1. Definisi Aksiologi
Aksiologi
merupakan cabang filsafat ilmu yang
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya[1]. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari
kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang
berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri
mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh.[2] Menurut
John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau
suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri
adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Aksiologi adalah ilmu
yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi
merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari
pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau
kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan
di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai
ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak
bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan
dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan
ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan
kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
1.
2. Penilaian Dalam Aksiologi
Dalam aksiologi, ada
dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang
filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral.
Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika
merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi
pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ
dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya.
Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno
diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral
ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan
adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan
suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang
kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik
tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan
sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem
filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi.
Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral
dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar
tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah
memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah
ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi,
adala h pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut
Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik.
Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan
manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika
merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan.
Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat
unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan
hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan
semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai
kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan
sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun
pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita
merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah
tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung
mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan
sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal
sebenarnya tetap merupakan perasaan.
1.
Kegunaan Aksiologi Terhadap
Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak
dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh
Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah
kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang
kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa
mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri
merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu
memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan
tergantung pada pemilik dalam menggunakannya. .
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa
filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai
tiga hal, yaitu:
1.
Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan
mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide
yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau
sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori
filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari
teori-teori filsafat ilmu.
1.
Filsafat
sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi
yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan
dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk
petunjuk dalam menjalani kehidupan.
1.
Filsafat
sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita
menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari
pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani
lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai
dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan
amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara
tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah
yang berkembang dalam kehidupan manusia.[3]
1.
Kaitan
Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat
objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak
ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran
tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek
berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan
objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai
kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan
antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada
objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan
mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang
ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan
eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada
proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya be rhasil dengan baik.
Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai
subjektif[4].
·
Azra Azyumardi, Integrasi
Keilmuan, (Jakarta: PPJM dan UIN Jakarta Press)
·
Bidin Masri Elmasyar, MA, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Hukum,
(Jakarta: UIN Jakarta Press)
·
Salam Burhanuddin, Logika
Materil, Filsapat Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet. Ke-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar