Suatu hari hakim Yahya bin Aktsam mengadakan pengajian. Ia
mengundang banyak orang terpelajar di wilayahnya, termasuk seorang penyair
bernama Al-Athawi. Dan ikut datang juga Ishak Al-Mushili, seorang yang terkenal
sombong.
Ia pun mulai unjuk kehebatannya dalam berbagai disiplin ilmu
dengan gaya bicaranya yang berapi-api. Ia merasa seolah-olah yang paling hebat
di antara semua yang hadir.
"Bagaimana, Hakim? Ada koreksi atau sanggahan atas apa yang
telah aku sampaikan tadi?" tanya Ishak dengan sombong.
"Tidak," jawab hakim Yahya bin Aktsam selaku tuan rumah.
"Aku tahu banyak pakar dalam berbagai ilmu. Tetapi keahlianku adalah di bidang seni menyanyi," katanya.
"Tidak," jawab hakim Yahya bin Aktsam selaku tuan rumah.
"Aku tahu banyak pakar dalam berbagai ilmu. Tetapi keahlianku adalah di bidang seni menyanyi," katanya.
"Maaf, apakah dalam bidang ilmu nahwu engkau sehebat Al-Farra'
atau Al-Akhfash?" tanya penyair Al-Athawi yang sejak tadi terus memperhatikan
kesombongan Ishak Al-Mushili.
"Oh, tidak," jawabnya dengan gugup.
"Oh, tidak," jawabnya dengan gugup.
"Apakah dalam bidang ilmu bahasa engkau seunggul Al-Ashmu' atau
Abu Ubaidah?" "Tidak."
"Bagaimana dengan ilmu kalam (tauhid) apakah engkau menyamai
Abu Hudzail Al-Allaf dan Al-Nazham?" "Tidak."
"Barangkali dalam bidang fiqih engkau sehebat Yahya bin Aktsam
pemilik rumah ini?" "Tidak."
"Bidang sastra, mungkin engkau sehebat Abu Nawas atau Abul
Al-Atahiyah?" "Juga tidak."
"Kalau begitu engkau hanya pamer kepintaran. Dalam bidang seni
menyanyi, mungkin engkau tidak ada bandingannya di antara kami semua ini. Tetapi
dalam bidang lain, engkau bukan apa-apa!" kata Al-Athawi dengan puas, karena
berhasil memberi pelajaran orang yang terkenal sombong.
Sumber: Wafyat Al-A'yan , Ibnu Khalkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar