Rasulullah Saw. bersabda:
عن ابي يعلى شداد ابن اوس رضي الله عنه
قال قال رسول الله ص م الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ
أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ (رواه الترميذي)
Dari Abi Ya’la Syaddad bin Aus ra. berkata, Rasulullah
Saw bersabda: Orang yang cerdas itu adalah orang yang mengendalikan hawa
nafsunya, dan mengerjakan untuk kehidupan setelah kematian. Dan yang lemah itu
adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berandai-andai kepada Allah. (HR.
Turmudzi)
Kata dana pada hadits tersebut disyarah oleh
para ulama dengan beberapa pengertian, di antaranya al-khudu’ yang
bermakna ketundukan atau ketaatan. Orang pintar dalam hadits ini bukanlah orang
yang bangga dengan ijazah sarjananya, atau bangga dengan gelar keprofesorannya,
atau orang yang pandai dengan ilmu retorika bahasa, mampu menguasai massa demi
kepentingan politiknya, atau dengan hal-hal lainnya.
Al-Kaisu, orang
yang cerdas yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw adalah orang yang mampu dengan
bijak mengendalikan hawa nafsunya untuk tunduk dan taat terhadap perintah Allah
Swt serta menjahui segala larangan-larangan-Nya. Ungkapan senada dapat kita
temukan juga dalam hadits Rasulullah Saw lain, yang menyebutkan bahwa orang
yang paling berani itu adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya. Dan juga
jihad yang lebih besar daripada peperangan mengangkat senjata, adalah jihad
melawan hawa nafsu.
Wahai saudaraku, betapa banyak orang pintar di dunia
ini yang tidak sanggup menguasai keinginan hawa nafsunya sehingga ia
menjerumuskan dirinya dalam kehinaan di pandangan Allah Swt. Na'udzubillahi min
dzalik.
Salah satu contohnya seperti sebagian para
pejabat-pejabat yang suka melakukan korupsi, menelantarkan kepentingan rakyat
demi kesejahteraan hidup pribadi, adakah ia itu pandai ataukah bodoh? Mungkin jika
dipandang dari strata sosial dan jenjang akademik yang diperolehnya maka ia kita
golongkan kepada orang pandai, tapi sebenarnya ia adalah orang yang lemah
akalnya dan pengecut. Hawa nafsulah yang menguasai dirinya, bukan dirinya yang
menguasai hawa nafsu. Merekalah al-‘ajiz, orang-orang lemah yang dimaksud
dalam hadits al-kaisu man dana nafsahu wa ‘amila lima ba’dal maut, wal
‘ajizu manittaba’a nafsahu hawaha wa tamanna ‘alallahi.
Demikian pula dengan orang-orang pintar yang menipu
orang lain yang dianggapnya bodoh, pahadal sebenarnya dirinya sendirilah yang
tertipu. Layaknya orang-orang munafik yang hendak menipu orang-orang yang
beriman mereka tidak menyadari bahwa merekalah sebenarnya orang-orang bodoh
lagi tertipu, (hal ini dapat kita temukan, dijelaskan dalam surat al-baqarah
ayat 9-13)
Adapun makna lain dari lafaz dana selain
al-khudu’, ialah muhasabah, yakni mengintropeksi diri. Jadi
orang-orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa mengintropeksi
dirinya, dan melakukan perbaikan. Orang-orang seperti ini memiliki visi dan
misi jauh ke depan, tidak hanya menyiapkan bekal untuk dunia, tapi juga untuk
akhiratnya. Demikianlah Islam mengajarkan umatnya menjadi orang-orang yang
sukses dunia akhirat. Memotivasi untuk optimis dan berbuat lebih baik dan yang
terbaik, dengan menyandarkannya semua kepada Allah Swt.
Ada beberapa hal yang perlu ditinjau dalam melakukan
muhasabah;
1. Aspek Ibadah ( الجَانِبُ التَّعَبُّدِي )
Pertama kali yang harus
dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan
utama diciptakannya manusia di muka bumi ini; ‘Dan tidaklah Aku ciptakan jin
dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.’ (QS. 51 : 56).
Setiap musim harus berusaha
untuk meningkatkan amal ibadahnya. Mulai dari niat, tatacara, pelaksanaan,
penghayatan, dan pemberian dampaknya dalam kehidupan. Sudahkah kita ikhlas
selama ini beribadah hanya kepada Allah semata, atau ada niat lain yang
terkandung dalam hati, riya umpamanya? Sudahkah benar cara saya beribadah, apa
demikian ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah yang dijelaskan oleh para
fuqaha’? Mengapa saya tidak mencari tahu?
Sebatas mana kekhusyukan
saya dalam menjalankannya? Tidakkah dalam hati saya terbesit kepentingan dunia
dan terlupa akan akhirat? Dan apakah shalat, zakat, puasa, shadaqah dan
lain-lain halnya mempunyai dampak dalam kehidupan saya, atau hanya sia-sia
belaka? Apa yang perlu diperbaiki dari itu semua?
2. Aspek Pekerjaan &
Perolehan Rizki ( الجانب العملي والتكسبي )
Allah Swt mewanti-wanti kita
agar bekerja dan memperoleh penghasilan yang halal, bukan dengan cara yang
bathil yang merugikan orang lain, sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa/ 4 :
29)
Imam As-Suyuti ketika
menjelaskan tentang memakan harta dengan cara batil, beliau menafsirkannya
dengan ( بطريق غير مشروع مخالف حكم الله تعالى ) ‘dengan cara tidak sesuai dengan syariat dan bertentangan
dengan hukum Allah SWT’. Artinya segala macam bentuk usaha, yang pekerjaannya,
cara pelaksanaannya, tidak syar’i dan bertentangan dengan hukum Islam, maka itu
adalah batil.
3. Aspek Kehidupan Sosial
Keislaman ( الجانب الحياة الإجتماعية الإسلامية )
Dan aspek yang tidak kalah
penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan
muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’
Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak
memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang
yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan
(pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa)
menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang
lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya.
Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan
kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu
dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat
menjadi orang yang muflis. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah
yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat
dengan membawa dosa karena akhlaknya terhadap orang lain; ia mencaci, mencela,
menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, dan perbuatan buruk lainnya, sehingga
pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya.
Bahkan karena kebaikannya tidak
cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang
dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki
apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini.
Na’udzubillah min dzalik.
Oleh karenanya, hendaknya
aspek ini dievaluasi. Bagaiamana selama ini kita bersosialisasi dengan
masyarakat, bergaul dengan tetangga, beraktivitas dengan teman kerja, berakhlak
di tengah orang ramai, dan sebagainya. Jika terdapat aib atau cacat di sana,
maka perbaikilah.
4. Aspek Da’wah ( الجانب الدعوي )
Seorang guru saya pernah berkata, “Tidak akan ada
suatu perubahan atau perbaikan, jika tidak ada dakwah atau seruan kepadanya.
Begitu pentingnya dakwah ini sehingga ia menjadi fardhu ‘ain bagi setiap
muslim, Rasulullah Saw sendiri bersabda, “balligh ‘anni walau ayah”
(sampaikanlah dariku walau hanya sepotong ayat). Perintah ini diserukan
untuk seluruh jama’ah kaum muslimin. Namun ada yang perlu diingat dan
direnungi, untuk apa kita berdakwah. Apa tujuan kita berdakwah?
Kita berdakwah untuk Allah dan Rasul-Nya, menjunjung
tinggi agama yang telah dipilihkannya kepada bani Adam, yaitu Islam sebagai
rahmatal lil’alamin. Dakwah menyerukan kepada kebenaran Islam, La ilaha
illallah, Muhammadarrasulullah, dengan berbagai pemahaman, namun hakikatnya
selalu merujuk kepada Tauhid, mengesakan Allah Swt dan menghambakan diri
pada-Nya. Jangan sampai dakwah kita kehilangan tujuan, dan terjebak dalam
fanatisme kelompok atau mazhabiyah, sehingga terjadilah perpecahan internal
kaum muslimin, antara sunni dan syi’i, antara fuqaha’ dan muhadditsin, antara
organisasi Islam yang satu dengan yang lainnya. Padahal semua berlabel Islam,
hawa nafsu dan syaitanlah membisikkan agar kita bertengkar sesama Islam.
Dalam penghujung ceramah singkat ini, ada sebuah ayat
yang patut direnungi oleh umat Islam dewasa ini yang mudah terpancing oleh
isu-isu iftiraqul ummah, perpecahan umat. Allah Swt. berfirman:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran [3] : 103)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar