Secara umum tafsir dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bir ro’yi. Dibawah ini kita jelaskan ada dua macam
tafsir ini beserta hukumnya:
1. Tafsir bil ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur
adalah tafsir yang berlandaskan naqli (8) yang
shahih, dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan
sunnah, yang merupakan penjelas kitabullah. Atau dengan perkataan para
sahabat yang merupakan orang-orang yang paling tahu tentang kitabullah,
atau dengan perkataan tabi’in yang belajar tafsir dari para sahabat.
Cara tafsir bil ma’tsur adalah dengan memakai atsar-atsar yang
menjelaskan tentang makna suatu ayat, dan tidak membicarakan hal-hal
yang tidak ada faedahnya, selama tidak ada riwayat yang shohih tentang
itu. (9)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahullah ,
Wajib diketahui bahwa nabi Shalallallahu alihi wa sallam telah
menjelaskan makna-makna Al-Qur’an kepada para sahabat sebagaimana telah
menjelaskan lafadz-lafadznya kepada mereka. Karena firman Allah
Subhanahu wa ta’ala,
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ…
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah dirurunkan kepada mereka (QS. An-Nahl: 44)
mencakup penjelasan lafadz-lafadz dan makna. (10)
Dan beliau Rohimahullah juga berkata,
Jika ada orang yang bertanya, “Apa jalan tafsir yang
terbaik?” Maka jawabannya adalah : Yang paling shahih dari cara
menafsirkan Al-Qur’an adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Apa
yang dimaksud mujmal di suatu ayat, dijelaskan di ayat lainnya. Apa
yang diringkas dalam suatu ayat, diperpanjang di tempat yang lain.
Kalau hal ini menyulitkanmu maka wajib bagimu mencarinya dalam sunnah
Rasulullah Shalallallahu alihi wa sallam, karena sunnah adalah pemberi
keterangan Al-Qur’an dan penjelas baginya. Allah berfirman,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan. (QS. An-Nahl: 44).
Dan karena inilah Rasulullah Shalallallahu alihi wa sallam bersabda,
Ketahuilah aku telah diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya (yaitu As-Sunnah) bersamanya. (11)
Dan jika kita tidak menjumpai tafsir dalam Al-Qur’an dan
sunnah, maka kita merujuk kepada perkataan para sahabat. Karena mereka
lebih tahu tentang tafsir dengan apa-apa yang mereka persaksikan dari
Al-Qur’an dan keadaan-keadaan khusus bagi mereka. Juga apa yang dimiliki
mereka dari pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang
shahih.
Dan jika kita tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Qur’an dan
tidak juga dalam As-Sunnah dan tidak juga dari perkataan para sahabat,
maka banyak para imam yang merujuk kepada perkataan tabi’in seperti
Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Atho’ bin Abi Robah,
Al-Hasan Al-Bashri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’in bin Al-Musayyib, Abul
‘Aliyah, Robi’ bin Anas, Qotadah, Adh-Dhohak bin Muzaahim dan yang
selain mereka dari tabi’in. (12)
Hukum Tafsir bil Ma’tsur.
Tafsir bil ma’tsur adalah yang wajib diikuti dan diambil. Karena
terjaga dari penyelewengan makna kitabullah. Ibnu Jarir Rohimahullah
berkata,
Ahli tafsir yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling
jelas hujjahnya terhadap sesuatu yang dia tafsirkan dengan dikembalikan
tafsirnya kepada Rasulullah dengan khabar-khabar yang tsabit dari beliau
dan tidak keluar dari perkataan salaf. (13)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahullah ,
Dan kita mengetahui bahwa Al-Qur’an telah dibaca oleh para sahabat,
tabi’in dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka paling
tahu tentang kebenaran yang dibebankan Allah kepada Rasulullah untuk
menyampaikannya. (14)
2. Tafsir Bir Ro’yi
Tafsir bir Ro’yi
adalah tafsir yang berlandaskan pemahaman pribadi penafsir, dan istimbatnya dengan akal semata. (15)
Tafsir ini banyak dilakukan oleh ahli bid’ah yang meyakini pemikiran
tertentu kemudian membawa lafadz-lafadz Al-Qur’an kepada pemikiran
mereka tanpa ada pendahulu dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Tidak
dinukil dari para imam ataupun pendapat merek dan tidak pula dari tafsir
mereka. (16)
Seperti kelompok Mu’tazilah yang banyak menulis tafsir berlandaskan
pokok-pokok pemikiran mereka yang sesat, seperti Tafsir Abdurrohman bin
Kaisar, Tafsir Abu ‘Ali Al-Juba’i, Tafsir Al-Kabir oleh Abdul Sabban dan
Al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamakhsari. (17)
Hukum Tafsir Bir Ro’yi
Adapun menafsirkan Al-Qur’an dengan akal semata, maka hukumnya adalah harom. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. (QS. Al-Isro’: 36)
Rasulullah Shalallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur’an dengan akalnya semata, maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka. (18)
Karena inilah, banyak ulama salaf yang merasa berat menafsirkan suatu
ayat Al-Qur’an tanpa ilmu, sebagaimana dinukil dari Abu Bakar
Ash-Shiddiq Rodhiyallahu anhu bahwa ia berkata,
Bumi manakah yang bisa membawaku, dan langit manakah yang akan
menaungiku jika aku mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an yang aku tidak
punya ilmunya? (19)
Dari Ibnu Abi Malikah Rohimahullah bahwasanya Ibnu Abbas Rodhiyallahu
anhu ditanya tentang suatu ayat yang jika sebagian di antara kalian
ditanya tentu akan berkata tentangnya, maka ia enggan berkata
tentangnya. (20)
Berkata Ubaidullah bin Umar Rodhiyallahu anhuma,
Telah aku jumpai para fuqoha Madinah, dan sesungguhnya mereka
menganggap besar bicara dalam hal tafsir. Di antara mereka adalah Salim
bin Abdullah, Al-Qosim bin Muhammad, Sain bin Musayyib dan Nafi’. (21)
Masyruq berkata, “Hati-hatilah kalian dari tafsir, karena dia adalah riwayat dari Allah.” (22)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahullah berkata,
Secara umum, barangsiapa yang berpaling dari madzhab sahabat dan
tabi’in dan tafsir mereka kepada tafsir yang menyelisihinya, maka telah
berbuat kesalahan, bahkan berbuat bid’ah (sesuatu hal yang baru yang
tidak ada contohnya dari Rasulullah Shalallallahu alihi wa sallam dalam
agama. (23)
Sumber : Dikutip dari majalah Al Furqon 01/II/1424H hal 17 – 18
Foot Note :
1) Majmu’ Fatawa 13/330.
2) Tafsir Thobari: 1/161.
3) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad yang shahih.
4) Majmu’ Fatawa: 13/332.
5) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad hasan.
6) Al-Itqon fi Ulumil Qur’an: 2/385.
7) Dinukil oleh Suyuthi dalam Al-Itqon: 2/386.
8) Dalil naqli yaitu dalil yang berasal dari Al-Qur’an atau As-Sunnah -red. vbaitullah.
9) Mabahits fi Ulumil Qur’an hal. 358.
10) Majmu’ Fatawa: 13/331.
11) Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Hadits Hujjatun binafsihi hal. 32.
12) Majmu’ Fatawa13/363 – 369, 368 – 369 dengan sedikit ringkasan.
13) Tafsir Thobari: 1/66 dengan beberapa ringkasan.
14) Majmu’ Fatawa: 13/362.
15) Mabahits fi Ulumil Qur’an, hal. 362.
16) Majmu’ Fatawa: 13/358.
17) Majmu’ Fatawa: 13/357.
18) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 1/58 dengan
yang shahih mauquf (terputus), tetapi mempunyai hukum marfu’ (bersambung
sampai kepada Nabi) karena berhubungan dengan hal ghoib yang tidak
mungkin bersumber dari akal semata.
19) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 1/58 dengan sanad yang shahih.
20) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 1/62-63 dengan sanad yang shahih.
21) Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya: 1/62 dengan sanad yang shahih.
22) Diriwayatkan oleh Abu Ubaid dengan sanad yang hasan sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya: 1/12.
23) Majmu’ Fatawa: 13/361.