Siapa di antara kita kaum muslimin yang belum mengenal Shuhaib
ar-Rumy, atau yang belum mendengar berita-berita tentang dia, atau yang belum
membaca riwayat hidupnya? Agaknya kita semua sudah tahu. Hanya banyak yang belum
mengetahui bahwa Shuhaib sesungguhnya bukan orang Rum. Dia adalah orang Arab
asli. Ayahnya dari Bani Numair, dan ibunya dari Bani Tamim.
Gelar Ar-Rumy itu mempunyai kisah tersendiri yang senantiasa
dihafalkan oleh para ahli sejarah dan diceritakan oleh para pengarang. Dua
periode sebelum kebangkitan Nabi saw., Ubullah (Bashrah) diperintah oleh seorang
raja bernama Sinan bin Malik an-Numairy, yaitu sebelum negeri itu diperintah
oleh Kisra, Raja Persia. Sinan bin Malik an-Numairy mempunyai seorang putra yang
sangat dikasihinya, berusia lebih kurang lima tahun, namanya Shuhaib. Shuhaib
berwajah tampan, berambut merah memperlihatkan kesegaran, mempunyai sepasang
mata yang memancarkan kecerdasan dan kepintaran. Di samping itu, dia periang,
menjadi penawar hati yang menimbulkan kegembiraan serta menghilangkan segala
rasa duka di hati sang Ayah.
Pada suatu ketika ibu Shuhaib pergi berlibur bersama putranya
yang masih kecil itu, diiringi oleh segenap inang pengasuh, khadam-khadam, dan
para pengawal istana. Dia pergi ke desa Tsaniya dalam wilayah Irak. Tiba-tiba
pasukan patroli tentara Rum menyerang desa tersebut. Mereka menewaskan para
pengawal, merampas harta kekayaan di negeri itu dan menawan sejumlah wanita dan
anak-anak. Dalam tawanan tersebut termasuklah Shuhaib. Shuhaib kemudian
diperjualbelikan oleh tentara yang menawannya di pasar budak dalam wilayah Rum.
Sejak itu Shuhaib berpindah-pindah tangan dari satu majikan ke majikan yang
lain, berkhidmat dari satu tuan kepada tuan yang lain. Keadaanya sama dengan
ribuan budak-budak yang memenuhi istana-istana negeri Rum ketika itu.
Dengan status budak seperti itu, Shuhaib dapat menjangkau
masyarakat Rum sedalam-dalamnya sampai kepada yang paling tersembunyi, dan
mengetahuinya dari dalam. Dia melihat dengan nyata kehidupan istana yang kotor
dan palsu, serta mendengar dengan jelas setiap kezaliman yang berlaku dan
perbuatan-perbuatan dosa yang terjadi. Dia membenci dan memandang rendah
masyarakat seperti itu. Dia berkata dalam hati, "Masyarakat seperti ini tidak
akan dapat diperbaiki melainkan dengan angin topan."
Sungguh sayang, Shuhaib dibesarkan di negeri Rum yang seperti
itu. Sungguh sayang, dia telah lupa berbahasa Arab. Namun, suatu hal yang tidak
pernah hilang dari pikirannya, dia bangsa Arab. Dia putra padang pasir sahara.
Keinginannya untuk bebas dari perbudakan dan bertemu kembali dengan putra-putra
sebangsanya tidak pernah sedetik pun hilang dari hatinya. Bahkan, kerinduannya
kepada negeri Arab tambah melonjak ketika dia mendengar seorang pemuda Nasrani
berkata kepada majikannya, "Sesungguhnya telah dekat masanya akan muncul di
Mekah, dalam Jazirah Arab, seorang nabi yang mengakui kerasulan Isa bin Maryam,
dia mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada cahaya terang."
Suatu ketika Shuhaib mendapat kesempatan yang baik untuk lari
dari perbudakan. Dia menuju ke Mekah, ibu negeri dan pusat pemerintahan Arab,
serta tempat nabi yang ditunggu-tunggu akan dibangkitkan. Setibanya di Mekah,
orang banyak memanggil namanya Shuhaib ar-Rumy karena lidahnya yang berat
berbahasa Arab dan rambutnya yang merah. Di Mekah Shuhaib mengadakan kontrak
kerja dengan Abdullah bin Jud'an, seorang pedagang Mekah, untuk membawa barang
dagangannya ke pasar-pasar tertentu. Shuhaib memperoleh penghasilan yang cukup
dari pekerjaan tersebut. Meskipun sibuk bekerja, Shuahaib tidak pernah melupakan
berita gembira yang disampaikan pendeta Nasrani kepada majikannya (orang Rum,
ketika dia menjadi budak). Setiap kali ucapan pendeta itu terlintas dalam
pikirannya, dia mengeluh dalam hati, "Kapan nabi itu akan muncul?" Tidak lama
sesudah itu, pertanyaannya terjawab sudah.
Suatu hari ketika Shuhaib tiba di Mekah dari perjalanan niaga,
dia mendengar berita disampaikan orang kepadanya, "Muhammad bin Abdullah telah
diutus. Dia memanggil umat supaya beriman kepada Allah satu-satu-Nya dan
mengajak berlaku adil serta berbuat ihsan. Dia melarang mereka melakukan yang
keji dan mungkar.
Tanya Shuhaib, "Apakah dia orang yang digelari 'Al-Amin' itu?"
Jawab, "Ya, betul!"
Tanya Shuahaib, "Di mana rumahnya?"
Jawab, "Di rumah Al-Arqam bin Abi Arqam dekat Bukit Shafa. Tetapi, hati-hati kalau engkau pergi ke sana, jangan sampai terlihat orang Quraisy seorang jua pun. Bila ada yang melihatmu pergi ke sana, engkau tentu disiksa mereka. Apalagi engkau orang asing di sini, tanpa famili yang akan melindungi dan menolongmu."
Tanya Shuhaib, "Apakah dia orang yang digelari 'Al-Amin' itu?"
Jawab, "Ya, betul!"
Tanya Shuahaib, "Di mana rumahnya?"
Jawab, "Di rumah Al-Arqam bin Abi Arqam dekat Bukit Shafa. Tetapi, hati-hati kalau engkau pergi ke sana, jangan sampai terlihat orang Quraisy seorang jua pun. Bila ada yang melihatmu pergi ke sana, engkau tentu disiksa mereka. Apalagi engkau orang asing di sini, tanpa famili yang akan melindungi dan menolongmu."
Shuhaib pergi ke rumah Al-Arqam dengan hati-hati dan
sembunyi-sembunyi. Sampai di sana didapatinya Ammar bin Yasir berada dekat
pintu. Shuhaib telah mengenal Ammar sebelumnya. Shuhaib ragu-ragu sejenak,
kemudian didekatinya Ammar seraya bertanya, "Anda hendak ke mana, hai
Ammar?"
Ammar balik bertanya, "Dan Anda sendiri mau ke mana?"
Jawab Shuhaib, "Saya hendak masuk ke rumah orang ini mendengarkan bicaranya."
Kata Ammar, "Saya juga!"
Kata Shuhaib, "Dengan berkat Allah, marilah kita masuk bersama-sama!"
Ammar balik bertanya, "Dan Anda sendiri mau ke mana?"
Jawab Shuhaib, "Saya hendak masuk ke rumah orang ini mendengarkan bicaranya."
Kata Ammar, "Saya juga!"
Kata Shuhaib, "Dengan berkat Allah, marilah kita masuk bersama-sama!"
Shuhaib bin Sinan ar-Rumy dan Ammar bin Yasir masuk ke majelis
Rasulullah saw. mendengarkan sabda-sabda beliau. Maka, cemerlanglah cahaya iman
dalam dada keduanya. Mereka berlomba mengulurkan tangan kepada Rasulullah saw.
untuk mengucapkan dua kalimah syahadat di hadapan beliau. Hari itu keduanya
menghabiskan waktunya di samping Rasulullah karena dahaga akan petunjuknya dan
merasa nikmat berada di samping beliau. Setelah hari telah malam, keadaan sudah
tenang dan sunyi, barulah keduanya keluar dari majelis Rasulullah, berjalan
dalam gelap malam. Namun, dada mereka bercahaya, cukup untuk menyinari dunia dan
segenap isinya.
Seperti apa yang telah diperingatkan orang, Shuhaib menanggung
pula penganiyaan yang ditimpakan kaum Quraisy kepadanya. Sama halnya seperti
yang ditanggung Bilal, Ammar, Sumayah, Khabab, dan lain-lain dari kelompok
orang-orang mukmin yang sepuluh. Seandainya siksaan yang ditimpakan kaum Quraisy
kepadanya ditimpakan kepada sebuah bukit, mungkin bukit itu akan runtuh di
buatnya. Namun, semua itu ditanggungnya dengan tenang dan sabar. Karena, dia
tahu bahwa jalan ke surga dipagari dengan hal-hal yang tidak menyenangkan.
Tatkala Rasulullah mengizinkan para sahabat hijrah ke Madinah,
Shuhaib telah bertekad hendak pergi seiring dengan Rasulullah dan sahabatnya,
Abu Bakar. Maka, Shuhaib dihalangi dan senantiasa diamat-amati sehingga tidak
mungkin baginya melepaskan diri dari tangan mereka. Shuhaib telah menyiapkan
kekayaannya berupa emas dan perak untuk dibawanya hijrah, yaitu dari hasil jerih
payahnya selama bekerja. Sesudah Rasulullah dan sahabatnya hijrah ke Madinah,
Shuahaib senantiasa mencari kesempatan untuk menyusul mereka. Tetapi dia belum
beruntung karena mata para penjaganya selalu awas mengamat-amati gerak-geriknya.
Tidak ada jalan lain baginya kecuali membuat tipu daya.
Pada suatu malam yang dingin Shuhaib sering pergi ke jamban
seolah-olah dia sakit perut hendak buang hajat. Setiap dia pergi ke jamban, dia
pulang kembali tanpa mencurigakan. Para pengintip yang senantiasa mengintip
gerak-gerik Shuhaib berkata sesama mereka, "Tenangkan hati kalian. Lata dan Uzza
akan menjaganya." Kemudian mereka pergi ke pembaringan dan tertidur
pulas.
Saat seperti itu dimanfaatkan Shuhaib untuk secara diam-diam meninggalkan Mekah menuju ke Madinah. Belum begitu jauh Shuhaib berjalan, para penjaganya sadar apa yang telah terjadi. Mereka bangun dari tidurnya ketakutan. Lalu, dipacunya kuda dengan cepat untuk melacak dan engejar kepergian Shuhaib. Ketika Shuhaib merasa ada yang mengejarnya, dia naik ke tempat yang tinggi. Diambil panah dan dipasangnya pada busur. Shuhaib berteriak kepada para pengejarnya, "Hai, kaum Quraisy! kalian tahu saya ini adalah pemanah yang paling jitu. Demi Allah, kalian tidak akan dapat mendekati saya sehingga setiap anak panahku habis menewaskan kalian satu persatu. Kemudian saya akan mempergunakan pedang saya satu-satunya untuk membunuh kalian."
Jawab mereka. "Demi Allah, kami tidak akan membiarkan kamu dengan uangmu yang banyak itu lepas dari tangan kami. Kamu datang ke Mekah dalam keadaan fakir dan miskin. Kini kamu sudah kaya dan lebih dari cukup.
Kata Shuhaib, "Bagaimana kalau hartaku ini aku tinggalkan untuk kalian. Bersediakah kalian melapangkan jalan bagiku?"
Jawab mereka, "Ya, kami bersedia!"
Saat seperti itu dimanfaatkan Shuhaib untuk secara diam-diam meninggalkan Mekah menuju ke Madinah. Belum begitu jauh Shuhaib berjalan, para penjaganya sadar apa yang telah terjadi. Mereka bangun dari tidurnya ketakutan. Lalu, dipacunya kuda dengan cepat untuk melacak dan engejar kepergian Shuhaib. Ketika Shuhaib merasa ada yang mengejarnya, dia naik ke tempat yang tinggi. Diambil panah dan dipasangnya pada busur. Shuhaib berteriak kepada para pengejarnya, "Hai, kaum Quraisy! kalian tahu saya ini adalah pemanah yang paling jitu. Demi Allah, kalian tidak akan dapat mendekati saya sehingga setiap anak panahku habis menewaskan kalian satu persatu. Kemudian saya akan mempergunakan pedang saya satu-satunya untuk membunuh kalian."
Jawab mereka. "Demi Allah, kami tidak akan membiarkan kamu dengan uangmu yang banyak itu lepas dari tangan kami. Kamu datang ke Mekah dalam keadaan fakir dan miskin. Kini kamu sudah kaya dan lebih dari cukup.
Kata Shuhaib, "Bagaimana kalau hartaku ini aku tinggalkan untuk kalian. Bersediakah kalian melapangkan jalan bagiku?"
Jawab mereka, "Ya, kami bersedia!"
Shuhaib kemudian melemparkan kantong uangnya ke hadapan mereka,
lalu mereka ambil dan membiarkan Shuhaib pergi ke Madinah. Shuhaib pergi ke
Madinah untuk menyelamatkan agamanya, tanpa menyesal dan sedih atas harta yang
dikorbankannya, demi untuk memetik kemuliaan dan kebahagiaan hidup. Bila dia
merasa lelah dan letih dalam perjalanan, kerinduan kepada Rasulullah selalu
membangkitkan semangatnya sehingga dia kembali segar dan meneruskan perjalanan
dengan langkah-langkah tegap. Sampai di Quba Rasulullah melihat Shuhaib datang.
Beliau girang dan tersenyum kepada Shuhaib seraya berkata, "Perniagaan Anda
beruntung, hai Abu Yahya!" Rasulullah mengucapkan kata-kata itu tiga kali. Wajah
Shuhaib tampak cerah mendengar ucapan beliau.
Kata Shuhaib, "Demi Allah, setahuku tidak ada orang yang mendahuluiku menemui Anda. Tentu Jibril yang memberitahukan kepada Anda perihal perniagaan itu." Memang benar. Perniagaan Shuhaib sungguh berlaba. Hal itu dibenarkan oleh wahyu dari langit dan disaksikan oleh Jibril. Firman Allah Ta'ala, "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya." (Al-Baqarah: 207
Kata Shuhaib, "Demi Allah, setahuku tidak ada orang yang mendahuluiku menemui Anda. Tentu Jibril yang memberitahukan kepada Anda perihal perniagaan itu." Memang benar. Perniagaan Shuhaib sungguh berlaba. Hal itu dibenarkan oleh wahyu dari langit dan disaksikan oleh Jibril. Firman Allah Ta'ala, "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya." (Al-Baqarah: 207
Tidak ada komentar:
Posting Komentar