Banyak kalangan ilmuwan, baik para kritikus
maupun apologetis, dengan berbagai argumentasi berusaha menjelaskan mengapa
revolusi sains tidak terjadi di dunia Muslim? Bukan maksud saya untuk
mengangkat kembali argumentasi mereka, tapi suatu penelitian diperlukan untuk
membuat kritik atas argumentasi para kritikus yang menuduh bahwa tabiat Islam
sebagai suata agama adalah yang bertanggung jawab atas kegagalan ini. Pervez
Amrali Hoodbhoy kiranya adalah orang yang paling memperolok-olok dengan
kritikannya yang cenderung kepada tuduhan yang tak terbantahkan. Dalam
usahanya mengumpulkan argumentasi atas kegagalan revolusi sains terjadi di
dunia Muslim, dia menyinggung filsafat Islam sebagai berikut:
Masyarakat yang berorientasi pada doktrin
Jatalisme, atau seseorang yang terlalu diintervensi oleh Tuhan dan yang
merupakan bagian dan matrik sebab akibat (kausalitas), terpaksa menghasilkan
individu-individu yang kurang berhasrat menyelidiki hal-hal yang tidak
diketahui dengan piranti sains.
Kemudian Amrali selalu menyindir bahwa tabiat
hukum Islam te!ah mengobarkan permusuhan selama berabadabad terhadap
elemen-elemen kapitalis yang dia anggap sebagai prasyarat perkembangan sains.
Penjelasan semacam ini, yang sama sekali tidak berdasar dan merupakan distorsi
fakta Sejarah dan pandangan keliru terhadap Muslim dan filsafat Islam.
Di
sisi lain, para apologetis menganggap Al-Ghazzali sebagai orang yang berperan
dalam menggagalkan revolusi sains dalam dunia Muslim. Mereka berargumen bahwa
karya al-Ghazzali tentang teologi Ash’ari dan Tasawuf memberikan pukulan telak
terhadap pertumbuhan tradisi sains orang Muslim. Pendapat ini
bertolak-belakang dengan fakta bahwa bagaimana pun al-Ghazzali sendiri adalah
ilmuwan sains yang mempunyai sejumlah karya yang dengan tepat digambarkan oleh
Hossein Nasr sebagai berikut
“Risalah termasyur al-Ghazzali pada abad
5H/IIM yang mengkritik filosuf rasionalistik pada zamannya, menandai kemenangan
akhir pemikiran intelek terhadap rasio-logika yang independen - sebuah
kemenangan yang tidak menghancurkan filsafat rasionalistik sama sekali -
menjadikannya berhubungan dengan pengetahuan rohani/batin. Dengan hasil
kekalahan dan penaklukan yang dilakukan oleh al-Ghazali dan tokoh-tokoh
penganut silogis dan sistematis filsafat Aristoteles di abad 5 H/i I M, tradisi
ilmu rohani Islam bisa bertahan hidup hingga saat ini dan tidak tercekik
seperti lainnya dalam atmosfir yang terlalu rasionalistik.”
Jikalau kritik dan apologi ditolak, maka
dimanakah keberadaan argumen .yang tepat untuk menjelaskan keadaan yang
menyedihkan atas fenomena sains dalam dunia Muslim khususnya setelah abad 1 3
M? Mengilas balik faktor eksternal dan internal mungkin dapat menunjukkan
jawaban pertanyaan ini.
Secara eksternal, dua invasi yang berdampak
permusuhan telah dilakukan terhadap dunia Muslim. Kedua invasi ini adalah
invasi bangsa Mongolia
dan kaum Salib. l3angsa Mongolia
dikenal sangat biadab, penghasut perang yang primitif yang banyak menggarong kota dan menghancurkan
berbagai peradaban yang telah lama kokoh, mulai dan Cina sampai Eropa Timur.
Gerombolan yang biadab ini kemudian menyerang Timur Tengah dan menguasainya
selama setengah abad (1218-1268 M). Selama penode ml mereka tidak hanya
meneror masyarakat tapi juga terlibat aktif dalam menghancurkan
struktur-struktur penting yang merupakan hasil sains yang agung. David Nicolle
menggambarkan kerusakan ini sebagai berikut:
“Budaya perusakan bangsa Mongolia sangat besar dan mencakup perusakan kota dan sekolahan,
pembantalan guru dan ilmuwan serta melenyapkan para iimuwan. Para ahli menduga
bahwa bangkitnya peradaban Eropa Barat dan kondisi budaya dan teknologinya
yang terbelakang, berganti menjadi bangsa adi daya, antaranya disebabkan oleh
perusakan yang menimpa dunia Muslim yang dilakukan bangsa Mongolia . Kemudian dilanjutkan penj arahan
pasukan Salib Konstantinopel Byzantium pada tahun 1204 M”.
Ujian selanjutnya dan invasi Mongolia sungguh merupakan tabiat perusakan
yang lebih parah dan pada perusakan kota .
Mereka adalah bangsa yang berlatarbelakang pengembara. Dimana pun mereka
berpindah, mereka membawa kuda dan keledai yang tidak diberi makan dengan makanan
ternak, tapi digembalakan di padang
rumput. Akibatnya bangsa Mongolia
tidak bisa jauh dan daerah pinggiran, ketika mereka menaklukkan kota manapun. Maka dari
itu mereka tidak segan melenyapkan penduduk yang sudah terbiasa dengan pertanian
dimana kota
tempat kerja sains bergantung.
Konsekwensi nyata dan fenomena semacam ini
adalah kehidupan masyarakat yang tertimpa invasi menjadi kehilangan harmoni dan
tidak menentu arahnya. Nicolle menggambarkan invasi Mongolia terhadap daerah-daerah
Muslim Sebagai berikut:
“Setelah menaklukkan Baghdad ,
Hulegu membawa pasukannya kembali ke Azerbeijan, suatu kawasan jauh utarabarat
yang sekarang masuk wilayah Iran .
Di daerah tersebut terdapat padang rum-put yang
sangat luas yang disediakan untuk makanan kuda-kuda bangsa Mongolia , sementara kota
Maragha dan Tabriz disiapkan sebagai kota administra si.
Istana Hulegu selalu berpindah-pin dah dan seluruh area dijadikan sebagai
base-camp yang sangat besar bagi tentara predatornya. Begitulah fungsi Azerbeijan
dan Hamadan
sepanjang sejarah.”
Jadi, invasi Mongolia yang
penuh dengan teror telah melepaskan ikatan masyarakat Muslim dengan segala bentuknya
untuk memper~lambat semua formalitas peradaban termasuk perkembangan sains.
Tidak hanya pusat-pusat studi yang dirusak dan ilmuwannya yang dibunuh atau
dibuat panik, tapi juga semua tempat yang nyaman untuk penciptaan sains
diganggu dengan hebatnya.
Efek yang sama juga
dirasakan oleh dunia Muslim dengan invasi kaum Salib. ini adalah kelompok lain
dan penghasut perang yang dilancarkan oleh Paus di awal abad 13 M yang kononnya
bermaksud membebaskan Jemssalem dan tangan Muslim. Berkali-kali perang Salib
didengungkan selama 2 abad (1095-1290 M). Seperti halnya bangsa Mongolia , kaum
Salib juga menjarah kota-kota Muslim, membunuh dan meneror penduduknya kemudian
mengganggu ketenangan tempat-tempat yang kondusif bagi perkembangan sains.
Sedangkan dan sisi internal, yang paling
rasional atas kemandegan sains di dunia Muslim adalah kegagalan pemimpin
memanfaatkan dan mengkoordinasikan disiplin ilmu sains. Semenjak awal, filosof
dan ilmuwan sains Muslim sangat independen tanpa bantuan yang memadai dan
khalifah atau Sultan. Konstruksi khalifah Mamun di Bayt alHik,nah sekitar
tahun 200 H/815 M, di mana terdapat perpustakaan dan observatorium adalah
permulaan yang baik tapi tidak diteruskan oleh khalifah berikutnya. Di samping
itu Bayt al-Hikmah lebih merupakan pusat riset dan pada institusi pengajaran.
Walaupun banyak pusat-pusat kajian yang dijumpai di dunia Muslim, seperti: Ddr
at- ‘Jim di Kairo (395 HI 1005 M), Nizhãm al-Mulk di Baghdad (459 H/1067 M) dan Madrasah Granada
(750 H/1349 M), tapi semua institusi ini tidak memperhatikan masalah filsafat
natural dan ilmu pasti secara murni. Hal ini berakibat pada kegagalan melembagakan
filsafat natural dan sains. Filosuf natural dan ilmuwan sains Muslim !ebih
nampak sebagai mndividu-individu terpisah dan pada sebagai satu badan yang
terorganisir. Mereka mempelajari filsafat secara privat dan walaupun sudah
bertugas di istana khalifah, mereka jarang didukung dengan kebijakari
pemerintah untuk mengajar filsafat natural dan sains di Madãris. Ilmuwan
lainnya yang tidak mempunyai akses dengan istana, mereka bebas mengajar di
halaqah-halaqah mereka sendiri dimana para murid datang sendiri dan mendapat
untuk belajar sampai tamat dengan mendapatkan ijazah yang menjadi lisensi
mereka untuk mengajarkan ajaran-ajaran gurunya. Sistem pendidikan ini
mempunyai masalah dan keterbatasannya sendiri. Guru terbatas dengan idenya sendiri
sementara para murid hanya mempunyai akses kepada ide gurunya saja. Kondisi
diskusi yang kondusif sesama teman sekolah atau memanfaatkan calon-calon
ilmuwan hampir tidak tercipta di sini. Kondisi seperti ini hanya dapat
tercipta jika jika sebuah institusi akademi dan universitas didirikan. Dengan
akademi, murid akan terekspos pada bidang disiplin ilmu yang bermacam-macam
dan oleh guru yang berlainan, dengan cara sistematis yang memakai prosedur
dan standar tertentu yang hams dilalui oleh para murid sampai tamat masa
belajarnya. Dalam kerangka seperti inilah sains dapat diinstitusionalisasikan
dalam rangka memenuhi penelitian sains yang terkoordinasi sehingga berkembang
menjadi revolusi sains.
Jadi menurut saya, kegagalan revolusi sains
dalam dunia Muslim secara in ternal lebih disebabkan oleh metode atau
organisasi daripada aspek teologi. Hal ini bukanlah tabiat Islam yang menyebabkan
kegagalan Muslim dalam revolusi sains itu, tapi karena masalah organisasi yang
bersamaan dengan faktor eksternal yang sudah dibicarakan di atas. Siapa tahu,
jika bangsa Mongolia
dan kaum Salib tidak menghancurkan lahan-lahan kaum Muslim, maka mereka pasti
akan dapat merealisasikan kebutuhannya dalam meletakkan institusi yang
terorganisir untuk mempromosikan pendidikan sains dalam skala yang lebih
komprehensif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar