TA’ RIEF ILMU RIJALIL HADITS
Ilmu
Rijalil Hadits adalah salah satu dari ilmu-ilmu hadits yang sangat
penting. Ilmu hadits, melengkapi sanad dan matan. Orang-orang sanad
itulah perawih-perawih hadits. Maka merekalah pokok pembicaraan ilmu
Rijalul Hadits yang merupakan salah satu dari dua tepi ilmu hadits.
Lantataran inilah para ulama sangat mementingkan ilmu ini.
Ilmu Rijalul hadis terbagi atas dua ilmu yang besar:
1. Ilmu Tarikhir Ruwah : Ilmu sejarah perawi-perawi hadits.
2. Ilmu jahri wat Ta’dil : Ilmu yang menerangkan adil tidaknya perawi hadits.
Maka Ilmu Tarikhir Ruwah ialah :
“
ilmu yang mengenalkan kepada kita perawi-perawi hadits dari segi mereka
meriwayatkan hadits. Maka ilmu ini menerangkan keadaan-keadaan perawi,
hari kelahirannya, kewafatannya, guru-gurunya, masa mulai mendengar
hadits dan orang-orang yang meriwayatkan hadits dari padanya, negrinya,
tempat kediamannya, perlawatan-perlawatnnya, sejarah kedatangannya
ketempat-tempat yang dikunjungi dan segala yang berhubungan dengan
urusan hadits”.
Ilmu
ini lahir bersama-sama dengan lahirnya periwayatan hadits dalam islam.
Para ulama sangat mementingkannya supaya mereka mengetahui keadaan
perawi-perawi sanad. Mereka menanyakan tentang umur perawi, tempat
kediamannya, sejarah mereka belajar, sebagai mana mereka menanyakan
tentang peribadi perawi sendiri agar mereka mengetahui tentang
kemustahilannya dan kemunqathii’annya, tentang kemarfu’annya dan
kemauqufannya.
Memang sejarahlah senjata yang ampuh untuk menghadapi para pendusta. Sufyan Ats Tsauri berkata :
“ tatkala para perawi telah mempergunakan kedustaan, kamipun mempergunakan sejarah”
Dengan
kesungguhan para ulama dalam mengahadapi sejarah para perawi,
terkumpullah suatu perbendaharaan besar yang menerangkan sejarah para
perawi hadits, kekayaan itu mereka simpan dalam hasil-hasil karya
mereka. Maka ada yang menulis tentang hal sahabat dan segala sangkut
pautnya, tentang bilangan hadits-hadits mereka dan perawi-perawinya.
Di
waktu memancar mata hari pembukuan ilmu, lahirlah aneka karangan yang
menerangkan berita-berita sahabat dan tabi’in, tabi’it tabi’in dan
orang-orang yang sesudah mereka. Berbagai macam jalan yang ditempuh para
pengarang sejarah perawi hadits. Ada yang mengarang sejarah para
perawi, thabaqat demi thabaqat, yakni orang-orang semasa, kemudian
orang-orang semasa pula.
Diantara
kiatab yang paling tua yang menulis sejarah perawi thabaqat demi
thabaqat, ialah kitab At Thabaqat Al Kubra, karya Muhammad ibn Sa’ad
(168-230 H). dan Thabaqatur Ruwah karangan Khalifah ibn Khayyath
Al-ashfari (240H). Diantara mereka, ada yang mensyarahkan menurut athun
perawi, dari tahun demi tahun. Di dalamnya diterangkan tahun wafat para
perawi, disamping menerangkan keadaan beritanya.
Adz
Dzahabi dalam kitabnya” Tarikhul Islam menempuh jalan ini”. Di antara
mereka, ada yang menyusun sejarah perawi menurut huruf abjad. Macam
inilah yang mudah kita pelajari. Diantara kitab yang paling tua yang
sampai kepada kita ialah : At Tarikhul Kabir Karya Al Imam Muhammad ibn
islmail Al bukhari (194- 256 H). di dalamnya disebutkan lebih kurang
40.000 biografi pria dan wanita.
Kitab
yang paling mengumpulkan biografi perwai-perawi hadits ialah: Kitab
Tahdzieb, karya Al Hafidh ibnu Hajar Al Asqalany (773-853 H). Al Hafidh
Abu Muhammad Abdu Ghani ibn Abdul Wahid Al
Maqdasi (514-600 H). menyusun sebuah kitab yang dinamakan Al Kamal fi
Asmair Rijal. Kemudian kitab itu dibersihkan oleh Al Hafidh Yusuf ibn
Abdur Rahman Al Mizzi (654- 742 H). dengan diberi tambahan-tambahan dan
ditertibkan menurut huruf abjad, kitabnya dinamakan Tahdzibul Kamal fi
Rijal yang selesai disusun pada tahun 712 H.
Kemudian
Ibnu Hajar Al Asqalani meringkaskan kitab itu dengan sebuah kitab yang
dinamakan Taqribut Tahdzib fi Asmal Rijal. Ada pula yang menyusun
menurut negeri perawi hadits. Pengarannya menjelaskan ulama-ulama
negerinya dan ulama-ulama yang datang ke negri itu. Dan terkadang-kadang
diterangkan pula orang yag meriwayatkan hadits dari ulama-ulama itu.
Kebanyakan
mereka menyebutkan keutamaan negeri ulama-ulamanya dibuat sejarah,
kemudian mereka menyebut sahabat-sahabat yang berada di negeri itu, atau
berkediaman di negara itu. Kemudian barulah diterangkan ualama-ulama
lain menurut huruf abjad. Di antara kitab yang paling tua dalam bidang
ini ialah, ialah Tarikh Naisabur, karangan Al Hakim(321-405 H) dan
Tarikh Baghdad karya Ahmad ibn Ali Al Baghdadi yang terkenal dengan nama
Al khatib Al Baghdadi ( 392-463 H) sebuah kitab yang baik. Di dalamya
terdapat sejumlah 7831 biografi dan tarikh Dimasyqa, karya Ibnu Asakir (
499-571).
Ada
para ahli hadits yang menyusun kitab-kitab yang menerangkan nama-nama
perawi, kun-yah dan Iaqab dan kebangsaan mereka. Ada pula yang menulis
nama-nama yang mu’talif dan mukh’talif, perawi-perawi yang bersaudara,
sahabat-sahabat yang panjang umur, demikian pula para tabi’in dan
lainnya.
Ada
pula yang menulis nama-nama yang hamper sama. Diantara kitab yang
paling tua yang menerangkan nama dan kun-yah, ialah Al Asma Wal Kuna,
karya Ali ibn Abdullah Al madini (161-234 H). kitab yang paling padat
isinya dalam bidang ini ialah Al Kuna Wal Asma karangan Muhammad ibn
Ahmad Ad Daulabi (234-320 H) dan kitab Al Ikmal, karya Ibn Nakula Al
Baghdadi (421-486 H).
Kiatab
yang paling padat isinya dalam bidang nama yang hampir-hampir sama,
ialah Al Musytabah fi Asmair Rijal, karya Adz Dzahabi (673-740 H).
sedangkan kitab yang paling padat isinya tentang laqab-laqab para perawi
ialah Nushatul Alhab fil Al Qab, karya Al’Asqalani (733-852 H).
Kitab
yang paling besar dalam bidang silsilah keturunan para perawi, ialah
kitab Al Ansab, karya Tajul Islam Abdu Karim ibn Muhammad As San’ni
(506-562 H). dan kitab Al Lubab, karya Ali ibn Muhammad Asy Syaibani Al
Jazari (555-630 H). para ulama tidak saja meriwayatkan sejarah perawi
perawi lelaki, bahkan meriwayatkan juga sejarah perawi-perawi wanita
yang telah menjadi pengembang-pengembang hadits, seperti Aisyah dan
isteri-isteri nabi lainnya, serta sahabat-sahabat wanita.
Muhammad
ibn Sa’ad (168-230 H) menspesialkan jilid terakhir dari kitabnya untuk
perawi-perawi wanita, sungguh usaha ulama-ulama kita dalam bidang ini
mengagumkan benar.
Ilmu ini ada yang menanamkan Ilmu Tarikh, ada yang menanamkan Tarikhur
Ruwah, ada yang menanamkan Wafayyatur Ruwah, dan ada yang menanamkan At
Tawarikh Wafiyyyat.
ILMU JARHI WAT TA’DIL
1. TA’RIEF JARHI
Jarah,
menurut bahasa lughah bermakna melakukan badan yang karenanya
mengalirkan darah. Apabila dikatakan: hakim menjarahkan saksi maka
maknanya : hakim menolak kesaksian saksi. Menurut istilah ahli hadits.
“Nampak
suatu sifat pada perawi yang merusak keadilannya atau mencederakan
hafadhannya, karenanya gugurlah riwayatnya dipandang lemah”.
2. TA’RIEF TAJRIEH
Tajrieh menurut lughat, bermakna tasyqieq= melakukan, sedangkan ta’jieb = mengaibkan. Menurut uruf ahli hadits, ialah:
“mendhahirkan sesuatu cacat yang karenanya ditolak riwayatnya”
“Mensifatkan para perawih dengan sifat-sifat yang menyebabkan dilemahkan riwayatnya atau tidak diterima”.
Adil menurut lughah :
“suatu yang dirasakan oleh diri, bahwasanya dia itu adalah dalam keadaan lurus”.
Orang yang dipandang adil adalah : orang yang diterima kesaksiannya, yaitu : islam, bulugh, adalah keadilan dan dlabath. Menurut istilah adalah:
“ orang yang tidak nampak dalam urusan keagamaannya dan muruahnya sesuatu yang mencederakan keadilan dan muruhnya”.
Karena itu terimalah kesaksiaannya dan riwayatnya apabila sempurna keahliannya meriwayatkan hadits.
3. TA’DIL
ta'dil menurut lughat adalah taswiyah ( menyamakan) sedangkan menurut istilah ialah
“
mensfatkan perawi dengan sfat-sifat yang menetapkan kebersihannya dari
pada kesalahan-kesalahannya, lalu Nampaklah keadilannya dan diterimalah
riwayatnya”.
Menurut uruf ahlil hadis ialah
“ mengakui keadilan seseorang, kedlabithan dan kepercayaan”.
Maka ilmu jarwi wat Ta’dil ialah:
“ ilmu yang membahas keadaan-keadaan perawi dari segi terima, tolak riwayatnya”.
Ilmu
ini salah satu yang terpenting dan tinggi benar nilaiya, karena dengan
dialah dapat dibedakan antara yang shahih dengan yang saqim, antara yang
diterima dengan yang ditolak, mengingat timbilnya hukum-hukum yang
berbeda-beda dari pada tingkatan Jarah dan Ta’dil ini.
4. PERTUMBUHAN ILMU JARHI WAT TA’DIL
Ilmu
ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam,
karena untuk mengetahui hadits-hadits yang shahih perlu mengetahui
keadaan perawi-perawinya secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan
kebenaran perawi atau kedustaannya hingga dapatlah mereka nenbedakan
antara yang diterima dan ditolak.
Karena
itu para ulama menanyakan tentang keadaan para perawi, meneliti
kehidupan ilmiah mereka, mengetahui segala keadaan mereka, hingga
mengetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatan, lebih lama
menyertai guru. Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbunya
periwayatan dalam islam. Para ulama menerangkan catatan-catatan para
perawi yang memang tercatat.
5. LAFADH-LAFADH TA’DIL
Para ulama hadits telah menempatkan lafadh-lafadh ta’dil dalam beberapa martabat
1. Ibnu Abi Hatim, Ibnush Shalah dan An Nawawi menjadikan 4 martabat.
2. Adz Dzahabi dan Al’Iraqi menjsdiksn 5 martabat.
3. Al Hafidh ibnu Hajar menjadikan 6 martabat bagi Ta’dil dan 6 martabat bagi tajrieh.
A.
Tiap-tiap ibarat yang masuk kepadanya fi’il tafdlil dan yang menyerupai
fi’il tafdil yang menunjukan kepada mubalaghah, yaitu seperti kata ulam
hadits :
1.“ Si anu orang yang paling kepercayaan”.
2. “ Si Anu orang yang paling kuat hafalannya dan keadilannya”.
Dan perkataan.
“Kepadanyalah kesusahan”.
An Nawawi memasukan ke dalam martabat ini perkataan:
“ tak ada sesorang yanga lebih kuat dari padanya”.
“ dan siapa yang sama si anu”.
“ si polan ditanya tentang keadaannya “
Martabat inilah yang dipandang paling tinggi dari martabat yang lain.
B.
Tiap-tiap ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi, dengan
mengulangi-ulangi lafadh yang menunjukan kepada keadilan, dua kali atau
lebih, baik lafadh yang kedua itu, lafadh yang pertama, ataupun yang
semakna dengan lafadh yang pertama, dan makin banyak diulang-ulang
kalimat itu, makin menunjukan maksud seperti dikatakan ;
Kepercayaan,kepercayaan
Kepercayaan, kuat hafalan.
Penghafal hadits dan orang yang perkataannya jadi hujjah.
Di antaranya perkataan Ibnu Sa’id dalam thabaqat terhadap syu’bah :
“Kepercayaan, orang yang terpelihara, teguh hafalan, perkataanya menjadi hujjah, pemelihara hadis.
Ibnu
Uyainah mengatakan, bahwa telah diceritakan kepadanya oleh Amer ibn
Dienar dan beliau seorang tsiqah Sembilan kali Ibn Uyainah kata tsiqah.
C.
Ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi, dengan sesuatu lafadh
yang member pengertian, bahwa perawi itu kokoh ingatannya, seperti
dikatakan
1. Si polan orang yang teguh hati dan lidah
2. Si polan teguh dan bagus riwayatnya
3. Si polan kepercayaan
4. Si polan penghafal hadits
5. Si polan seorang yang teguh hafalannya
6. Si polan hijjah
D.
Ibarat yang menunjukkan kepada derajat para perawi dengan suatu lafald
yang tidak memberi pengertian, bahwa dia itu orang yang kokoh ingtannya,
seperti
1. si polan orang yang sangat benar
2. si polan boleh dipegang perkataanya
3. si polan tak ada padanya cacat
4. si polan tak ada cacattan padanya
5. si polan orang pilihan
Diterangkan
oleh ibnu Abi Hatim bahwa perawi yang dikaitkan demikian terhadap
dirinya, ditulis haditsnya lalu diselidiki apakah orang itu kuat
ingatan, atau tidak.
E.
Ibarat yang menunjukan kepada derajat perawi dengan sifat yang tidak
member pengertian bahwa dia, kokoh ingatan dan tidak pula menunjukkan
kepada benar dan amanah, seperti perkataan :
“ Si polan adalah orang yang dapat dipandang benar”
Masuk kedalam martabat ini, perkataan :
1. Si polan orang yang diriwayatkan dari padanya
2. Si polan yang pertengahan
3. Si polan seorang syaikh
4. Si polan seorang yang pertengahan dan seorang syaikh
5. Si polan seorang yang baik haditsnya
6. Si polan seorang yang mendekati haditsnya
7. Si polan seorang yang indah haditsnya
8. Si polan sesorang yang didekati hadisnya.
9. Si polan seorang yang shahih haditsnya
Di
sini perlu ditegaskan bahwa Al Bulqini berpendapat, Muqaribul Hadits (
dengan mengkasrahkan raa) dipakai lafadh ta’dil sedangkan muqarabul
hadits ( dengan mengghafathahkan raa) dipakai buat lafadh tajrih.
Makna muqarrab adalah radie’un = buruk. Diterangkan oleh Al Hafidh Ibnu
Hajar Al Asqalani bahwa masuk kedalam martabat ini, apabila dikumpulkan
antara lafadh shaduuq dengan lafadh yang menunjukan kepada lemah
seperti :
1.orang yang benar, buruk hafalannya
2. orang benar, tapi berwaham
3. oarng benar, yang banyak waham
4. orang benar yang sering silap
5. orang yang benar berubah akal diakhir umurnya
Hadist-hadits
orang yang tersebut ini, ditulis untuk I’tibar dan nadhar. Dan
dimasukkan pula kedalam martabat ini, mensifatkan perawi, dengan ahli
bid’ah. Seperti dikatakan : “ dia menganut madhzab Syi’ah, madzhab
Qadariyah, Murjiyah dan lain-lain sebagainya.
F.
Ibarat yang menunjukkan kepada derajat perawi dengan sesuatu lafadh
dari lafadh-lafadh yang telah lalu, kemudian diiringinya dengan
perkataan “ jiak dikehendaki allah”, atau menunjukan bahwa perawi itu
tidak teguh mempunyai sifat-sifat itu, seperti dikatakan:
1. dia seorang benar insya allah
2. saya harap dia orang yang dapat diterima
3. si polan orang yang sedikit salih
Al Hafidh ibnu Hajar Al Asqalani menambah lagi dengan perkataan :
“Yang dierima”
Golongan
ini ditulis haditsnya untuk dinadharkan. Tegasnya, tiga martabat yang
pertama, ditulis dengan tidak dinadharkan lagi. Tiga martabat yang ke
dua, ditulis haditsnya untuk dinadharkan. Diterima syahadat terhadap
penetapan-penetapan tersebut dengan akuan seorang yang mengetahui
sebab-sebab tazkiyah (ta’dil), seperti Asy Syafi’I, Ahmad dan Al
bukhari.
6. HUKUM JARH
Al
imam An Nawawi dalam muqaddamah Syarah Muslim mengatakan bahwa telah
sepakat para ulama membolehkan mencatat para perawi lantaran hal itu
diperlukan untuk memelihara agama. Hal ini tidak dipandang upa, bahkan
dipandang suatu nasehat yang harus kita lakukan demi kepentingan agama.
Ulama-ulam dan tokoh-tokoh utama membuat yang demikian.
7. MARTABAT-MARTABAT TAJRIEH
Sebagaimana
ta;dil bermatabat, begitu juga tajrieh. Kesatu, memakai kata-kata yang
menunjukkan kepada tercela perawi. Seburuk-buruk lafadh-lafadh tajrih,
ialah mensifatkan perawi dengan ibarat yang menunjukkan kepada sangat
dusta dalam mewadla’kan hadits, atau dengan kedua-duanya seperti :
1. Si polan seorang yang paling dusta
2. Seorang yang paling banyak membuat hadits palsu
3. Kepadanya puncak pembuatan hadits palsu
4. Dia tiang tonggak dusta
5. Dia sumber dusta
Kedua memakai kata-kata atau istilah :
1. Dia dajjal pengrusak
2. Dia seorang yang banyak memalsukan hadits
3. Dia seorang yang sangat pendusta
Kedua
mensifatkan perawi dengan salah satu sifat dusta dan memalsukan hadits,
tetapi tidak terlalu merekankan, atau mensifatkanny dengan sifat yang
kurang buruknya dari dusta dan memalsukan hadits seperti:
1. Si anu terdutuh berdusta
2. Si anu tertuduh memalsukan hadits
3. Si polan padanya ada peninjauan
4. Si polan seorang yang gugur
5. Si polan seorang yang biasa
6. Si polan orang yang tidak di I’tibarkannya
7. Si polan, tidak di I’tibarkan haditsnya
8. Si polan para ulama berdiam diri tentang halnya
9. Si polan seorang yang tidak diacuhkan
10. Si polan oaring yang di tinggalkan
11. Si polan orang yang ditinggalkan haditsnya
12. Si polan para ulam meninggalkannya
13. Si polan bukan orang kepercayaan
Ketiga memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :
1. Si polan para ulama membuang haditsnya
2. Si polan orang yang dicampak
3. Si polan orang yang dicampak haditsnya
4. Si polan dla’if sekali
5. Si polan orang yang ditolak
6. Si polan para ulama menolak haditsnya
7. Si polan orang yang ditolak haditsnya
8. Si polan tidak dipandang apa-apa
9. Si polan tidak menyamai apa-apa
Keempat memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :
1. Si polan tidak diambil hujjah dengan dia
2. Si polan munkar hadits
3. Si polan bolak-balik haditsnya
4. Si polan lemah
5. Si polan dla’if
6. Si polan para ulama melemahkannya
Kelima memakai sebutan-sebutan yang dibawah ini :
1. Si polan dilemahkan
2. Si polan padanya ada kelemahan
3. Si polan pada haditsnya ada kelemahan
4. Si polan padanya ada pembicaraan
5. Si polan pada haditsnya ada pembicaraan
6. Si polan diingkar dan diakui, yakni sekali membawa hadits munkar dan sekali dia membawa ma’ruf
7. Si polan padanya ada perselisihan
8. Si polan diperkatakan ulama
9. Si polan dicecat ulama
10. Si polan mempunyai kelemahan
11. Si polan buruk hafalannya
12. Si polan lembut
13. Si polan lembut haditsnya
14. Si polan bukan hujjah
15. Si polan tidak kuat
16. Si polan tidak kukuh
17. Si polan bukan pegangan
18. Si polan tidak ada artinya
19. Si polantidak sama dengan kuat itu
20. Si polan bukan orang tidak diridlai
21. Si polan saya tidak ketahui buruknya
22. Si polan saya harap tak ada buruknya
Golongan
ini ditulis haditsnya I’tibar. Golongan ini paling dekat kepada ta’dil.
Ibnu Abie Hatim mengatakan bahwa: “ orang yang lembut haditsnya”, maka
dikatakn laiyinul= orang yang lembut haditsnya, maka hadits tersebut di tulis untuk dinadharkan.
.