Hujaatul Islam Imam Al Ghazali pernah berpesan, semua manusia itu merugi,
kecuali mereka yang berilmu, dan semua orang yang berilmu merugi kecuali mereka
yang beramal, dan semua orang yang beramal merugi kecuali mereka yang ikhlas.
Tujuan utama agama Islam adalah agar manusia beribadah
kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَآ أُمِرُوْآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ
لَهُ الدِّيْنَ
Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar beribadah
kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya (QS. Al Bayyinah: 5).
Definisi Ikhlas
Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan sesuatu dan
membersihkannya dari campuran. Secara istilah, ada beberapa definisi, di
antaranya adalah:
Ikhlas adalah penyucian niat dari seluruh noda dalam mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Noda di sini misalnya mencari perhatian makhluk dan pujian mereka.
Ikhlas adalah pengesaan Allah Ta’ala dalam niat dan
ketaatan.
Ikhlas adalah melupakan perhatian makhluk dan selalu mencari
llah Ta’ala. antaranya adalah: ya dari campuran. perhatian al-Khaliq.
Ikhlas adalah seorang berniat mendekatkan diri kepada Allah
dalam ibadahnya.
Ikhlas adalah samanya perbuatan seorang hamba antara yang
nampak dan yang tersembunyi.
Intinya, Ikhlas adalah seseorang beribadah dengan niat
mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap
siksa-Nya dan ingin mencari ridha-Nya.
Dzun Nun al-Mishriy rahimahullah berkata, “Tiga tanda
keikhlasan adalah: (1) Seimbangnya pujian dan celaan orang-orang terhadapnya,
(2) Lupa melihat amal dalam beramal, (3) Dan mengharapkan pahala amalnya di
akhirat.”
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah asas keberhasilan dan keberuntungan di dunia
dan akhirat. Ikhlas bagi amal ibarat pondasi bagi sebuah bangunan dan ibarat
ruh bagi sebuah jasad, di mana sebuah bangunan tidak akan dapat berdiri kokoh
tanpa pondasi, demikian juga jasad tidak akan dapat hidup tanpa ruh. Oleh
karena itu, amal shalih yang kosong dari keikhlasan akan menjadikannya mati,
tidak bernilai serta tidak membuahkan apa-apa, atau dengan kata lain
“wujuuduhaa ka’adamihaa” (keberadaannya sama seperti ketidakadaannya).
Ikhlas juga merupakan syarat diterimanya amal di samping
sesuai dengan sunah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam hadis Qudsi:
“Aku sangat tidak butuh sekutu, siapa saja yang beramal menye-kutukan sesuatu dengan-Ku, maka Aku
akan meninggalkan dia dan syirknya.” (HR. Muslim).
Tempat Ikhlas
Ikhlas tempatnya di hati. Saat hati seseorang menjadi baik
dengan ikhlas, maka anggota badan yang lain ikut menjadi baik. Sebaliknya, jika
hatinya rusak, misalnya oleh riya’, sum’ah, hubbusy syuhrah (agar dikenal),
mengharapkan dunia dalam amalnya, ‘ujub (bangga diri) dsb. maka akan rusaklah
seluruh jasadnya. Rasulullah Sahallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Apabila hati menjadi baik, maka akan baik pula seluruh
jasadnya, dan apabila hati menjadi rusak, maka akan rusak seluruh jasadnya.”
(HR. Bukhari-Muslim).
Seseorang dituntut untuk berniat ikhlas dalam seluruh amal
shalihnya, baik shalatnya, zakatnya, puasanya, jihadnya, amar ma’ruf dan nahi
munkarnya, serta amal shalih lainnya, termasuk belajarnya. Ibnu Mas’ud
radhiallahu ‘anhu berkata, “Janganlah kalian belajar agama karena tiga hal;
agar dapat mengalahkan orang-orang tidak tahu, agar dapat mendebat para fuqaha’
dan agar perhatian orang-orang beralih kepada kalian. Niatkanlah dalam
kata-kata dan perbuatan kalian untuk memperoleh apa yang ada di sisi Allah,
karena hal itu akan kekal, adapun selainnya akan hilang.”
Buah Ikhlas
Buah ikhlas sungguh banyak, seorang yang ikhlas dalam
mengucapkan laa ilaaha illallah, maka Allah akan mengharamkan neraka baginya.
Seorang yang mengikuti ucapan muadzin dengan ikhlas, maka Allah akan
memasukkannya ke surga. Seorang yang menuntut ilmu agama dengan ikhlas, maka
Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Seorang yang ikhlas menjalankan
puasa, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Bahkan
perbuatan mubah akan menjadi berpahala dengan keikhlasan. Rasulullah
Sahallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّكَ
لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِيَ بِهَا وَجْهُ اللهِ
إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حََتَّى مَا تَجْعَلُ
فِي فِي امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya kamu tidaklah menafkahkah satu nafkah pun
karena mengharapkan keridhaan Allah, kecuali kamu akan diberikan pahala
terhadapnya sampai dalam suapan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu.”
(HR. Bukhari-Muslim).
Perhatikanlah kisah tiga orang yang bermalam di sebuah gua,
lalu jatuh sebuah batu besar menutupi
gua tersebut, sehingga mereka tidak bisa keluar. Masing-masing mereka berdoa
kepada Allah dengan menyebutkan amal shalih yang mereka kerjakan dengan ikhlas,
akhirnya Allah menyingkirkan batu tersebut dari gua, hingga mereka semua bisa
keluar. Ini sebuah contoh buah dari keikhlasan.
Akibat Tidak Ikhlas
Sebaliknya, jika amal shalih dikerjakan atas dasar niat yang
tidak ikhlas, bukan mendapatkan pahala, bahkan mendapatkan siksa.
Rasulullah Sahallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah orang
yang mati syahid. Ia pun dihadapkan, lalu Allah mengingatkan kepadanya
nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu gunakan untuk
apa nikmat itu?”
Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) berperang di jalan-Mu
hingga aku mati syahid.”
Allah berfirman, “Kamu dusta, sebenarnya kamu berperang agar
dikatakan sebagai pemberani dan sudah dikatakan demikian.”
Kemudian Allah memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia
diseret dalam keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka. (Kedua) seorang
yang belajar agama, mengajarkannya dan membaca Alquran, ia pun dihadapkan, lalu
Allah mengingatkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian
ditanya, “Kamu gunakan untuk apa nikmat itu?”
Ia menjawab, “Aku (gunakan untuk) mempelajari agama,
mengajarkannya dan membaca Alquran karena Engkau.”
Allah berfirman: “Kamu dusta, sebenarnya kamu belajar agama
agar dikatakan orang alim, dan membaca Alquran agar dikatakan qaari’, dan sudah
dikatakan”, kemudian Allah memerintahkan orang itu agar dibawa, lalu ia diseret
dalam keadaan telungkup kemudian dilempar ke neraka.
(Ketiga) seseorang yang dilapangkan rezekinya dan diberikan
kepadanya berbagai jenis harta, ia pun dihadapkan, lalu Allah mengingatkan
kepadanya nikmat-nikmat-Nya, ia pun mengingatnya, kemudian ditanya, “Kamu
gunakan untuk apa nikmat itu?” Ia menjawab, “Tidak ada satu pun jalan, di mana
Engkau suka dikeluarkan infak di sana kecuali aku keluarkan karena Engkau”.
Allah berfirman, “Kamu dusta, sebenarnya kamu lakukan hal itu agar dikatakan
sebagai orang yang dermawan dan sudah dikatakan”, kemudian Allah memerintahkan
orang itu agar dibawa, lalu ia diseret dalam keadaan telungkup kemudian
dilempar ke neraka.” (HR. Muslim).
Riya’ dan Kurang Ikhlas
Berikut beberapa contoh riya’ dan amalan yang kurang ikhlas:
Seorang menambahkan lagi ketaatannya ketika dipuji, atau
mengurangi bahkan meninggalkan ketaatan ketika dicela.
Seseorang beramal shalih dan berakhlak mulia agar dicintai
orang-orang, diperlakukan secara baik dan mendapat tempat di hati mereka. Jika
hal itu tidak tercapai, ia pun berat sekali melakukannya.
Seseorang bersedekah karena ingin dilihat orang, jika tidak ada
yang melihatnya, ia tidak mau bersedekah.
Ibnu Rajab berkata, “Dan termasuk penyakit riya’ yang
tersembunyi adalah bahwa seseorang terkadang merendahkan dirinya, di hadapan
manusia, mengharap dengan itu agar manusia melihat bahwa dirinya adalah seorang
tawadhu’, sehingga terangkat kedudukannya di sisi mereka dan mendapat pujian
dari mereka..”
Seorang
yang berjihad agar ia terbiasa perang. Wallahua’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar