- Murottal per Juz Syaikh Emad Al-Mansay, insya Allah membantu bagi para penghafal alquran dalam mengulang-ulang hafalannya.
- silahkan download murottalnya, semoga bermanfaat,,,
- Al Fatihah Al Fatihah.mp3
- Murottal (Juz 1) الجزء ١
- Murottal (Juz 2) الجزء ٢
- Murottal (Juz 3) الجزء ٣
- Murottal (Juz 4) الجزء ٤
- Murottal (Juz 5) الجزء ٥
- Murottal (Juz 6) الجزء ٦
- Murottal (Juz 7) الجزء ٧
- Murottal (Juz 8) الجزء ٨
- Murottal (Juz 9) الجزء ٩
- Murottal (Juz 10) الجزء ١٠
- Murottal (Juz 11) الجزء ١١
- Murottal (Juz 12) الجزء ١٢
- Murottal (Juz 13) الجزء ١٣
- Murottal (Juz 14) الجزء ١٤
- Murottal (Juz 15) الجزء ١٥
- Murottal (Juz 16) الجزء ١٦
- Murottal (Juz 17) الجزء ١٧
- Murottal (Juz 18) الجزء ١٨
- Murottal (Juz 19) الجزء ١٩
- Murottal (Juz 20) الجزء ٢٠
- Murottal (Juz 21) الجزء ٢١
- Murottal (Juz 22) الجزء ٢٢
- Murottal (Juz 23) الجزء ٢٣
- Murottal (Juz 24) الجزء ٢٤
- Murottal (Juz 25) الجزء ٢٥
- Murottal (Juz 26) الجزء ٢٦
- Murottal (Juz 27) الجزء ٢٧
- Murottal (Juz 28) الجزء ٢٨
- Murottal (Juz 29) الجزء ٢٩
- Murottal (Juz 30) الجزء ٣٠
Senin, 25 Mei 2015
Download Murottal per Juz Syaikh Emad Al-Mansary
Rabu, 20 Mei 2015
Siapakah Sebenarnya Orang Yang Cerdas Itu?
Rasulullah Saw. bersabda:
عن ابي يعلى شداد ابن اوس رضي الله عنه
قال قال رسول الله ص م الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ
أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ (رواه الترميذي)
Dari Abi Ya’la Syaddad bin Aus ra. berkata, Rasulullah
Saw bersabda: Orang yang cerdas itu adalah orang yang mengendalikan hawa
nafsunya, dan mengerjakan untuk kehidupan setelah kematian. Dan yang lemah itu
adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berandai-andai kepada Allah. (HR.
Turmudzi)
Kata dana pada hadits tersebut disyarah oleh
para ulama dengan beberapa pengertian, di antaranya al-khudu’ yang
bermakna ketundukan atau ketaatan. Orang pintar dalam hadits ini bukanlah orang
yang bangga dengan ijazah sarjananya, atau bangga dengan gelar keprofesorannya,
atau orang yang pandai dengan ilmu retorika bahasa, mampu menguasai massa demi
kepentingan politiknya, atau dengan hal-hal lainnya.
Al-Kaisu, orang
yang cerdas yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw adalah orang yang mampu dengan
bijak mengendalikan hawa nafsunya untuk tunduk dan taat terhadap perintah Allah
Swt serta menjahui segala larangan-larangan-Nya. Ungkapan senada dapat kita
temukan juga dalam hadits Rasulullah Saw lain, yang menyebutkan bahwa orang
yang paling berani itu adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya. Dan juga
jihad yang lebih besar daripada peperangan mengangkat senjata, adalah jihad
melawan hawa nafsu.
Wahai saudaraku, betapa banyak orang pintar di dunia
ini yang tidak sanggup menguasai keinginan hawa nafsunya sehingga ia
menjerumuskan dirinya dalam kehinaan di pandangan Allah Swt. Na'udzubillahi min
dzalik.
Salah satu contohnya seperti sebagian para
pejabat-pejabat yang suka melakukan korupsi, menelantarkan kepentingan rakyat
demi kesejahteraan hidup pribadi, adakah ia itu pandai ataukah bodoh? Mungkin jika
dipandang dari strata sosial dan jenjang akademik yang diperolehnya maka ia kita
golongkan kepada orang pandai, tapi sebenarnya ia adalah orang yang lemah
akalnya dan pengecut. Hawa nafsulah yang menguasai dirinya, bukan dirinya yang
menguasai hawa nafsu. Merekalah al-‘ajiz, orang-orang lemah yang dimaksud
dalam hadits al-kaisu man dana nafsahu wa ‘amila lima ba’dal maut, wal
‘ajizu manittaba’a nafsahu hawaha wa tamanna ‘alallahi.
Demikian pula dengan orang-orang pintar yang menipu
orang lain yang dianggapnya bodoh, pahadal sebenarnya dirinya sendirilah yang
tertipu. Layaknya orang-orang munafik yang hendak menipu orang-orang yang
beriman mereka tidak menyadari bahwa merekalah sebenarnya orang-orang bodoh
lagi tertipu, (hal ini dapat kita temukan, dijelaskan dalam surat al-baqarah
ayat 9-13)
Adapun makna lain dari lafaz dana selain
al-khudu’, ialah muhasabah, yakni mengintropeksi diri. Jadi
orang-orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa mengintropeksi
dirinya, dan melakukan perbaikan. Orang-orang seperti ini memiliki visi dan
misi jauh ke depan, tidak hanya menyiapkan bekal untuk dunia, tapi juga untuk
akhiratnya. Demikianlah Islam mengajarkan umatnya menjadi orang-orang yang
sukses dunia akhirat. Memotivasi untuk optimis dan berbuat lebih baik dan yang
terbaik, dengan menyandarkannya semua kepada Allah Swt.
Ada beberapa hal yang perlu ditinjau dalam melakukan
muhasabah;
1. Aspek Ibadah ( الجَانِبُ التَّعَبُّدِي )
Pertama kali yang harus
dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan
utama diciptakannya manusia di muka bumi ini; ‘Dan tidaklah Aku ciptakan jin
dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.’ (QS. 51 : 56).
Setiap musim harus berusaha
untuk meningkatkan amal ibadahnya. Mulai dari niat, tatacara, pelaksanaan,
penghayatan, dan pemberian dampaknya dalam kehidupan. Sudahkah kita ikhlas
selama ini beribadah hanya kepada Allah semata, atau ada niat lain yang
terkandung dalam hati, riya umpamanya? Sudahkah benar cara saya beribadah, apa
demikian ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah yang dijelaskan oleh para
fuqaha’? Mengapa saya tidak mencari tahu?
Sebatas mana kekhusyukan
saya dalam menjalankannya? Tidakkah dalam hati saya terbesit kepentingan dunia
dan terlupa akan akhirat? Dan apakah shalat, zakat, puasa, shadaqah dan
lain-lain halnya mempunyai dampak dalam kehidupan saya, atau hanya sia-sia
belaka? Apa yang perlu diperbaiki dari itu semua?
2. Aspek Pekerjaan &
Perolehan Rizki ( الجانب العملي والتكسبي )
Allah Swt mewanti-wanti kita
agar bekerja dan memperoleh penghasilan yang halal, bukan dengan cara yang
bathil yang merugikan orang lain, sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa/ 4 :
29)
Imam As-Suyuti ketika
menjelaskan tentang memakan harta dengan cara batil, beliau menafsirkannya
dengan ( بطريق غير مشروع مخالف حكم الله تعالى ) ‘dengan cara tidak sesuai dengan syariat dan bertentangan
dengan hukum Allah SWT’. Artinya segala macam bentuk usaha, yang pekerjaannya,
cara pelaksanaannya, tidak syar’i dan bertentangan dengan hukum Islam, maka itu
adalah batil.
3. Aspek Kehidupan Sosial
Keislaman ( الجانب الحياة الإجتماعية الإسلامية )
Dan aspek yang tidak kalah
penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan
muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’
Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak
memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang
yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan
(pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa)
menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang
lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya.
Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan
kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu
dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat
menjadi orang yang muflis. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah
yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat
dengan membawa dosa karena akhlaknya terhadap orang lain; ia mencaci, mencela,
menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, dan perbuatan buruk lainnya, sehingga
pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya.
Bahkan karena kebaikannya tidak
cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang
dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki
apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini.
Na’udzubillah min dzalik.
Oleh karenanya, hendaknya
aspek ini dievaluasi. Bagaiamana selama ini kita bersosialisasi dengan
masyarakat, bergaul dengan tetangga, beraktivitas dengan teman kerja, berakhlak
di tengah orang ramai, dan sebagainya. Jika terdapat aib atau cacat di sana,
maka perbaikilah.
4. Aspek Da’wah ( الجانب الدعوي )
Seorang guru saya pernah berkata, “Tidak akan ada
suatu perubahan atau perbaikan, jika tidak ada dakwah atau seruan kepadanya.
Begitu pentingnya dakwah ini sehingga ia menjadi fardhu ‘ain bagi setiap
muslim, Rasulullah Saw sendiri bersabda, “balligh ‘anni walau ayah”
(sampaikanlah dariku walau hanya sepotong ayat). Perintah ini diserukan
untuk seluruh jama’ah kaum muslimin. Namun ada yang perlu diingat dan
direnungi, untuk apa kita berdakwah. Apa tujuan kita berdakwah?
Kita berdakwah untuk Allah dan Rasul-Nya, menjunjung
tinggi agama yang telah dipilihkannya kepada bani Adam, yaitu Islam sebagai
rahmatal lil’alamin. Dakwah menyerukan kepada kebenaran Islam, La ilaha
illallah, Muhammadarrasulullah, dengan berbagai pemahaman, namun hakikatnya
selalu merujuk kepada Tauhid, mengesakan Allah Swt dan menghambakan diri
pada-Nya. Jangan sampai dakwah kita kehilangan tujuan, dan terjebak dalam
fanatisme kelompok atau mazhabiyah, sehingga terjadilah perpecahan internal
kaum muslimin, antara sunni dan syi’i, antara fuqaha’ dan muhadditsin, antara
organisasi Islam yang satu dengan yang lainnya. Padahal semua berlabel Islam,
hawa nafsu dan syaitanlah membisikkan agar kita bertengkar sesama Islam.
Dalam penghujung ceramah singkat ini, ada sebuah ayat
yang patut direnungi oleh umat Islam dewasa ini yang mudah terpancing oleh
isu-isu iftiraqul ummah, perpecahan umat. Allah Swt. berfirman:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran [3] : 103)
Sabtu, 02 Mei 2015
Peristiwa Kematian Husein Di Padang Karbala
Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin
Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum
berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan utusan
kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk Irak
tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak
menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang
mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam.
Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan
membaiat Husein sebagai khalifah.
Setelah surat itu sampai di Mekah,
Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya,
Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini. Sesampainya Muslim
di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi
khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim bin Aqil. Baiat
itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.
Kabar ini akhirnya sampai ke telinga
Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia mengutus Ubaidullah
bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak dan meredam
pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat Ubaidullah
bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan
perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin Urwah adalah
sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim bin Aqil
tinggal.
Ubaidullah menemui Hani’ bin Urwah
dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri
penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu
tentang segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab
terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah
mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di kedua
telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah
lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.
Mendengar kabar bahwa Ubaidullah
memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang
membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di
siang hari.
Ubaidullah bin Ziayd merespon
ancaman Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam.
Ternyata gertakan Ubaidullah membuat takut Syiah (pembela) Husein ini. Mereka
pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang
saja yang bersama Muslim bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam hanya tersisa
Muslim bin Aqil seorang diri.
Muslim pun ditangkap dan Ubaidullah
memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta izin untuk
mengirim surat kepada Husein, keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidullah
bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein adalah “Pergilah, pulanglah kepada
keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk
Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu
tidak memiliki pandangan (untuk mempertimbangkan masalah)”. Muslim bin Aqil pun
dibunuh, padahal saat itu adalah hari Arafah.
Husein berangkat dari Mekah menuju
Kufah di hari tarwiyah. Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi
ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Amr, saudara tiri
Husein, Muhammad al-Hanafiyah dll.
Abu Said al-Khudri radhiallahu
‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan
aku sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku
sebagai Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu
untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka
karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk
Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka
bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit
pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah
berubah pen.). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika
menghadapi pedang (penakut pen.)’.
Abdullah bin Umar radhiallahu
‘anhu mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat.
Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian memberikan dua pilihan kepada beluai antara dunia dan akhirat, maka
beliau memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah
dagingnya, demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian (ahlul
bait) dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”.
Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun
menangis, lalu mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan”.
Setelah meneruskan keberangkatannya,
datanglah kabar kepada Husein tentang tewasnya Muslim bin Aqil. Husein pun
sadar bahwa keputusannya ke Irak keliru, dan ia hendak pulang menuju Mekah atau
Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau pulang, sampai
kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami”. Karena menghormati Muslim dan
berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap berangkat menuju Kufah
dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim.
Bersamaan dengan itu Ubaidullah bin
Ziyad telah mengutus al-Hurru bin Yazid at-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan
untuk menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah. Bertemulah al-Hurru dengan
Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein agar tidak masuk ke Kufah.
Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku”. Al-Hurru menjawab,
“Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang selainmu akan aku
balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan aku katakan
kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiallahu ‘anha”.
Saat Husein menginjakkan kakinya di
daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah bin
Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Saad. Husein mengatakan, “Apa nama
tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husein
menanggapi, “Karbun (musibah) dan balaa’ (bencana).”
Melihat pasukan dalam jumlah yang
sangat besar, Husein radhiallahu ‘anhu menyadari tidak ada peluang
baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan, (1) kalian
mengawal (menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku pergi
menghadap Yazid di Syam.
Engkau pergi menghadap Yazid, tapi
sebelumnya aku akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu kata Umar
bin Saad. Ternyata Ubadiullah menolak jika Husein pergi menghadap Yazid, ia
menginginkan agar Husein ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husein menolak
untuk menjadi tawanan.
Terjadilah peperangan yang sangat
tidak imbang antara 73 orang di pihak Husein berhadapan dengan 5000 pasukan
Irak. Kemudian 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi
membelot dan bergabung dengan Husein. Peperangan yang tidak imbang itu
menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein seorang
diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih tersisa
sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzi
al-Jausyan –semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai
Husein, Husein pun terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya, Husein akhirnya
syahid, semoga Allah meridhainya. Ada yang mengatakan Amr bin Dzi
al-Jausyan-lah yang memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang
yang menggorok kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang
perlu pembaca ketauhi Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzi al-Jausyan, dan Sinan
bin Anas adalah pembela Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.
Ini adalah sebuah kisah pilu yang
sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang turut serta dalam
pembunuhan Husein dan ahlul bait yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan
dari Allah. Semoga Allah merahmati dan meridhai Husein dan orang-orang yang
tewas bersamanya. Di antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husein
adalah:
–
Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
–
Anak-anak Husein bin Ali: Ali al-Akbar dan Abdullah.
–
Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar, Abdullah, Qosim.
–
Anak-anak Aqil bin Abi Thalib: Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin
Muslim bin Aqil.
–
Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib: ‘Aun dan Muhammad.
Dari Ummu Salamah bawasanya Jibril
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “…Jibril mengatakan,
“Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril
melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku
tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat
tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu
ash-Shahabah, ia mengatakan hadis ini hasan). Adapun berita-berita bahwa
langit menurunkan hujan darah, dinding-dinding berdarah, batu yang diangkat
lalu di bawahnya terdapat darah, dll. karena sedih dengan tewasnya Husein, berita-berita
ini tidak bersumber dari rujukan yang shahih.
Benarkah Sikap Husein ‘alaihissalam
Pergi ke Irak?
Tidak ada kemaslahatan dalam hal
dunia maupun akhirat dari sikap Husein ‘alaihissalam yang keluar menuju
Irak. Oleh karena itu, banyak sahabat Nabi yang berusaha mencegahnya dan
melarangnya berangkat ke Irak. Husein pun menyadari hal itu dan ia sempat
hendak pulang, namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya mengambil sikap atas
terbunuhnya ayah mereka. Husein dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari
permasalahan ini. Dari peristiwa ini tampaklah kezaliman dan kesombongan
orang-orang Kufah (Syiah-nya Husein) terhadap ahlul bait Nabi ‘alaihumu
ash-shalatu wa salam.
Sekiranya Husein ‘alaihissalam
menuruti nasihat para sahabat tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi
Allah telah menetapkan takdirnya. Terbunuhnya Husein ini tentu saja tidak
sebesar peristiwa terbunuhnya para Nabi, semisal dipenggalnya kepala Nabi Yahya
oleh seorang raja, karena calon istri raja tersebut meminta kepala Nabi Yahya bin
Zakariya sebagai mahar pernikahan. Demikian juga dibunuhnya Nabi Zakariya oleh
Bani Israil, dan nabi-nabi lainnya. Demikian juga dengan dibunuhnya Umar dan
Utsman. Semua kejadian itu lebih besar dibanding dengan peristiwa dibunuhnya
Husein ‘alaihissalam.
Bagaimana Sikap Kita Terhadap
Peristiwa Karbala?
Tidak diperbolehkan bagi umat Islam,
apabila disebutkan tentang kematian Husein, maka ia meratap dengan
memukul-mukul pipi atau merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang
semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk
golongan kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek saku bajunya.”
(HR. Bukhari).
Seorang muslim yang baik, apabila
mendengar musibah ini hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang Allah
tuntunkan dalam firman-Nya,
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم
مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
“Orang-orang yang apabila mereka
ditimpa musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah milik Allah dan
kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali
bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far radhiallahu
‘anhum, para imam dari kalangan ahlul bait maupun selain mereka
pernah memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau
berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau
engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia
itu adalah kemuliaan.
Tidak seperti orang-orang yang
mengaku Syiah (pembela) Husein, Syiahnya ahlul bait Nabi pada hari
ini, mereka merusak anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh dengan pedang dan
rantai, mereka katakan kami bangga menyucurkan darah bersama Husein. Demi
Allah, sekiranya mereka berada pada hari dimana Husein terbunuh mereka akan
turut serta dalam kelompok pembunuh Husein karena mereka adalah orang-orang
yang selalu berhianat.
Posisi Yazid Dalam Peristiwa Ini
Dalm permasalahan ini, Yazid sama
sekali tidak turut campur. Aku mengakatakan hal ini bukan untuk membela Yazid
tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh
Husein. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan
Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki wilayah Irak. Ketika
Yazid mendengar tewasnya Husein, Yazid pun terkejut dan menangis. Setelah itu
Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarga yang tersisa
sampai ke daerah mereka. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan
perempuan-perempuan ahlul bait lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah
riwayat yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim
(keluarga Rasulullah).
Sebelumnya Yazid telah mengirim
surat kepada Husein ketika di Mekah, ternyata saat surat itu tiba Husein telah
berangkat menuju Irak. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan
hati Husein agar tidak berangkat ke Irak dan Yazid juga menyatakan kedekatan
kekerabatan mereka. Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek
(Jawa: mbah buyut) Yazid dan Husein adalah saudara kembar.
Kepala Husein
Tidak ada riwayat yang shahih yang
menyatakan bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein tewas di
Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak diketahui
dimana makamnya dan makam kepalanya.
( Tulisan ini diterjemahkan
dari tulisan dan sebagian ceramah Syaikh Utsman al-Khomis, seorang ulama yang
terkenal sebagai pakar dalam pembahasan Syiah-.
Pembahasan tentang terbunuhnya cucu
Rasulullalllah, asy-syahid Husein bin Ali ‘alaihissalam telah banyak
ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya agar menulis sebuah kisah
shahih yang benar-benar bersumber dari para ahli sejarah. Maka saya pun menulis
ringkasan kisah tersebut sebagai berikut –sebelumnya Syaikh telah menulis
secara rinci tentang kisah terbunuhnya Husein di buku beliau Huqbah min
at-Tarikh-.)
Langganan:
Postingan (Atom)