Ketika romadlon tiba kita rajin beribadah tapi setelah romadon berllalu amalan ibadah yang berupa sholat, puasa baca alquran, taklim sodaqoh dan lainnya tiba-tia surut bahkan menghilang. Ada kata-kata menarik yang menyadarkan kita akan hal ini,
“Kun rabbâniyyan, wa lâ takun ramadhâniyyan” Jangan menjadi manusia Ramadan,
yang kuat ibadahnya karena berada di bulan Ramadan saja, karena setelah bulan
itu berlalu, ia tak akan mengalami perubahan hidup untuk menjadi lebih
bertaqwa. Namun jadilah manusia pasca Ramadan yang memiliki nilai kepribadian
diri, penghambaan kepada Allah yang tak kenal henti, menjadi manusia bertaqwa
tanpa batas, sesuai target yang diharapkan dari penggemblengan yang dilakukan
selama sebulan. Dengan syaratnya, ia harus menjadi hamba Allah yang bobot
ibadahnya terus meningkat, sekali pun ia telah berada di luar bulan Ramadan.
Para sahabat menyiapkan diri mereka selama enam bulan untuk
menyambut kehadiran tamu agung bernama Ramadan. Pastinya mereka mati-matian
untuk beribadah full time selama sebulan penuh itu. Layaknya bertemu dengan
seorang yang dirindu, kita ingin berlama-lama bersama dengannya, menjamu,
memberinya pelayanan sebaik mungkin. Dan tentunya kita akan merasakan kesedihan
yang teramat dalam ketika harus berpisah dengannya.
Hal yang sama dirasakan oleh sahabat nabi di penghujung
Ramadan, mereka tak gembira dengan baju baru, kue-kue dan makanan ala lebaran
seperti umumnya kita. Tapi mereka justru bersedih, karena tamu agung itu sudah
harus pergi meninggalkan mereka.
Mâ ba’da Ramadhân, inilah masa-masa yang paling mencemaskan
bagi para sahabat nabi. Mereka takut akan amalan yang tertolak; puasa, qiyam
yang panjang, tilawah yang berulang kali khatam, infak harta, pengorbanan jiwa
raga dari satu medan perang ke perang lainnya, serta segudang amalan ibadah
lainnya yang mereka lakukan selama Ramadan, semuanya itu telah menjadi sebuah
kekhawatiran terbesar bagi diri mereka. Mereka lebih banyak berkontemplasi, dan
bermuhasabah dalam sebuah tanda tanya, “Apakah amal ibadahku di bulan Ramadan
kemarin diterima oleh Allah Swt.?”
Para sahabat merawat Ramadan dalam hati mereka dengan rasa
khauf dan raja’. Sekuat tenaga berusaha istiqamah dalam amalan ibadah mereka.
Lengah sedikit, akan memberikan indikasi amal ibadah mereka selama Ramadan
telah sia-sia. Karena di antara ciri dari diterimanya amal ibadah seseorang
dalam bulan Ramadan adalah; keringanannya dalam mengerjakan kebaikan dan
ibadah, serta jauhnya mereka dari melakukan kemaksiatan kepada Allah Swt.
Enam bulan pasca Ramadan mereka masih bersedih memikirkan
kepergian Ramadan. Mereka memohon dengan sungguh-sungguh agar amalan ibadah
selama sebulan penuh itu diterima oleh Allah Swt. Sedangkan di paruh tahun
sisanya, mereka kembali bergembira, bersiap diri menyambut kehadiran Ramadan,
sang tamu agung yang selalu mereka rindu.
Begitulah siklus hidup para orang shalih terdahulu, renggang
waktu dari Ramadan ke Ramadan berikutnya diisi dengan taqarrub ilallâh. Seakan
menutup semua celah untuk futur dalam beribadah. Rindu mereka adalah rindu
keimanan, pun dengan kesedihan mereka, kesedihan karena iman. Sehingga
hari-hari berjalan penuh kekhusyukan, hati mereka tenang, diisi dengan
mengingat Allah dalam kondisi apa pun. Karena Allah telah memberikan jaminan,
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar
Ra’du:28).
Mereka memiliki kepribadian yang layak untuk diteladani.
Lalu bagaimana dengan kita, sudahkah ibadah kita melebihi mereka sehingga lebih
merasa hebat dan yakin kalau amalan Ramadan kita diterima? Ittaqullâh yâ
ahibbâ’i, ibadah kita pastilah masih jauh dari kesungguhan para sahabat itu.
Sehingga rasa khauf dan raja’ yang kita miliki seharusnya lebih besar ketimbang
mereka.
Walhasil, shalih pasca Ramadan bukanlah hal fiktif. Kita
baru saja meninggalkan terminal ruhy, kita sudah men-charger diri kembali.
Battery full yang kita miliki, ditargetkan bertahan untuk sebelas bulan berikutnya.
Ramadan memang sudah pergi, karena datang dan pergi sudah
merupakan bagian dari sunnatullah dalam kehidupan ini. Memang dalam sebelas
bulan ke depan, tak ada puasa wajib seperti di bulan Ramadan lagi, tapi
sekarang kita masih memiliki amalan puasa yang lain, puasa sunnah 6 hari Syawal
misalnya, yang keutamaannya telah
dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits, “Barangsiapa berpuasa
penuh di bulan Ramadan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan
Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).
Masih ada puasa lainnya, seperti puasa sunnah Senin dan
Kamis, puasa ‘Arafah, ‘Asyura, puasa Daud, dsb. Qiyamul lail juga masih tetap
bisa kita lakukan. Shalat sunnah ini menempati posisi kedua setelah shalat
fardhu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw., “Shalat yang paling
utama sesudah shalat wajib adalah qiyamul lail.” (Muttafaqun ‘alaih). Beliau
juga menyebutnya sebagai da’bu shâlihin, atau tradisi dari orang-orang shalih.
Amal ibadah yang menjadi rutinitas kita selama sebulan
Ramadan diharapkan memang sudah menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga ketika
Ramadan telah berakhir, kita tak mengalami kesulitan untuk memulainya kembali.
Mumpung masih hangat aura Ramadan kita, mari bersama-sama kita hidupkan kembali
rutinitas baik kita itu. Menjadikan amalan-amalannya sebagai sebuah kebiasaan,
sekali pun sedikit, yang penting kita memiliki amalan andalan dan rutin
menjalankannya. Karena barang siapa yang memiliki amalan rutin yang baik,
selamanya ia tak akan mengalami kerugian, sekalipun ia terkena uzur, pahala
tetap mengalir untuknya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dituliskan, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, “Apabila seseorang menderita
sakit atau sedang bepergian maka dicatat pahala untuknya amal yang biasa ia
kerjakan di saat ia sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari).
Semoga kita tidak menjadi manusia Ramadan, yang
optimal ibadahnya selama sebulan saja, dan free di sebelas bulan berikutnya.
Tapi kita menjadi manusia rabbâniy, yang selalu mengingat Allah kapan dan dalam
bagaimana pun kondisi kita, seperti karakter ulul albâb yang termaktub dalam Al
Quran, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring.” (QS. Al Imran: 191).