Takwa yang menjadi tujuan ibadah puasa sejatinya adalah
konsep perilaku moral yang dalam konteks pendidikan umum merupakan hal rumit.
Socrates (Kneller, 1971: 223) pernah mengatakan bahwa perilaku moral dapat
diajarkan jika dan hanya jika dimaksudkan menyadarkan seseorang tentang
kebaikan.
Guru paling-paling dapat mengharapkan siswa (a) tahu tentang
apakah benar dan salah, (b) tahu mengapa begitu, dan (c) memiliki beberapa ide
tentang apa yang harus dilakukan tentang apa yang diketahui. Para guru juga
dapat menguji pemahaman tentang moralitas, tetapi guru tak dapat menjamin
seorang murid yang paling baik
pengetahuannya adalah paling bermoral.
Tindakan moral merupakan gerakan disengaja, diawali suatu
proses kompleks di dalam jiwa dan hubungannya dengan badan. Dalam filsafat jiwa
(philosophy of mind), psikologi, dan etika, kesengajaan dan kesadaran sering
kali dianggap sebagai hal yang membedakan perilaku manusia dengan makhluk
lainnya, dan menyebabkan perilaku tersebut sebagai obyek moral.
Nilai dan moral
Mengapa manusia melakukan tindakan yang disengaja? Ada
banyak teori, yang di sini disebutkan sekadar gambaran. Teori peristiwa mental
(mental event theory) menjelaskan bahwa kesengajaan terjadi karena ada
peristiwa mental mendahului tindakan, seperti alasan, niat,
keputusan, pilihan, dan konsep pemecahan. Misalnya, guru bertanya di kelas, dan
saya-setelah mempertimbangkan-memutuskan untuk mengangkat tangan, kemudian
melakukannya dalam kenyataan: mengangkat tangan.
Teori keagenan (the theory of agency) menyatakan: diri
bergerak disebabkan “sesuatu” yang belum tentu peristiwa mental. Diri itu
sendiri, menurut teori ini, adalah sebuah agen yang punya kekuatan dasar dan
unik untuk memengaruhi dunia, dan
menghasilkan tindakan. Beberapa filsuf mengaitkan berbagai penyebab kesengajaan tindakan dengan respons,
tujuan, dan konteks.
Sementara para psikolog kini cenderung melihat perilaku
sebatas gejala-gejala yang tampak dan teramati saja. Jiwa yang di dalamnya
terdapat kesadaran dan intensionalitas tak dianggap penting karena tidak dapat
diobyektivikasi. Maka, penganut behaviorisme menyimpulkan bahwa perilaku
manusia hanyalah respons terhadap stimulus yang dapat dikondisikan.
Sebagaimana sifatnya, perdebatan filsafat memang tak tuntas
pada kesimpulan tunggal, apalagi tentang perilaku yang melibatkan jiwa, badan,
dan hubungan antara keduanya yang sejak Plato dan Aristoteles pada sekitar abad ke-5 dan ke-4 SM telah
diperdebatkan. Tuhan sendiri telah mengingatkan bahwa jiwa (roh) itu
urusan-Nya, dan manusia hanya diberi sedikit pengetahuan tentang hal itu (Q.s,
al-Isra: 85). Renungan filosofi dan
studi psikologi mengenalkan tiga
kandungan jiwa, yaitu kognisi, afeksi, dan kehendak, yang berkolaborasi
dengan badan membentuk kesadaran dan tindakan sengaja. “Misteri” dan
kompleksitas jiwa dan hubungannya dengan badan kiranya menyulitkan metode
pendidikan nilai dan moral.
Berpuasa utamanya memang menyangkut badan: menahan makan,
minum, dan syahwat. Namun, nilai yang
menentukan dan sasaran puasa menohok jiwa sebagai sumber baik proses kognitif
maupun konatif yang memengaruhi dan menyebabkan tindakan sadar. Proses kognitif bersangkutan dengan cara
memperoleh dan mengolah pengetahuan,
seperti mencerap, mengingat, menalar, dan berpikir. Sementara proses
konatif meliputi perasaan, kehendak, dan
dorongan hati.
Berpuasa mendidik penalaran dengan membangun kesadaran dan
melatih kehendak agar patuh pada kesadaran. Oleh sebab itu, berpuasa tidak
boleh berhenti pada ritual mekanistik fisik, dan sangat ditekankan perlunya
“imanan wahtisaban”, keyakinan dan
kewaspadaan.
Metode puasa, dari sisi filsafat dan teori pendidikan,
merupakan proses pembelajaran dengan mengalami (experiencial learning) atau
dalam istilah John Dewey: learning by doing. Dengan melakukan puasa orang
seharusnya mencerap pengetahuan,
memperoleh kesimpulan dan makna, serta pembiasaan yang jadi sikap hidupnya. Kok
bisa?
Imam Al-Ghazali (450 H/1058 M-505 H/1111 M), baik dalam
buku-buku filsafat maupun dalam buku-buku tasawufnya menyebutkan (Nasir
Nasution, 1988: 65) bahwa struktur eksistensial manusia terdiri dari jiwa
(al-nafs, al-ruh) dan badan (al-jism) yang membentuk suatu entitas dalam realitas
yang disebut manusia. Menurut Al-Ghazali, dalam proses mengetahui dan proses
terjadinya perbuatan manusia, badan berfungsi instrumental bagi jiwa, seperti
hubungan kuda dengan penunggang kuda. Jiwalah yang memegang inisiatif yang
menentukan perbuatan.
Badan, lanjut Al-Ghazali, sering kali jadi penghalang bagi
jiwa untuk mencapai/menangkap hakikat, terutama hakikat diri sebagai dasar
menangkap hakikat Tuhan dan kebenaran.
Ada lima situasi jiwa yang terhalang menangkap hakikat, yaitu belum
sempurnanya jiwa, jiwa yang kotor karena maksiat, terlalu menurutkan keinginan
badan, jiwa tertutup karena taklid, dan karena tidak berpikir logis.
Seringnya menurutkan keinginan badan akan membuat jiwa
terlena pada hal-hal yang konkret dan menyenangkan sehingga daya vegetatif dan
daya sensitif pada badan jadi kekuatan “liar” yang tak terkontrol oleh jiwa
yang makin lemah. Dalam situasi itu, meskipun pengetahuan “akal” mampu
memetakan mana yang baik dan buruk di dalam jiwa, tetapi “kehendak” (iradat)-juga unsur jiwa-
yang terdominasi tuntutan badan sering kali tak mampu memilih apa yang
dikatakan “akal” baik. Sebagai ilustrasi,
banyak dokter yang tentu tahu bahwa merokok tak baik buat kesehatan,
tetapi ia tetap merokok.
Tuntutan badan harus tetap ada dan terpelihara karena
merupakan ekspresi kebutuhan dasar untuk sintas. Makan dan minum berguna agar
tubuh tetap eksis, sementara libido perlu untuk regenerasi supaya spesies
manusia tak mengalami kepunahan.
Namun, daya-daya primordial ini perlu dikelola agar tak jadi
ekstremitas sebagai sumber malapetaka. Berbagai tragedi kemanusiaan dalam
sejarah, di antaranya dimulai pembunuhan Habil oleh Qabil, Perang Dunia I dan
II, genocide, aneksasi Amerika Serikat atas Irak, perdagangan manusia,
HIV/AIDS, ataupun korupsi, jika dirunut merupakan besaran persoalan-persoalan
yang bersumber dari perut dan (maaf) sedikit di bawah perut.
Berpuasa adalah cara Tuhan memelihara agar jiwa tak kalah
dan “terjajah” oleh daya-daya badan dengan menguatkan jiwa dan “menjinakkan”
badan melalui proses penyesuaian diri. Dalam buku-buku tasawuf yang
ditulisnya setelah menjadi sufi, Al-Ghazali-juga sufi pada umumnya-melihat
badan secara lebih negatif daripada fungsi instrumental positifnya, yaitu
sebagai hambatan yang tuntutannya perlu dijauhi. Ia menekankan perlunya
inisiatif dan kontrol jiwa terhadap badan dan tuntutan- tuntutannya. Untuk itu,
kata, Al-Ghazali, “lapar” (al-ju’) dan pembersihan jiwa merupakan hal utama
yang perlu dilakukan agar manusia mencapai kesempurnaan alias insan kamil.
Kejujuran pilar takwa
Merasa selalu “dilihat” Tuhan adalah kesadaran utama yang
menyertai orang berpuasa. Oleh sebab itu, ketika haus, lapar, dan syahwat
menyergapnya di siang hari, keinginan itu tidak segera dipenuhinya meskipun dapat dilakukan dengan bersembunyi.
Kesadaran bahwa Tuhan tidak bisa dikelabui dan kehendak yang terkendali selama
sebulan itu, seyogianya jadi sikap
menetap pada umat yang berpuasa, yang membuahkan perilaku jujur.
Kejujuranlah nilai
yang hendak ditanamkan dalam ibadah puasa karena kejujuran adalah pilar
utama ketakwaan sehingga tak mungkin kesalehan hidup terwujud tanpa
kejujuran. “Hanya jujur saja, ya,
Rasulullah?” tanya preman yang ingin tobat. “Ya, jangan berbohong,” jawab sang
Nabi dalam suatu kisah. Kejujuran menuntun sang preman jadi saleh karena setiap akan berbuat jahat ia
teringat komitmen kejujurannya pada Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad sendiri
digelari al-amin (orang tepercaya, amanah) sebelum diangkat menjadi rasul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar