Jabr adalah doktrin yang menafikan secara hakiki timbulnya
perbuatan dari hamba (manusia), dan sebaliknya justru menganggapnya berasal dari
Allah.
Al-Jabriyyah terbagi beberapa kelompok:
- Al-Jabriyyah murni yang meyakini bahwa manusia tidak memiliki perbuatan dan
kemampuan untuk berbuat sama sekali.
- Al-Jabriyyah menengah (moderat), yaitu mereka yang menetapkan bahwa manusia memiliki kekuatan untuk berbuat namun tidak punya pengaruh sama sekali.
Adapun orang yang tidak berpendapat adanya pengaruh pada
kekuatan yang diciptakan pada manusia dalam suatu perbuatan dan menamakannya
kasb, orang itu bukanlah penganut Jabriyyah. Sedangkan kaum Mu'tazilah menamakan
Jafriyyah orang yang tidak memandang adanya pengaruh pada kekuatan yang
diciptakan dalam berbuat dan bertindak secara mandiri. Dengan begitu, seharusnya
mereka juga menjuluki pengikut mereka yang berpendapat bahwa efek-efek sekunder
adalah perbuatan yang tidak ada pelakunya, sebagai Jabriyyah juga. Karena,
mereka tidak memandang adanya pengaruh pada kekuatan yang diciptakan dalam
perbuatan-perbuatan itu.
Para penulis dalam beberapa tulisan menggolongkan kelompok
an-Najjariyyah dan adh-Dhirariyyah ke dalam golongan al-Jabriyyah. Dan kami
telah mendengar pengakuan mereka atas pengikut mereka dari an-Najjariyyah dan
adh-Dhirariyyah, maka kami masukkan mereka ke golongan al-Jabriyyah. Dan kami
tidak mendengar pengakuan mereka atas kelompok selain itu, maka mereka kami
golongkan ke dalam golongan ash-Shifatiyyah.
Sub-Aliran al-Jabriyyah
Al-Jahmiyyah
Mereka adalah pengikut Jahm bin Shafwan seorang penganut
Jabriyyah murni. Bid'ahnya muncul di kota Turmudz. Ia dibunuh oleh Muslim bin
Ahwaz al-Mazini -seorang gubernur Bani Umayyah- di Marw pada akhir kekuasaan
Bani Umayyah. Ia mengikuti Mu'tazilah dalam menafikan sifat-sifat Allah yang
azali, dan ia menambahkan beberapa hal selain pendapat Mu'tazilah itu, di
antaranya:
- Menurut Jahm, Allah Ta'ala tidak boleh disifati dengan suatu sifat yang juga
disifatkan pada makhluk-Nya. Karena hal itu menyebabkan adanya tasybiih
(penyerupaan). Karena itu Jahm menafikan bahwa Allah itu bersifat hidup dan
mengetahui, dan menetapkan bahwa Allah itu Maha Kuasa, Maha Berbuat, dan Maha
Pencipta, karena tidak seorang pun dari makhluk-Nya disifati dengan qudrah, fi'l
(berbuat) dan mencipta.
- Ia juga menetapkan adanya ilmu baru bagi Allah Ta'ala, yang tidak memiliki
tempat tertentu. Ia berkata, Allah tidak mengetahui sesuatu sebelum Dia
menciptakannya, karena jika Ia sudah mengetahui kemudian baru menciptakan,
berarti, apakah ilmu-Nya tetap seperti sebelumnya atau tidak? Jika tetap, itu
berarti suatu kebodohan, karena mengetahui sesuatu yang sudah ada berbeda dengan
mengetahui sesuatu yang akan ada. Namun jika tidak tetap, berarti ilmu-Nya telah
berubah, dan sesuatu yang berubah adalah makhluk, tidak bersifat qadiim. Dalam
hal ini Jahm mengikuti Hisyam bin al-Hakam sebagaimana yang telah diketahui. Ia
berkata bahwa jika telah tetap ilmu-Nya adalah makhluk, maka ia tidak lepas dari
dua kemungkinan: jika ilmu itu diciptakan dalam dzat Allah Ta'ala , dan hal itu
menandakan adanya perubahan dalam dzat-Nya dan bahwa dzat-Nya menjadi tempat
bagi sesuatu yang diciptakan, atau jika ilmu-Nya berada di suatu tempat, berarti
tempat itu yang disifati dengan ilmu itu, bukan Allah Ta'ala. Dengan demikian
jelaslah bahwa ilmu itu tidak memiliki tempat. Lalu ia menetapkan bahwa ilmu-Nya
adalah suatu yang diciptakan sesuatu dengan jumlah makhluk yang ada.
- Pendapatnya tentang kekuatan yang diciptakan. Bahwa manusia tidak kuasa
melakukan apa pun dan ia tidak disifati dengan kemampuan, tetapi sebenarnya
manusia itu perbuatannya ditentukan (oleh Allah) secara mutlak. Ia tidak punya
kekuatan, keinginan dan juga pilihan. Sebenarnya Allah Ta'ala menciptakan
perbuatan-perbuatan itu pada diri manusia sebagaimana yang Ia ciptakan pada
benda-benda lain. Adapun penisbatan perbuatan itu kepadanya secara majazi (tidak
hakiki), sebagaimana dinisbatkan pada benda-benda mati, misalnya: dikatakan
pohon itu berbuah, air mengalir, batu itu bergerak, matahari terbit dan
terbenam, langit berawan dan menurunkan hujan dan lain-lainnya. Pahala dan
hukuman juga hal yang jabr sebagaimana perbuatan seluruhnya. Jika jabr telah
ditetapkan maka sebenarnya taklif adalah jabr juga.
- Pendapatnya bahwa aktifitas penghuni surga dan neraka akan berhenti dan
berakhir. Surga dan nerakan akan lenyap setelah penghuni surga merasakan
kenikmatannya dan penghuni neraka merasakan siksaannya. Karena tidak dapat
dibayangkan adanya gerakan yang tidak ada habisnya sebagaimana tidak dapat juga
dibayangkan adanya gerakan yang tak berpemulaan. Dia menginterpretasikan firman
Allah Ta'ala: "...Khaalidiina fiihaa...." (mereka kekal di dalamnya)
bahwa hal itu hanya menunjukkan betapa lamanya hal itu dan sebagai penegasan,
bukan kekal sebenarnya. Sama seperti kita mengatakan: "Semoga Allah mengekalkan
kerajaan si fulan". Ia melandaskan pendapatnya tentang terputusnya gerakan
dengan firman Allah Ta'ala, yang artinya: ".. mereka kekal di dalamnya selama
adanya langit dan bumi, kecuali jika Allah menghendaki lain...." (Huud:
108). Ayat ini menurutnya mengandung syarat dan pengecualiaan, sedangkan
kekekalan dan keabadian itu tidak bersyarat dan tidak dikecualikan.
- Pendapatnya bahwa orang mengenal Allah kemudian mengingkari-Nya dengan lisannya tidaklah kafir, karena ilmu dan pengetahuan itu tidaklah lenyap oleh keingkaran, ia tetap mu'min. Dan dia berkata bahwa iman itu tidak terbagi-bagi pada keyakinan, ucapan dan perbuatan. Dia juga berkata bahwa orang-orang beriman tidak ada perbedaan tingkatnya. Bagi dia iman para nabi sama dengan iman umat-umatnya, karena pengetahuan tidak berbeda-beda tingkatan.
Para salaf semuanya adalah yang paling keras membantah
pendapatnya ini, dan menisbatkan dia kepada kelompok ta'thiil murni (yang
meniadakan sifat-sifat Allah). Jahm juga sama dengan Mu'tazilah dalam menafikkan
ru'yah (orang mu'min akan melihat Allah di hari kiamat), juga dalam menetapkan
bahwa Alquran itu adalah makhluk, serta kewajiban mengetahui dengan akal sebelum
turunnya wahyu.
Sumber: Diterjemahkan dari kitab al-Milal wa an-Nihal,
Muhammad bin Abdul Karim asy-Syahrastani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar