Apakah perang salib (491--692 H/1097--1292 M) itu? Ada yang
menjawab bahwa gerakan itu tidak lepas dari rangkaian pertentangan antara Barat
dan Timur, seperti antara Persia dan Romawi, kemudian lenyap dan meletus lagi
dengan dahsyat dalam bentuk pertentangan agama antara Islam (Timur) dan Kristen
(Barat).
Ada juga yang memberikan jawaban bahwa gerakan itu tidak lepas
dari rangkaian perpindahan penduduk Eropa setelah kejatuhan imperiun Barat pada
abad ke-5. Sebagian lagi menyodorkan jawaban bahwa gerakan itu merupakan
kebangkitan kembali agama di Eropa Barat yang dimulai sejak abad ke-10 dan
mencapai puncaknya pada abad ke-11. Pada abad-abad sebelumnya "jemaah haji"
Kristen ke Bait al-Maqdis dari Eropa Barat bisa dihitung dengan jari. Namun,
pada abad ke-11 datang ratusan jemaah yang dipimpin oleh uskup dan bangsawan
dalam bentuk demonstrasi keagamaan secara damai menuju tempat-tempat suci di
Syam.
Perang Salib yang dikumandangkan mulai tahun 1095 merupakan
wujud 'gerakan haji' secara masal ke Bait al-Maqdis yang sebelumnya dilakukan
secara damai, kini dilakukan melalui peperangan dan permusuhan. Alasannya,
karena di Eropa Barat tersebut tersebar berita-mungkin dilebih-lebihkan, mungkin
pula semacam hasutan dengan menggunakan sentimen agama-bahwa jemaah haji itu
sering mendapat gangguan dari kaum muslimin, terutama setelah dinasti Salajiqah
menguasai Bait al-Maqdis pada tahun 1071, kemudian menguasai Antioch tahun 1085
dan mengusir orang-orang Bizantium dari sana. Inilah yang meyakinkan orang Barat
akan perlunya menggunakan kekerasan dalam rangka pengamanan jemaah haji dari
Eropa Barat ke Syam.
Dr. Said Abd Fatah 'Asyur, dalam bukunya yang diterjemahkan
oleh Syed Ahmad Semait, Perang Salib, menyimpulkan sebagai berikut.
"Perang salib adalah gerakan besar-besaran pada abad pertengahan, yang
bersumber dari Kristen Eropa Barat, berbentuk serangan penjajahan atas
negara-negara kaum muslimin, khususnya di Timur Dekat dengan maksud
menguasainya. Gerakan ini bersumber dari kondisi pikiran, sosial, ekonomi, dan
agama yang menguasai Eropa Barat pada abad ke-11. Tindakan itu diambil setelah
ada permintaan bantuan dari orang-orang Kristen Timur dalam melawan kaum
muslimin dengan memakai tirai agama untuk menyatakan keinginan dirinya agar
terbukti dalam bentuk tindakan secar meluas."
Kondisi masarakat Eropa Barat menjadi penyebab terjadinya
perang salib itu. Motifnya pun sangat kompleks. Baik agama, sosial, politik,
maupun ekonomi semuanya berjalin-kelindan. Faktor agama memang diaktifkan untuk
membangkitkan semangat yang menyeluruh dan kesediaan berkorban. Namun, agama
bukanlah satu-satunya faktor pembangkit perang salib.
Faktor-Faktor Pendorong Perang Salib
Sebab-sebab terjadinya Perang Salib secara umum di antaranya
adalah sebagai berikut. (1) Adanya desakan dinasti Salajiqah terhadap posisi dan
kedudukan kekuasaan Bizantyium di Syam dan Asia Kecil. Bahkan, Bizantium merasa
lebih terancam setelah Salajiqah memenangkan pertempuran yang sangat menentukan
di Muzikert pada tahun 1071. Karena itu, tidak heran kalau Emperor meminta
bantuan dari Eropa Barat, termasuk dari Paus yang kekuasaannya cukup besar.
(2) Faktor agama. Faktor ini cukup dominan dalam mengobarkan
Perang Salib meskipun persoalannya sebenarnya cukup kompleks. Agama Kristen
berkembang pesat di Eropa Barat terutama setelah Paus mengadakan pembaruan.
Sementara itu, Kristen mendapat saingan agama-agama lain, terutama Islam yang
berjaya mengambil alih kekuasaan Bizantium di Timur yang juga menganut agama
Kristen seperti Siria, Asia Kecil, dan Spanyol. Spanyol adalah benteng Eropa
bagian barat dan Konstantinofel adalah benteng Eropa sebelah timur. Kedua pintu
gerbang ini telah digempur kaum muslimin sejak dinasti Bani Umayyah, dilanjutkan
oleh dinasti 'Abbasiah, kemudian dinasti Saljuq. Oleh karena itu, tidak heran
kalau Eropa merasa gentar menghadapi perkembangan kekuasaaan Islam yang
dianggapnya sebagai pesaing.
Sementara itu, pada abad ke-11 kedudukan Paus mulai diangap
penting. Ia menjadi pemimpin semua aliran Kristen, baik di Barat maupun di
Timur. Ia berambisi untuk menyatukan semua gereja. Pada waktu itu gereja
terpecah menjadi dua: gereja Barat dan gereja Timur, itu terjadi setelah
Konferensi Rum pada tahun 869 M dan Konferensi Konstantinofel pada tahun 879 M.
Mereka berbeda paham tentang roh Kudus.
Paus berusaha menundukan gereja ortodok Timur, tetapi
pertentangan antara gereja Barat dengan kekaisaran Bizantium menghambat niat
Paus ini. Datanglah peluang emas bagi Paus untuk melaksanakan niatnya itu ketika
ada permintaan bantuan dari Bizantium untuk menghadapi tekanan Salajiqah.
Peluang emas ini dimanfaatkan juga agar Paus muncul sebagai pemimpin tunggal
untuk semua rakyat masehi dalam berjuang melawan kaum muslimin, dan sekaligus
bercita-cita menyatukan gereja Timur dan gereja Barat di bawah pimpinan Paus
Butros. Semuanya dilakukan dengan memakai kedok agama untuk memerangi kaum
muslimin, menyelamatkan Bizantium, dan mengembalikan tanah-tanah suci di
Palestina.
Pada tahun 1009 gereja Al-Qiyamah dihancurkan oleh Al-Hakim
sehingga "jemaah haji" Kristen mengalami gangguan ketika melewati Asia Kecil.
Sentimen agama ini terlalu dibesar-besarkan di Eropa Barat. Seorang paderi,
Patriarch Ermite, menjelang perang Salib berkeliling Eropa. Dengan berpakaian
compang-camping, kaki telanjang dan mengendarai keledai, ia berpidato sambil
menceritakan penghinaan pemerintah Saljuq terhadap kesucian Nabi Isa. Dengan
cara ini, ia berhasil mengumpulkan ribuan orang untuk menyerbu Bait al-Maqdis
demi kesucian agama mereka. Karena semata-mata didorong oleh sentimen agama,
tanpa organisasi dan perencanaan yang matang, tentara mereka yang sebagian
rakyat biasa akhirmnya kandas di perjalanan. Begitulah sebagaimana diutarakan
Dr. Shalaby dengan mengutif karya Wells, A Short History of the Midle
East.
(3) Faktor ekonomi. Faktor ini juga turut berperan dalam
mendorong terjadiny Perang Salib. Ketika Eropa Barat-terutama
Prancis-melancarkan propaganda perang Salib, negaranya sedang sedang menghadapi
krisis ekonomi. Karena itu, sejumlah besar golongan faqir dan kaum kriminal
menyambut seruan ini, bukan karena panggilan agama, tetapi karena panggilan
perut. Buktinya, mereka merampok serta merampas makanan dan harta benda sesama
orang Kristen dalam perjalanan menuju Konstantinopel ketika menyerbu Bait
al-Maqdis. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan ajaran agama mereka.
Selain itu, saat itu timbul "tiga besar" (Venice, Genoa, dan
Pisa) yang ditopang oleh pemerintahan Italia, yang memberikan bantuan terutama
berupa armada laut. Pemerintah Italia bermaksud hendak menguasai dan menduduki
pelabuhan-pelabuhan timur dan selatan Mediterania, seperti pelabuhan-pelabuhan
di Syam, supaya perdagangan Timur dan Barat dapat mereka kuasai.
Kepentingan ekonomi ini nampak ketika tentara Salib mengarahkan
serangannya ke Mesir.
(4) Faktor sosial-politik juga memainkan peranan
yang dominan dalam konflik Perang Salib ini. Hal itu dapat dilihat dari gejala
berikut.
Pertama, masyarakat Eropa pada abad pertengahan terbagi
atas tiga kelompok: (1) kelompok agamawan yang terdiri dari orang-orang gereja
dan orang-orang biasa; (2) kelompok ahli perang yang terdiri dari para bangsawan
dan penunggang kuda (knights); dan (3) kelompok petani dan hamba sahaya.
Dua kelompok pertama merupakan kelompok minoritas yang secara keseluruhan
merupakan institusi yang berkuasa dipandang dari segi sosial-politik yang
aristokratis, sedangkan kelompok ketiga merupakan mayoritas yang dikuasai oleh
kelompok pertama dan kedua, yang harus bekerja keras terutama untuk memenuhi
kebtuhan kedua kelompok tersebut. Karena itu, kelompok ketiga ini secara spontan
menyambut baik propaganda perang Salib. Bagi mereka, kalaupun harus mati, lebih
baik mati suci daripada mati kelaparan dan hina, mati sebagai hamba. Kalau
bernasib baik, selamat sampai ke Bait al-Maqdis, mereka mempunyai harapan baru:
hidup yang lebih baik daripada di negeri sendiri.
Kedua, sistem masyarakat feodal, selain mengakibatkan
timbulnya golongan tertindas, juga menimbulkan konflik sosial yang merujuk
kepada kepentingan status sosial dan ekonomi, misalnya sebagai berikut. (1)
Sebagian bangsawan Eropa bercita-cita, dalam kesempatan perang Salib ini,
mendapat tanah baru di Timur. Hal ini menarik mereka karena tanah-tanah di Timur
subur, udaranya tidak dingin, dan harapan mereka bahwa tanah itu aman di banding
dengan di Eropa yang sering terlibat peperangan satu sama lain. Dalam proses
perang Salib nanti akan nampak bahwa dorongan ini merupakan faktor terlemah
tentara Salib karena timbul persaingan bahkan konflik.
(2) Undang-undang masyarakat feodal mengenai warisan
menyebabkan sebagian generasi muda menjadi miskin karena hak waris hanya
dimiliki anak sulung. Dengan mengembara ke Timur, melalui perang Salib,
anak-anak muda ini berharap akan memiliki tanah dan memperoleh kekayaan.
(3) Permusuhan yang tak kunjung padam antara pembesar-pembesar
feodal telah melahirkan pahlawan yang kerjanya hanya berperang. Kepahlawanan
dalam berperang adalah kesukaan mereka. Ketika propaganda perang Salib
dilancarkan, mereka bangkit hendak menunjukan kepahlawanannya. Kepahlawanan
mereka selama ini disalurkan melalui olahraga sehingga mereka kurang memperoleh
kepuasan.
(4) Besarnya kekuasaan Paus pada abad pertengahan, yang nampak
dari ketidakberdayaan raja untuk menolak permintaan Paus. Kalau raja menolak, ia
dikucilkan oleh gereja yang mengakibatkan turunnya wibawa raja di mata rakyat.
Hal ini terbukti ketika raja Frederik II terpaksa turut berperang dengan membawa
tentara yang sedikit, dan membelok ke Syam ketika ia seharusnya memberikan
bantuan ke Mesir (Dimyat). Ia tidak bersemangat untuk berperang. Ia menghubungi
Sultan al-Malik al-Kamil untuk menerangkan posisinya bahwa ia tidak membawa misi
suci (dorongan gereja). Karena itu, ia memintanya untuk menjaga rahasianya
(menipu Paus) agar tidak diketahui orang Jerman.
Nanti akan kita lihat bahwa Frederik II menempuh perdamaian
dengan Al-Kamil, suatu perdamaian yang oleh Paus dianggap tidak memuaskan.
Demikianlah uraian tentang beberapa sebab dan motif terjadinya
Perang Salib yang oleh K. Hitti disebutkan sebagai "Complexity on causation
and motivation".
Para ahli sejarah meyakini bahwa sentimen agama pertama kali
dikobarkan oleh Paus Urban II melalui khotbahnya tanggal 26-11-1095, di Council
of Clermont. Council ini dihadiri oleh orang-orang gereja dan raja-raja Eropa.
Seruan Paus yang terkenal dan cukup efektif antara lain: "Enter upon the road
to the holy spulcrhe, wrest it from the wicked race and subject it".
(Nurhakim Zaki)
Bersambung?!
Sumber: Gerakan Kembali ke Islam; Warisan Terakhir A. Latief
Mukhtar, K.H. Abdul Latief Mukhtar, M.A.