Uwaimir bin Malik al-Khazraji yang lebih dikenal dengan nama Abu Darda bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Setelah itu, dia menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yang paling istimewa di dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar, sesudah itu patung tersebut diberinya pakaian baru dari sutera yang megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya.
Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu Darda masuk ke rumah
dan bersiap hendak pergi ke tokonya. Tiba-tiba jalan di Yastrib menjadi ramai,
penuh sesak dengan para pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari peperangan
Badar. Di muka sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang
Quraisy. Abu Darda mendekati keramaian dan bertemu dengan seorang pemuda suku
Khazraj. Abu Darda menanyakan kepadanya keberdaan Abdullah bin Rawahah. Pemuda
Khazraj tersebut menjawab dengan hati-hati pertanyaan Abu Darda, karena dia tahu
bagaimana hubungan Abu Darda dengan Abdullah bin Rawahah. Mereka tadinya adalah
dua orang teman akrab di masa jahily. Setelah Islam datang, Abdullah bin Rawahah
segera masuk Islam, sedangkan Abu Darda tetap dalam kemusyrikan. Tetapi, hal itu
tidak menyebabkan hubungan persahabatan keduanya menjadi putus. Karena, Abdullah
berjanji akan mengunjungi Abu Darda sewaktu-waktu untuk mengajak dan menariknya
ke dalam Islam. Dia kasihan kepada Abu Darda, karena umurnya dihapiskan dalam
kemusyrikan.
Abu Darda tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila di atas
kursi, sibuk jual beli dan mengatur para pelayan. Sementara itu, Abdullah bin
Rawahah datang ke rumah Abu Darda. Sampai di sana dia melihat Ummu Darda di
halaman rumahnya.
"Assalamu'alaiki, ya amatallah," (Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah) kata Abdullah memberi salam.
"Wa'alaikassalam, ya akha Abi Darda'"(Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda), jawab Ummu Darda.
"Ke mana Abu Darda?" tanya Abdullah.
"Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang," jawab Ummu Darda.
"Bolehkah saya masuk?" tanya Abdullah.
"Dengan segala senang hati, silakan!" jawab Ummu Darda.
"Assalamu'alaiki, ya amatallah," (Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah) kata Abdullah memberi salam.
"Wa'alaikassalam, ya akha Abi Darda'"(Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda), jawab Ummu Darda.
"Ke mana Abu Darda?" tanya Abdullah.
"Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang," jawab Ummu Darda.
"Bolehkah saya masuk?" tanya Abdullah.
"Dengan segala senang hati, silakan!" jawab Ummu Darda.
Ummu Darda melapangkan jalan bagi Abdullah, kemudian dia masuk
ke dalam dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Abdullah
bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda meletakkan patung sembahannya.
Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu, lalu
dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya, "Ketahuilah, setiap yang disembah
selain Allah adalah batil!" Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia
pergi meninggalkan rumah.
Ummu Darda masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah
terperanjatnya dia, ketika dilihatnya petung telah hancur berkeping-keping dan
berserakan di lantai. Ummu Darda meratap menampar-nampar kedua pipinya seraya
berkata, "Engkau celakan saya, hai Ibnu Rawahah." Tidak berapa lama kemudian Abu
Darda pulang dari toko. Ia mendapati istrinya sedang duduk dekat pintu kamar
patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut kelihatan jelas di
wajahnya.
"Mengapa engkau menangis?" tanya Abu Darda.
"Teman Anda, Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri," jawab Ummu Darda.
"Mengapa engkau menangis?" tanya Abu Darda.
"Teman Anda, Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri," jawab Ummu Darda.
Abu Darda menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah
berkeping-keping, maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari
Abdullah. Tetapi, setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali
apa yang sudah terjadi. Kemudian katanya, "Seandainya patung itu benar Tuhan,
tentu dia sanggup membela dirinya sendiri." Maka, ditinggalkannya patung yang
menyesatkan itu, lalu dia pergi mencari Abdullah bin Rawahah. Bersama-sama
dengan Abdullah, dia pergi kepada Rasulullah saw. dan menyatakan masuk agama
Allah di hadapan beliau. Sejak detik pertama Abu Darda iman dengan Allah dan
Rasul-Nya, dia iman dengan sebenar-benar iman. Dia sangat menyesal agak
terlambat masuk Islam. Sementara itu, kawan-kawannya yang telah lebih dahulu
masuk Islam telah memperoleh pengertian yang mendalam tentang agama Allah ini,
hafal Alquran, senantiasa beribadat, dan takwa yang selalu mereka tanamkan dalam
dirinya di sisi Allah. Karena itu, dia bertekad hendak mengejar ketinggalannya
dengan sungguh-sunggu sekalipun dia berpayah-payah siang dan malam, hingga
tersusul orang-orang yang telah berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada
ibadat dan memutuskan hubungannya dengan dunia; mencurahkan perhatian kepada
ilmu seperti orang kehausan; mempelajari Alquran dengan tekun dan menghafal
ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya
perdagangannya terganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri
majlis-majlis ilmu, maka ditinggalkannya perusahaanya tanpa ragu-ragu dan tanpa
menyesal.
Berkenaan dengan sikapnya yang tegas itu, orang pernah bertanya
kepadanya. Maka, dijawabnya, "Sebelum masa Rasulullah, saya menjadi seorang
pedagang. Maka, setelah masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk
beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji
penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput salat berjamaah, kemudian saya
berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar." Kemudian, saya menengok kepada
si penanya dan berkata, "Saya tidak mengatakan, Allah Ta'ala mengharamkan
berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli
tidak menganggu saya untuk dzikrullah (berzikir)."
Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya
sekadar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya
sudah cukup sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian
kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang di antaranya berkata, "Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda. Kata yang lain, "Tidak perlu!" Tetapi, orang yang seorang itu menolak saran orang yang tidak setuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda, "Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda Anda?"
Jawab Abu Darda, "Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa. Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, "Pahamkah Anda?"
Jawab orang itu, "Ya, saya mengerti."
Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang di antaranya berkata, "Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda. Kata yang lain, "Tidak perlu!" Tetapi, orang yang seorang itu menolak saran orang yang tidak setuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda, "Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda Anda?"
Jawab Abu Darda, "Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa. Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, "Pahamkah Anda?"
Jawab orang itu, "Ya, saya mengerti."
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar
mengangkat Abu Darda menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak
pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda,
"Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan
Alquran dan sunah Rasulullah kepada mereka serta menegakkan salat bersama-sama
dengan mereka." Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda tersebut. Lalu, Abu
Darda berangkat ke Damsyiq. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk
kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya.
Maka, dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka.
Katanya, "Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku
seagama; tetangga senegeri; dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai
penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyenangi
saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasihatku berguna
untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat
ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja
bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah
Taala, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian
mengumpulkan harta kekayaan banyak-banyak, tetapi tidak kalian pergunakan untuk
kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah, tetapi tidak kalian tempati
atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai oleh kalian.
Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan
bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebntar, harta yang mereka tumpuk
habis kikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-bangunan mewah
yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan.
Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa 'Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum 'Ad itu dengan harga dua dirham?"
Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa 'Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum 'Ad itu dengan harga dua dirham?"
Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis,
sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda
senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke
pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya, dijawabnya; jika dia bertemu
dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia melihat orang terlalai,
diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai dengan situasi dan
kondisi serta kemampuan yang ada padanya.
Pada suatu ketika dia melihat sekelompok orang mengeroyok
seorang laki-laki. Laki-laki itu babak belur dipukuli dan dicaci-maki mereka.
Abu Darda datang menghampiri, lalu bertanya, "Apa yang telah terjadi?
Jawab mereka, "Orang ini jatuh ke dalam dosa besar."
Kata Abu Darda, "Seandainya dia jatuh ke dalam sumur, tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?"
Jawab mereka, "Tentu!"
Kata Abu Darda, "Karena itu, janganlah kalian caci maki dia, dan jangan pula kalian pukuli. Tetapi, berilah dia pengajaran dan sadarkan dia. Bersyukurlah kalian kepada Allah yang senantiasa memaafkan kalian dari dosanya."
Tanya mereka, "Apakah Anda tidak membencinya?"
Jawab Abu Darda, "Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, dia adalah saudara saya." Orang itu menangis dan tobat dari kesalahannya.
Jawab mereka, "Orang ini jatuh ke dalam dosa besar."
Kata Abu Darda, "Seandainya dia jatuh ke dalam sumur, tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?"
Jawab mereka, "Tentu!"
Kata Abu Darda, "Karena itu, janganlah kalian caci maki dia, dan jangan pula kalian pukuli. Tetapi, berilah dia pengajaran dan sadarkan dia. Bersyukurlah kalian kepada Allah yang senantiasa memaafkan kalian dari dosanya."
Tanya mereka, "Apakah Anda tidak membencinya?"
Jawab Abu Darda, "Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, dia adalah saudara saya." Orang itu menangis dan tobat dari kesalahannya.
Kali yang lain seorang pemuda mendatangi Abu Darda dan berkata
kepadanya, "Wahai sahabat Rasulullah! Ajarilah saya!"
Jawab Abu Darda, "Hai anakku! Ingatlah kepada Allah di waktu kamu bahagia. Maka Allah akan mengingatmu di waktu kamu sengsara.
Hai anakku! Jadilah kamu pengajar atau menjadi pelajar atau menjadi pendengar. Dan, janganlah sekali-kali menjadi yang keempat (yaitu orang bodoh), karena yang keempat pasti celaka. Hai anakku! Jadikanlah masjid menjadi tempat tinggalmu, karena aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Setiap masjid adalah tempat tinggal orang yang bertakwa. Allah SWT menjanjikan bagi orang yang menjadikan masjid sebagai tempat tinggalnya, kesenangan, kelapangan rahmat, dan lewat di jalan yang diridai Allah Taala."
Jawab Abu Darda, "Hai anakku! Ingatlah kepada Allah di waktu kamu bahagia. Maka Allah akan mengingatmu di waktu kamu sengsara.
Hai anakku! Jadilah kamu pengajar atau menjadi pelajar atau menjadi pendengar. Dan, janganlah sekali-kali menjadi yang keempat (yaitu orang bodoh), karena yang keempat pasti celaka. Hai anakku! Jadikanlah masjid menjadi tempat tinggalmu, karena aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Setiap masjid adalah tempat tinggal orang yang bertakwa. Allah SWT menjanjikan bagi orang yang menjadikan masjid sebagai tempat tinggalnya, kesenangan, kelapangan rahmat, dan lewat di jalan yang diridai Allah Taala."
Abu Darda pernah pula melihat sekelompok pemuda duduk-duduk di
pinggir jalan. Mereka ngobrol sambil melihat orang-orang yang lalu lintas. Abu
Darda mengahmpiri mereka dan berkata kepadanya, "Hai anak-anakku! Tempat yang
paling baik bagi orang muslim adalah rumahnya. Di sana dia dapat memelihara diri
dan pandangannya. Jauhilah duduk-duduk di pinggir jalan dan di pasar-pasar,
karena hal itu menghabiskan waktu dengan percuma.
Ketika Abu Darda tinggal di Damsyiq, Gubernur Muawiyah bin Abu
Sufyan melamar anak gadis Abu Darda, yaitu Darda, untuk putranya, Yazid. Abu
Darda menolak lamaran Muawiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak
gadisnya, Darda, dengan Yazid (putra Gubernur). Bahkan, Darda dikawinkannya
dengan pemuda muslim, anak orang kebanyakan. Abu Darda menyukai agama dan akhlak
pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda, dan berbisik-bisik sesama
mereka, "Anak gadis Abu Darda dilamar oleh Yazid bin Muawiyah, tetapi lamarannya
ditolak. Kemudian Abu Darda mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim
anak orang kebanyakan."
Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda,"Mengapa Anda
bertindak seperti itu."
Jawab Abu Darda, "Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda."
Tanya, "Mengapa?"
Jawab Abu Darda, "Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda ketika itu?"
Jawab Abu Darda, "Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda."
Tanya, "Mengapa?"
Jawab Abu Darda, "Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda ketika itu?"
Pada suatu waktu ketika Abu Darda berada di negeri Syam, Amirul
Mukminin Umar bin Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi sahabat itu di
rumahnya malam hari. Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu Darda, ternyata
pintu itu tidak dikunci dan rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu Darda mendengar
suara Khalifah, Abu Darda berdiri mengucapkan selamat datang dan menyilakan
Khalifah Umar untuk duduk. Keduanya segera terlibat dalam
pembicaraan-pembicaraan penting, padahal kegelapan menyelubungi keduanya,
sehingga masing-masing tidak melihat kawannya berbicara. Khalifah Umar
meraba-raba bantal alas duduk Abu Darda, kiranya sebuah pelana kuda. Dirabanya
pula kasur tempat tidur Abu Darda, kiranya berisi pasir belaka. Dirabanya pula
selimut, kiranya pakaian-pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim
dingin.
Kata Khalifah Umar, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukan Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan Anda?"
Jawab Abu Darda, "Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadis yang disampaikan Rasulullah kepada kita?"
Tanya Umar, "Hadis apa gerangan?"
Jawab Abu Darda, "Bukankah Rasulullah telah bersabda, "Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya dan seadanya)."
Jawab Khalifah Umar, "Ya, saya ingat!" Kata Abu Darda, "Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?"
Khalifah Umar menangis, Abu Darda pun menangis pula. Akhirnya, mereka berdua bertangis-tangisan sampai waktu subuh.
Kata Khalifah Umar, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukan Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan Anda?"
Jawab Abu Darda, "Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadis yang disampaikan Rasulullah kepada kita?"
Tanya Umar, "Hadis apa gerangan?"
Jawab Abu Darda, "Bukankah Rasulullah telah bersabda, "Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya dan seadanya)."
Jawab Khalifah Umar, "Ya, saya ingat!" Kata Abu Darda, "Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?"
Khalifah Umar menangis, Abu Darda pun menangis pula. Akhirnya, mereka berdua bertangis-tangisan sampai waktu subuh.
Abu Darda menjadi guru selama tinggal di Damsyiq. Dia memberi
pengajaran kepada penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan kitab (Alquran)
dan hikmah kepada mereka sampai dia meninggal.
Tatkala Abu Darda hampir meninggal, para sahabatnya datang
berkunjung.
Mereka bertanya, "Sakit apa yang Anda rasakan?"
Jawab Abu Darda, "Dosa-dosaku!"
Tanya, "Apa yang Anda inginkan?"
Jawab, "Ampunan Tuhanku."
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, "Ulangkanlah kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah."
Abu Darda senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir. Setelah Abu Darda pergi menemui Tuhannya, Auf bin Malik al-Asyja'iy bermimpi. Dia melihat dalam mimpinya sebuah padang rumput yang luas menghijau. Maka, mengambanglah bau harum semerbak dan muncul suatu bayangan berupa sebuah kubah besar dari kulit. Sekitar kubah berbaring hewan ternak yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Dia bertanya, "Milik siapa ini?"
Jawab, "Milik Abdur Rahman bin Auf."
Abdur Rahman muncul dari dalam kubah. Dia berkata kepada Auf bin Malik, "Hai, Ibnu Malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Alquran. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu."
Tanya Auf bin Malik, "Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?
Jawab, "Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan mudah dan lapang dada."
Mereka bertanya, "Sakit apa yang Anda rasakan?"
Jawab Abu Darda, "Dosa-dosaku!"
Tanya, "Apa yang Anda inginkan?"
Jawab, "Ampunan Tuhanku."
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, "Ulangkanlah kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah."
Abu Darda senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir. Setelah Abu Darda pergi menemui Tuhannya, Auf bin Malik al-Asyja'iy bermimpi. Dia melihat dalam mimpinya sebuah padang rumput yang luas menghijau. Maka, mengambanglah bau harum semerbak dan muncul suatu bayangan berupa sebuah kubah besar dari kulit. Sekitar kubah berbaring hewan ternak yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Dia bertanya, "Milik siapa ini?"
Jawab, "Milik Abdur Rahman bin Auf."
Abdur Rahman muncul dari dalam kubah. Dia berkata kepada Auf bin Malik, "Hai, Ibnu Malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Alquran. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu."
Tanya Auf bin Malik, "Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?
Jawab, "Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan mudah dan lapang dada."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar