Makna thaharah adalah bersuci dan
membersihkan. Dalam terminologi Islam, thaharah ada dua macam: thaharah maknawi
dan thaharah hissy. Adapun thaharah maknawi: yaitu mensucikan hati dari syirik
dan bid’ah (mengadakan suatu hal yang baru) dalam beribadah kepada Allah
Subhanahu wata’alla, dan dari sifat dendam, hasad, marah, benci dan yang
menyerupai hal itu, dalam bergaul dengan hamba-hamba Allah Subhanahu wata’alla
dimana mereka tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu.
Adapun thaharah hissy: yaitu
mensucikan badan, dan ia ada dua bagian:
1) menghilangkan sifat yang
menghalangi shalat dan semisalnya dari sesuatu yang disyaratkan baginya bersuci
2) menghilangkan kotoran. Pertama
kita akan membahas pertanyaan pertama tentang thaharah maknawi: yaitu
mensucikan hati dari syirik dan bid’ah pada sesuatu yang terkait hubungan
dengan hak-hak Allah Subhanahuwata’alla. Inilah bersuci yang paling agung. Dan
hal tersebut diatas lah yang menjadi dasar semua ibadah. Ibadah apapun tidak
sah dari seseorang yang hatinya berlumuran syirik, dan bid’ah apapun yang
dilakukan hamba untuk mendekatkan diri kepada -Nya hukumnya tidak sah, yaitu
yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahuwata’alla. Firman Allah
Subhanahuwata’alla
وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا
أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ
” Dan tidak ada yang menghalangi
mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya “.
(QS. at-Taubah:54)
Dan Nabi Muhammad Salallahu’alaihi
awassalm bersabda:
“Barangsiapa
yang melakukan amal ibadah yang tidak ada perintah kami atasnya maka ia
ditolak.” (HR. Muslim no. 1718.)
Atas dasar inilah, maka orang yang
menyekutukan Allah Subhanahuwata’alla secara nyata (syirik akbar), tidak
diterima ibadahnya, sekalipun ia shalat, berzakat dan haji. Maka barangsiapa
yang berdoa kepada selain Allah Subhanahu wata’alla atau menyembah selain-Nya,
maka sesungguhnya ibadahnya tidak diterima. Sekalipun ia beribadah kepadanya
dengan ikhlas hanya karena Allah Subhanahu wata’alla semata, selama ia
menyekutukan-Nya dalam bentuk syirik akbar dari sisi yang lain.
Karena inilah Allah
Subhanahuwata’alla menggambarkan orang-orang musyrik bahwa mereka adalah najis.
Firman Allah Subhanahuwata’alla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ
نَجَسٌ
” Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis,…” (QS. at-Taubah:28)
Dan Nabi Muhammad Salallahu’alaihi
wassalm menafikan najis dari orang yang beriman, seperti dalam hadits:
“Sesungguhnya
orang yang beriman tidak najis.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Inilah yang semestinya menjadi
perhatian besar bagi orang yang beriman untuk membersihkan hati darinya.
Demikian pula ia membersihkan
hatinya dari sifat iri, dengki, marah dan benci bagi orang-orang yang beriman,
karena semua ini adalah sifat yang tercela, bukan akhlak orang yang beriman.
Seorang mukmin adalah saudara mukmin yang lain, tidak membencinya, tidak
menyakitinya, tidak dengki kepadanya, akan tetapi ia mengharapkan kebaikan
untuk saudaranya sebagaimana ia mengharapkan kebaikan untuk dirinya sendiri.
Sehingga
Rasulullah Salallahu’alaihi awassalm
menafikan iman dari orang yang tidak menyukai untuk saudara sesuatu yang dia
sukai untuk dirinya. Disebutkan dalam hadits:
Rasulullah
Salallahu’alaihi awassalm bersabda:”Tidak beriman (yang sempurna) seseorang
darimu sehingga ia menyukai untuk saudaranya sesuatu yang dia sukai untuk
dirinya.” (HR. al-Bukhari no dan Muslim)
Kita melihat banyak ahli ibadah,
taqwa dan zuhud serta sering pergi ke masjid untuk memakmurkannya dengan
membaca al-Qur`an, zikir dan shalat, akan tetapi ia mempunyai sifat iri
terhadap sebagian saudara mereka yang muslim atau dengki bagi orang yang diberi
nikmat oleh Allah Subhanahu wata’alla. Ini jelas mencemari ibadah yang
dilakukannya kepada-Nya. Maka kita semua harus membersihkan hati dari sifat
kotor ini terhadap saudara kita sesama kaum muslimin.
Adapun thaharah hissiyah: yaitu
seperti yang saya katakan ada dua bagian:
1) menghilangkan sifat yang
menghalangi shalat dan semisalnya yang disyaratkan thaharah baginya, dan
2) menghilangkan najis.Adapun
menghilangkan sifat: yaitu mengangkat hadats kecil dan besar dengan cara
membasuh empat anggota tubuh dalam hadats kecil, dan membasuh semua anggota tubuh
dalam hadats besar. Bisa dengan air bagi yang mampu dan bisa juga dengan
tayammum bagi orang yang tidak mampu memakai air. Dalam hal ini Allah
Subhanahuwata’alla menurunkan firman- Nya:
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang
baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. al-Maidah:6)
Adapun jenis yang kedua: yaitu
thaharah dari najis, yaitu setiap benda yang diwajibkan kepada hamba agar
menjauhkan diri darinya dan bersuci darinya, seperti kencing, kotoran dan
semisal keduanya yang dijelaskan oleh syari’at tentang najisnya. Karena inilah
para ahli fikih berkata: thaharah bisa jadi dari hadats dan bisa jadi dari
najis. Dan menunjukkan bagi jenis ini, maksud saya thaharah dari kotoran,
hadits yang diriwayatkan oleh ahlus sunan, bahwa Rasulullah Salallahu’alaihi
awassalm shalat bersama para sahabatnya pada suatu hari. Lalu beliau melepaskan
sendalnya maka para sahabat melepaskan sendal mereka. Maka tatkala Nabi
Muhammad Salallahu’alaihi awassalm berpaling (setelah salam), beliau bertanya
kepada mereka: “Kenapa mereka melepas sendal mereka? Mereka menjawab: ‘Kami
melihat engkau melepaskan sendal maka kami melepaskan sendal kami. beliau
bersabda:
Rasulullah
Salallahu’alaihi awassalm bersabda: “Sesungguhnya Jibril ‘alaihi sallam datang
kepadaku seraya mengabarkan bahwa pada kedua ada adza.”
Maksudnya ada kotoran. Inilah
pembicaraan tentang pengertian thaharah.
Referensi
:
Syaikh Muhammad al-Utsaimin, Fiqhul
Ibadah, hal 112-114.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar