Makna Ibadah Haji & Umrah
…….Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Ali Imron:97)
Ibadah haji diwajibkan bagi muslim yang mampu baik secara
materi maupun fisik. Mampu secara materi
di sini tidak selalu berarti orang kaya karena banyak muslim yang hartanya
berlimpah namun belum berhaji, sementara
ada banyak orang yang dilihat dari penghasilannya mungkin tidak seberapa
dan kehidupannya sederhana malah mampu melaksanakan Haji dngan ijin Allah. Mampu secara fisik memang dibutuhkan karena
ibadah haji banyak melibatkan kegiatan fisik jasmani dan pergerakan di tengah
jutaan manusia yang menyesaki lokasi pelaksanaan haji di Makah dan sekitarnya.
Ibadah Haji penuh dengan pelajaran moral yang dikemas dalam
pertunjukan kolosal menapak tilas perjuangan para Nabi dan rasul. Jamaah haji
diminta untuk bertindak sebagai aktor yang memerankan beberapa tokoh Manusia
unggul sepanjang jaman yaitu sebagai Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan
Nabi Ismail dengan mengambil lokasi otentik di tempat kejadian pada masa
lampau, yaitu Tanah suci Makah al Mukaromah yang diberkati hingga akhir jaman.
Bayangkanlah pertunjukan yang aktornya tidak menghayati
peran. Tentunya pertunjukkan tersebut akan terasa hambar. Setiap jamaah haji
harus memahami dan menghayati perannya agar tidak terjebak pada ritual tanpa
menyentuh makna yang ingin Allah sampaikan dalam rangkaian ibadah haji.
Bagi mukmin dan mukminat yang hidupnya dilingkupi aktivitas
dakwah dalam rangka menegakkan amar makruf nahi munkar, maka ia akan merasakan
sentuhan jihad dan nafas dakwah dalam setiap ritual haji. Hal yang mungkin tidak
akan terasakan oleh orang awam yang berhaji secara kebetulan karena punya uang
atau mengejar simbol semata. Tidak
dapat dipungkiri, ternyata banyak orang yang berhaji tanpa memahami makna dan
hakikat berhaji, sehingga aktivitasnya selama berhaji terasa hampa.
Jamaah Haji adalah Tamu Allah
Para jamaah Haji adalah Tamu yang dimuliakan oleh Allah.
Kepada para tamunya, Allah berjanji akan mengabulkan apapun yang diminta
tamunya sebagai penghormatan. Bahkan
Allah menyetarakan orang yang berhaji dengan orang yang berjihad, karena para
haji dan mujahid adalah orang-orang yang mau menjawab panggilan ketika Allah
memanggilnya.
Sabda Rasulullah saw: “Orang yang berperang di jalan Allah,
orang yang berhaji dan berumrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka dan
mereka menjawab panggilan itu. Karena itu ketika mereka meminta KepadaNya maka
Allah mengabulkannya”. Seorang sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah bukankah
jihad itu adalah amal yang paling utama? Jawab Rasul: “Jihad yang paling utama
adalah Haji mabrur” (HR Bukhari).
Namun di balik itu semua, karunia terbesar orang yang
berhaji adalah adanya janji Allah untuk menghapuskan seluruh dosa tamunya
dengan tanpa terkecuali. Termasuk dosa-dosa besar yang hanya dapat dihilangkan
melalui wukuf di Arafah. Allah berfirman dalam hadits Qudsi: “Allah berkata
kepada para Malaikat: ’Lihatlah hamba-hambaKu! Mereka datang kepadaKu dengan
rambut kusut dan berdebu karena berharap rahmatKu. Aku bersaksi kepadamu bahwa
Aku telah mengampuni mereka’” (HR Ahmad)
”Diantara berbagai dosa, ada dosa yang tidak akan tertebus
kecuali dengan wukuf di Arafah” (al Hadits).
Inilah harapan terbesar yang ingin diraih para jamaah haji
yaitu menghapuskan beban-beban dosa sehingga dengan dihapuskannya dosa-dosa
lama, maka seorang mukmin akan dapat menatap kehidupan di depan dengan lebih
baik dan melangkah lebih mantap karena beban dosa masa lalunya sudah berukuran,
walaupun tetap harus menghadapi tantangan perjuangan kehidupan yang berat di
depannya.
Perintah Haji Pertama kali
Perintah Ibadah Haji pertama kali disyariatkan oleh Allah
swt dan dilaksanakan oleh ummat manusia sejak jaman Nabi Ibrahim as, jauh
sebelum diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Sebagian besar prosesi Ritual Ibadah Haji merupakan cermin
perjuangan Nabi Ibrahim serta keluarganya yang selama hidupnya berdakwah
mengajak manusia untuk bertauhid namun juga terus menerus diuji Allah untuk membuktikan cintanya kepada Allah.
Dengan penuh keteguhan, Ibrahim mampu lulus melewatinya dan mendapat kemuliaan
sebagai suri tauladan bagi ummat manusia hingga akhir jaman dan namanya
diabadikan dalam Al Qur’an sebagai bapaknya para nabi dan kekasih Allah
pilihan.
Ujian pertama diterima Ibrahim ketika berusaha menemukan
Tuhan yang sebenarnya di tengah kaumnya yang menyembah berhala dan Tuhan
palsu. Akibatnya ia harus berhadapan
dengan Raja Namrudz dan kaumnya yang menghukum Ibrahim dengan dibakar
hidup-hidup di dalam tumpukan kayu bakar.
Namun di situlah Allah menampakkan kebesarannya menurunkan mukzizat
dengan menyelamatkan Ibrahim dari api yang membakarnya.
Selanjutnya, Allah menguji Ibrahim untuk merenovasi Kabah
yang menjadi symbol rumah Allah di muka bumi. Kabah pada awalnya didirikan oleh
para malaikat sebagai tempat thawaf di bumi selain Baitul Makmur yang menjadi
tempat thawaf para Malaikat di Sidratul Muntaha. Ritual Thawaf kemudian diajakarkan oleh para
malaikat kepada Nabi Adam, sekaligus memperbaiki kondisi Kabah yang mengalami
kerusakan dimakan usia.
Ketika seluruh daratan bumi terendam banjir pada jaman nabi
Nuh, Kabah mengalami kerusakan yang sangat berat sehingga hanya berbentuk
reruntuhan batu berserakan yang sudah tidak dapat dikenali lagi wujudnya.
Kemudian Allah memerintahkan Ibrahim dan Ismail untuk membina kembali Kabah dan
menjadikannya sebagai tempat berkumpul ummat manusia sebagaimana firman Allah
dalam QS Al Baqoroh 125 :
Dan, ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat
berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam
Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:
“Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’
dan yang sujud”.
Setelah selesai membangun kembali Kabah dari reruntuhannya,
Allah swt memerintahkan Ibrahim agar menyeru manusia untuk melaksanakan haji.
Peristiwa tersebut terungkap dalam firman Allah di QS Al
Dan, ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di
Baitullah “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah
rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan
orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk
mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan
mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
Lalu Nabi Ibrahim-pun bertanya kepada Allah, “Wahai Tuhan!
Bagaimana suaraku akan sampai kepada
seluruh manusia?” Allah berfirman, “Serulah! Akulah yang akan membuat suaramu
sampai kepada seluruh manusia”. Kemudian Nabi Ibrahim as. naik ke gunung Jabal
Qubaisy sambil menghadapkan wajahnya ke Timur dan Barat lalu beliau berseru, “Wahai
sekalian manusia, telah diwajibkan kepadamu menunaikan ibadah haji ke Baitul
Atiq, maka sambutlah perintah Tuhanmu Yang Maha Agung. ”
Seruan tersebut bergaung didengar oleh seluruh manusia baik
yang sudah lahir maupun yang belum lahir. Orang yang telah ditetapkan Allah
bahwa ia akan melaksanakan haji berkata “Labbaik, saya penuhi panggilan-Mu, Ya
Allah! saya penuhi panggilan-Mu.” Mereka yang menjawab sekali akan berhaji
sekali yang menjawab dua kali akan berhaji dua kali dan seterusnya. Sementara
Mereka yang tidak menjawab panggilan tidak akan melaksanakan haji selamanya.
Allah swt memuliakan Ibrahim as dan menjadikannya sebagai
Khalilullah atau Kekasih Allah. Semua
doanya dikabulkan Allah karena ia telah
membuktikan dirinya sebagai orang yang komit penuh kepada Allah. Ibrahim bukanlah seorang egois yang hanya
memikirkan dirinya semata. Ibrahim yang pernah diuji Allah tidak memiliki anak
hingga usia tua, sangat merasakan betapa pentingnya kehadiran anak dan generasi
penerys.
Sebagai seorang pemimpin visioner, ia memikirkan bagaimana
nasib ummat manusia generasi pelanjutnya jika mereka tidak lagi mengenal Allah
atau tidak mendapatkan petunjuk sepeninggalnya. Maka beliau meminta agar Mekah
dijadikan negeri yang diberkati dan agar Allah menurunkan seorang Rasul dari
penduduk Mekah sebagaimana yang dinyatakan dalam QS Al Baqoroh: 126-129:
Dan ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri
ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah
berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara,
kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat
kembali”.
Dan ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami),
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. “Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang
yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat
yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. “Ya Tuhan Kami,
utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan
kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al
Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk melaksanakan Haji,
Ibrahim meminta petunjuk kepada Allah tentang bagaimana caranya. Karena
pertanyaan Ibrahim-lah maka Allah menunjukkan cara manasik haji yang
dikehendakiNya sehingga ummat Manusia mengetahui cara melaksanakan ibadah Haji yang benar sesuai
dengan yang dikehendaki Allah.
Perintah Haji kepada Nabi Muhammad
Perintah menunaikan ibadah haji turun pada tahun ke-9 Hijrah
sesuai firman Allah dalam QS Ali Imron 96-97:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah
(Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya
terdapat tanda2 yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa
memasukinya menjadi amanlah dia;
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.”
Walaupun ibadah haji telah diajarkan Nabi Ibrahim kepada
ummat manusia, namun sepeninggal beliau banyak terjadi penyimpangan sehingga
ritual haji bercampur dengan berbagai kemusyrikan. Kabah yang seharusnya
menjadi tempat memuliakan dan mengesakan Allah justru menjadi pusat kemusryikan
dengan ditempatkannya banyak berhala-berhala di dalamnya. Jumlah berhala
tersebut terus bertambah dari masa ke masa karena masing-masing kabilah
berusaha menempatkannya di sana. Pada
saat Futuh Makah, Rasulullah mengalahkan kaum kafir Quraisy dan memasuki
Kabah, beliau menghancurkan seluruh
berhala yang berjumlah lebih dari 300 nerhala dengan menggunakan tongkat
beliau, Apa yang dilakukan Muhammad saw
tersebut persis seperti yang dilakukan nenek moyangnya yaitu Nabi Ibrahim yang
menghancurkan berhala-berhala yang disembah kaumnya dengan menggunakan
tongkatnya.
Setelah Mekah jatuh ke tangan kaum muslimin, Muhammad saw
memperbaharui kembali perintah ibadah haji dengan menunjukkan cara- manasik
yang benar dan membersihkannya dari ritual kemusyrikan pasca ditinggal Nabi
Ibrahim as.
Ketika musim haji tiba, para sahabat merasa ragu saat
diperintahkan Rasulullah untuk melaksanakan sa’i. Hal ini terjadi karena para
sahabat merasa risih melihat di masa jahiliyah, Safa dan Marwah adalah tempat
berhala dan kemusyrikan, sehingga mereka takut ibadah mereka bercampur
kemusyrikan dan perbuatan Jahiliyah.
Maka turunlah ayat berikut untuk menghapus kekhawatiran tersebut:
“Sesungguhnya Shafaa
dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke
Baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara
keduanya. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati.
Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”. (QS Al
Baqarah 158).
Selain ibadah haji, kaum muslimin pun diwajibkan untuk
melaksanakan umrah sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah 196:
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. jika
kamu terkepung, Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu
mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada
di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka
wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban.
apabila kamu telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah
sebelum haji, (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika
ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali.
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar fidyah)
bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada
Masjidil Haram. dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksaan-Nya.
Rasulullah saw selama hidupnya hanya sekali melaksanakan
ibadah haji yang sekaligus merupakan pelaksanaan Haji Wada’ (Haji Perpisahan)
yakni pada tahun 10 H. Pelaksanaannya diikuti oleh 100 Ribu kaum muslimin,
sehingga banyak manusia menjadi saksi yang melihat langsung bagaimana
Rasulullah melaksanakan manasik haji dengan benar.
Selain Haji, Rasulullah saw melaksanakan Umrah sebanyak 4
kali selama hidupnya dalam tahun yang berbeda setelah beliau berada di Madinah
yaitu :
Tahun ke 6 Hijrah diikuti 1400 orang sahabat, namun tidak
terlaksana karena dihalangi kafir quraisy yang akhirnya melahirkan perjanjian
Hudaibiyah.
Tahun ke 7 Hijrah sebagai umrah pengganti tahun ke 6 yang
batal.
Tahun ke 8 Hijrah setelah penaklukan Thaif dengan miqat di
Ji’ronah sekaligus sebagai umrah
pengganti karena ketika Rasulullah menaklukkan Makah pada bulan Ramadhan tidak
melakukan umrah.
Tahun ke 10 Hijrah, yang dilaksanakan bersamaan dengan Haji
Wada dengan miqat dan ihram di Dzul Hulaifah (bir Ali).
Kepada orang yang
mampu berhaji namun enggan mengerjakannya, Allah menyindirnya dengan firman :
”Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha kaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS Ali Imron:97).
Rasulullah saw pun menyampaikan ancaman kepada orang yang
mampu berhaji tapi tidak berhaji dengan menyamakannya sebagai orang kafir : ”Barang siapa yang telah memiliki bekal dan
kendaraan lalu tidak berhaji maka bila mati, ia mati sebagai yahudi atau
nasrani”.
Jadi, janganlah menunda pelaksanaan ibadah haji. Laksanakan
ketika dirasa cukup memiliki bekal dan selagi masih muda. Insya Allah akan menjadi berkah bagi
kehidupan kita. Kepada orang yang menunda-nunda pelaksanaan ibadah hajinya,
Rasulullah mengingatkan: “Bersegeralah melaksanakan haji, karena sesungguhnya
seorang di antara kamu tidak mengetahui apa yang akan merintanginya.”( HR.
Ahmad).
Idaman bagi setiap yang melaksanakan Haji adalah mendapat
predikat Haji Mabrur. Haji yang Mabrur artinya yang ibadah hajinya diterima
oleh Allah karena cara hajinya benar sesuai ketentuan Allah dan Rasulullah,
tidak dicemari bid’ah dan dosa, serta
mampu meningkatkan kualitas diri setelah selesai melaksanakan haji melalui
amalan amar ma’ruf nahi munkar sehingga menjadi sosok yang digambarkan
Rasulullah yaitu : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi
manfaat bagi manusia”.
“Dan haji mabrur itu
tiada balasan bagi-nya melainkan Surga” (Al Hadits)
Makna dan Hakikat Ritual Ibadah Haji
Dr Ali Syariati, dalam buku “Makna Haji”, menyampaikan bahwa
ibadah haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah dan formalitas belaka, melainkan
sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian manusia.
Melalui ritual thawaf, Allah ingin menunjukkan bahwa manusia
di tengah alam semesta tidak bisa lepas dari sunnatulah Hukum Gaya Tarik, yang
dengannya maka seluruh benda akan berputar pada orbitnya mengelilingi pusat
alam semesta yaitu Allah swt. Thawaf mengajarkan kepada kita untuk selalu
bergerak dalam orbit dan jangan pernah berdiam diri. Kita diminta untuk melebur
dalam pusaran manusia yang akan membawanya mendekat menuju Allah yang disimbulkan
oleh sosok Kabah. Thawaf mengajarkan
kepada manusia, kalau ingin selamat,
maka masuklah dalam Pergerakan karena kalau diam maka kita akan terhempas oleh arus manusia, arus jaman dan arus kehidupan.
Ritual Sa’i mengajarkan bahwa hidup di dunia adalah
perjuangan tanpa henti. Pelajaran perjuangan hidup tersebut diajarkan Allah
melalui sosok Hajar, seorang wanita budak hitam yang lemah tapi mempunyai
kekuatan luar biasa menghadapi tantangan
kehidupan. Allah mengajarkan agar kita
selalu tetap berusaha di tengah berbagai ketidakmungkinan. Karena di tengah
ketidakmungkinan, Allah mempunyai kuasa untuk memberikan pertolongan dari jalan
yang tidak diduga. Bayangkan…. apakah mungkin di tengah padang pasir tandus
seorang ibu dan anaknya bisa selamat, jika tanpa campur tangan pertolongan
Allah yang mengalirkan air melalui kaki mungil bayi Ismail.
Ibadah Wukuf di Arafah mengingatkan kita terhadap pertemuan
nenek moyang manusia, Adam dan Hawa, di Jabal Rahmah Padang Arafah setelah
keduanya diusir dari syurga dan diturunkan ke Bumi secara terpisah. Menurut
salah satu riwayat, Konon Adam diturunkan di Afrika sedangkan Hawa diturunkan
di India. Setelah melalui perjuangan tak kenal lelah kedua sosok manusia
tersebut akhirnya bertemu disertai pengampuan Allah terhadap taubat keduanya
yang telah melakukan dosa di Syurga akibat bujuk rayu Syetan terkutuk.
Melalui ibadah Mabit dan Jumrah di Mina, Allah mengingatkan
kita agar waspada terhadap godaan iblis yang tidak pernah berhenti menipu. Saat
jumrah, kita diminta berperan sebagai
Ibrahim menunjukkan sikap perang kepada
Iblis. Ada 3 Tugu yang menjadi simbol
wajah Iblis. Yaitu Jumratul Aqobah yang menjadi representasi Fir’aun (lambang
kekuasaan), Jumratul Uula sebagai representasi Karun (lambang harta), dan
Jumratul Wustho yang merepresentasikan Bal’am (lambang intelektualitas).
Di Mina kita diminta melaksanakan pemotongan hewan Qurban
mengikuti sunnah Nabi Ibrahim yang memotong seekor qibash setelah berhasil
lolos melawati ujian ketika harus mengorbankan anaknya Ismail atas perintah
Allah. Dibanding Ibrahim yang diminta mengorbankan anak, Jamaah haji hanya diminta
mengorbankan seekor hewan kurban sebagai simbol bahwa ia rela memotong nafsu
kebinatangan yang ada dalam diri manusia.
Nabi Ibrahim adalah sosok manusia luar biasa yang berhasil
lulus dari semua ujian yang Allah berikan kepadanya. Beliau bersedia mengorbankan
apapun yang dicintainya untuk memenuhi semua perintah Allah, sehingga akhirnya
Ibrahim diangkat menjadi Khalilullah (Kekasih Allah), imam dan panutan bagi
seluruh ummat manusia.
Para hujjaj sekembalinya dari Haji diharapkan menjadi sosok
layaknya Ibrahim yang mencintai Allah dengan segenap hati, tangguh, sabar
dan rela berkorban demi membuktikan cintanya kepada Allah.
Jangan sampai sepulang dari Haji tidak ada perubahan berarti, selain gelar haji
yang disematkan oleh orang-orang disekitarnya.
Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya: “Kelak di akhir
jaman, manusia pergi haji terdiri dari beberapa kelompok: Para penguasa pergi
haji untuk berwisata, para hartawan untuk berdagang, para fakir miskin untuk
meminta-minta dan alim ulama untuk mendapatkan nama dan pujian” (Hadits).
Setiap tahun 200.000 orang Indonesia berangkat Haji dan
kembali ke tanah air dengan menyandang gelar haji. Namun sangat disayangkan,
saat ini para haji masih belum memberikan kontribusi penting bagi perubahan di
masyarakat. Banyak yang berhaji karena
ingin mendapatkan status sosial yang lebih tinggi di masyarakat dan banyak juga
yang sekedar rekreasi mental sebagai
upaya untuk mengatasi rasa berdosa namun kemudian setelah kembali ke
tanah air kembali melakukan kemaksiatan. Tobatnya ibaray tobat sambel. Tobat
sih tapi kemudian kembali makan pedes.
Hal ini jauh berbeda dibandingkan apa yang telah dilakukan
para haji di masa lampau yang sekembalinya dari Haji, semakin meningkat
kontribusinya kepada masyarakat.
KH Ahmad Dahlan sekembalinya dari Haji mendirikan
lembaga Muhammadiyah yang berupaya memberantas kemusyrikan dan
kejumudan di dalam masyarakat melalui kegiatan pendidikan dan sosial kemasyarakatan.
Begitu juga dengan KH Wahid Hasyim, HOS Cokroaminoto, H Samanhudi dll.
Jaman penjajahan Belanda, Ibadah Haji sangat dibatasi karena
Belanda ketakutan mereka yang pulang Haji akan membawa semangat haji untuk
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ternyata memang benar, sekelompok kecil mereka yang
menunaikan ibadah haji jaman penjajahan Belanda kembali dengan membawa semangat
kemerdekaan setelah berinteraksi dengan kaum muslimin dari negara lain dalam
muktamar internasional ummat Islam se dunia di tanah suci Mekah.