak, ilmu
tidak akan berkembang.[4]
Ilmu adalah sesuatu yang ‘bebas nilai’.
Mengapa? Karena manusia. Manusia yang bersungguh-sungguh mengkaji dan berusaha
mengembangkan ilmu, akan menganggap nilai -bagian dari etika- sebagai salah
satu penghambat. Dalam Zubair (2002:72), upaya manusia untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi sekaligus sebagai simbol dari otonomi manusia itu
sendiri. Seringkali melampaui batas kebutuhan manusia itu sendiri, mengancam
martabat kemanusiaan, sekaligus dapat membuat manusia cenderung merasa tidak
lagi membutuhkan sistem normatif di luar keilmuan dalam menentukan
keputusan-keputusan tindakannya. Kita lihat dalam realita sosial. Di mana ilmu
dan etika berbenturan. Teknologi-teknologi new economy banyak bersinggungan
dengan masalah etika. Misalnya dengan kemajuan teknologi informasi berupa
jaringan internet yang menjadi bagian dari komunikasi massa , masalahprivacy/ pribadi menjadi lebih
gampang dilanggar yaitu dengan makin mudahnya penyadapan informasi, pencurian
data dan lain-lain. Demikian pula dengan perkembangan bioteknologi seperti
masalah pangan transgenik, kloning manusia dan sebagainya. Dalam hal ini
masalah dignity/martabat
kita sebagai manusia sering terkesampingkan.[5]
Dalam perkembangannya, ilmu diharapkan
memiliki tanggung jawab etis. Memang, kebebasan pengkajian ilmu membuka
kesempatan untuk menghasilkan inovasi-inovasi sebagai pembaharuan lebih lanjut.
Tetapi harus diingat, kita tidak hidup dalam homofili mutlak. Justru kita hidup
dalam keberagaman aspek kehidupan. Etnis, ras, agama dan kepercayaan yang tidak
dapat disatukan dalam satu paham yang semua bisa menerima.
Tanggung jawab etis sendiri bukan
berkehendak mencampuri atau bahkan ‘menghancurkan’ otonomi ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi bahkan dapat menjadi pengokoh eksistensi manusia.[6] Ilmu
juga akan memiliki eksistensi bila tidak melepaskan diri dari etika karena
masyarakat mau dan bisa menerima tanpa harus memperdebatkan hal yang
‘menyimpang’ atau dianggap ‘menyimpang’. Karena sekali lagi, mayoritas
mempunyai peran. Seseorang yang memiliki kajian dan pengembangan ilmu yang
baru, bisa dibilang harus mau ‘berkorban’ apabila hasil kerjanya dianggap tidak
sesuai etika sosial. Maka dari itu, ilmu sebaiknya memiliki tanggung jawab etis
agar bisa diterima.
[1] Louis O.
Kattsoff, 1986. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 349.
[2] Franz
Magnis-Suseno, 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta:Kanisius, hal. 96.
[3] Robert C.
Solomon, 1984. Etika:
Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, hal.4.
[4] Suwarto Adi.
2007. “Kehidupan Tiruan dan Etika Ilmu”. Terarsip di
<http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/05/opini/3969705.htm>
[5] Arief B.
Witarto. 2005. “Kebebasan dan Etika Ilmu Pengetahuan”. Terarsip di
<http://www.beritaiptek.com/zkolom-beritaiptek-2005-10-21%2001:01:59-Kebebasan-dan-Etika-Ilmu
Pengetahuan.shtml>
[6] Achmad C.
Zubair, 2002. Dimensi Etik dan Asketik
Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta : LembagaStudi Filsafat Islam, hal. 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar