Kita harus berusaha beramal dengan berdasar dalil dalil yang shohih. Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan,
atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an
dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam
tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan
pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.
Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin
Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:
الإسناد
من الدين، ولولا الإسناد؛
لقال من شاء ما
شاء
“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka
orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I,
halaman 12)
Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam
dapat ditelusuri asal-muasalnya.
Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk
memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan
mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan
karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.
Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan
kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak
tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi
kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits
yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat
merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.
Hadits 1
صوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun
Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108),
oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid
Dhu’afa (3/227).
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al
Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh
Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini
maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para
ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini
benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam.
Hadits 2
نَوْمُ
الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ
، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ
، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah
tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman
(3/1437).
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi
dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam
Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم
في عبادة و إن
كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun
sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini
juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan
ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai
ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang
tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk
mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai
ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan
setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai
sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan
sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan
bermalas-malasan.