ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Sabtu, 19 September 2015

Kapan Puasa Arafah ? Mengikuti Wukuf atau Sesuai Wilayah Masing-masing ?

Asalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Kemarin malam Senin 13 september Kemenag melalui dirjen BIMAS Islam menyampaikan hasil siding itsbat sebagai hasil dari penggunaan metode imaknur ru'yat terkait dengan penentuan hari arofah dan hari raya Idul Adha. Pemerintah memutuskan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H jatuh pada hari Selasa 15 September 2015 sehingga hari Arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu tanggal 23 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Kamis 24 september 2015.

Sementara Muhammadiyah dengan metode wujudul hilalnya sudah menetapkan jauh sebelumnya bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H jatuh pada hari Senin 14 September 2015 sehingga hari arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Selasa tanggal 22 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu 23 September 2015.

Adapun pemerintah Arab Saudi, menurut informasi juga menetapkan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H jatuh pada hari Selasa 15 September 2015 sehingga hari Arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu tanggal 23 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Kamis 24 september 2015.

Keputusan pemerintah Arab Saudi terkait dengan hari Arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu tanggal 23 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Kamis 24 september 2015 yang berbeda dengan jadwal perjalan haji yang sudah dirilis oleh kemenag dimana dicantumkan bahwa wukuf di Arofah jatuh pada hari Selasa tanggal 22 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu 24 September 2015 mungkin sedikit membuat ragu beberapa warga dan simpatisan Muhammadiyah.

Untuk itu perlu dijelaskan kepada warga Muhammadiyah dan simpatisan Muhammadiyah meskipun keputusan Muhammadiyah terkait dengan penetapan tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H, Hari Arofah dan hari idul Adha berbeda dengan pemerintah dan bahkan juga berbeda dengan Arab Saudi, bahwa keputusan itu benar adanya berdasarkan metode Hisab Wujudul Hilal yang dipedomani Muhammadiyah. Penjelasan tersebut diberikan agar mereka tidak ragu ketika melaksanakan puasa Arofah besok selasa 22 September 2015 dan shalat Idul Adha besok Rabu 23 September 2015.
Apakah Puasa Arafah harus dikerjakan bersamaan dengan jama'ah haji yang sedang berwukuf ?

ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ ﺃَﺣْﺘَﺴِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻥْ ﻳُﻜَﻔِّﺮَ ﺍﻟﺴَّﻨَﺔَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻗَﺒْﻠَﻪُ ﻭَﺍﻟﺴَّﻨَﺔَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺑَﻌْﺪَﻩُ
"Puasa hari Arofah aku berharap kepada Allah agar penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya" (HR Muslim no 197)

Kalangan ulama berbeda pendapat terkait dengan makna kalimat ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ "Puasa hari Arofah...".

Pendapat pertama mengatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan bersamaan dengan wukufnya para jama'ah haji di padang Arafah.

Pendapat Kedua menyatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada masing-masing wilayah.

Masalah tersebut adalah masalah khilafiyah fiqhiyah, sehingga dibutuhkan adanya kelapangan dada untuk legowo dalam menghadapi permasalahan ini, tidak perlu ngotot apalagi menuduh orang yang berbeda pendapat dengan tuduhan yang tidak-tidak. Kita hadapi permasalahan tersebut dengan saling berlapang dada. Jika setiap permasalahan khilafiyah kita ngotot maka kita akan selalu ribut.

Permasalah tersebut pada dasarnya berangkat dari dasar yang sama, hanya berbeda dalam memahami teksnya saja. Jika seandainya Nabi saw. dalam hadits tersebut bersabda "Puasa Arafah lah kalian ketika para jam'ah haji sedang wukuf di padang Arafah", tentu tidak akan muncul persoalan. Akan tetapi karena sabda nabi saw. berbunyi ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ "Puasa hari Arofah...", maka muncullah perbedaan dalam memahami sabda Nabi tersebut, apakah maksudnya adalah "hari dimana para jama'ah haji sedang wukuf di Arafah"? ataukah yang dimaksud adalah "hari tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan dengan hari Arofah?".

Muhammadiyah dalam hal ini memahami bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada di wilayah Indonesia sesuai dengan hasil perhitungan metode hisab wujudul hilal. Oleh karena itu, puasa Arafahnya tidak harus bersamaan dengan jama'ah haji yang sedang berwukuf di Arafah ketika terjadi perbedaan hari antara Muhammadiyah dan pemerintah Arab Saudi.
Beberpa argumentasi dapat dikemukakan untuk mendukung pemahaman Muhammadiyah tersebut, yaitu :

PERTAMA : Rasulullah saw. telah menamakan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 dzulhijjah meskipun kaum muslimin belum melasanakan haji.

Dalam sunan Abu Dawud :
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
Dari Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata : "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada 9 Dzulhijjah, hari 'Aasyuroo' (10 Muharrom) dan tiga hari setiap bulan" (HR Abu Dawud)

Hadits di atas menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbiasa puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Tatkala mengomentari lafal hadits yang berbunyi :"Orang-orang (yaitu para sahabat) berselisih tentang puasa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (tatkala di padang Arofah)", Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

"Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arafah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, terbiasa mereka lakukan tatkala tidak bersafar. Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar kepada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar" (Fathul Baari 6/268)

Perlu diketahui bahwa Nabi saw. hanya berhaji sekali yaitu pada saat haji wadaa'- dan ternyata Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa di hari Arafah meskipun tidak ada dan belum terlaksananya wukuf di padang Arafah oleh umat Islam pada saat itu. Hal itu menujukan bahwa konsentrasi penamaan puasa Arafah tidak karena adanya orang sedang berwukuf di Arafah, tapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah.

KEDUA : Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin -taruhlah- sekitar 200 tahun yang lalu, sebelum ditemukannya telegraph, apalagi telepon. Maka jika puasa Arafah penduduk suatu negeri kaum muslimin harus sesuai dengan wukufnya jama'ah haji di padang Arafah, maka bagaimanakah puasa Arafahnya penduduk negeri-negeri yang jauh dari Makkah seperti Indonesia, India, Cina dll 200 tahun yang lalu? apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?.

Demikian juga bagi yang hendak berkurban, maka sejak kapankah ia harus menahan untuk tidak memotong kuku dan mencukur rambut?, dan kapan ia boleh memotong kambing kurbannya?, apakah harus menunggu kabar dari Makkah? yang bisa jadi datang kabar tersebut berbulan-bulan kemudian?

KETIGA : Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama'ah haji di padang Arafah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong adalah 6 jam?.

Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Makkah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam. Dan tatkala penduduk Makkah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Makkah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf??

KEEMPAT : Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama'ah haji tidak bisa wukuf di padang Arofah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama'ah yang wukuf di padang Arafah?

Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arafah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arafah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Maka barang siapa yang satu mathla' dengan Makkah dan tidak berhaji maka hendaknya ia berpuasa di hari para jama'ah haji sedang wukuf di padang Arafah karean pada saat itu di Makkah sudah tanggal 9 Dzhulhijjah, akan tetapi jika ternyata mathla'nya berbeda -seperti penduduk kota Sorong- maka ia menyesuaikan 9 dzulhijjah dengan kalender di Sorong.

Intinya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah. Meskipun Muhammadiyah lebih condong kepada pendapat kedua -yaitu setiap negeri menyesuaikan 9 dzulhijjah berdasarkan kalender masing-masing negeri-, tetapi Muhammadiyah menyadari ada juga pendapat pertama yang tentu juga punya argumen kuat

Permasalahan seperti ini sangatlah tidak pantas untuk dijadikan ajang untuk saling memaksakan pendapat, apalagi menuding dengan tuduhan kesalahan manhaj atau kesalahan aqidah dan sebagainya. Semoga Allah mempersatukan kita di atas ukhuwwah Islamiyah yang selalu berusaha untuk dikoyak oleh syaitan dan para pengikutnya. Kita harus mempunyai sikap setuju dalam perbedaan. Wallahu a'lam bish shawab

Wasalamu'alaikum wr.wb.

Senin, 07 September 2015

Sisi Tarbiyah / Edukasi Puasa

Takwa yang menjadi tujuan ibadah puasa sejatinya adalah konsep perilaku moral yang dalam konteks pendidikan umum merupakan hal rumit. Socrates (Kneller, 1971: 223) pernah mengatakan bahwa perilaku moral dapat diajarkan jika dan hanya jika dimaksudkan menyadarkan seseorang tentang kebaikan.

Guru paling-paling dapat mengharapkan siswa (a) tahu tentang apakah benar dan salah, (b) tahu mengapa begitu, dan (c) memiliki beberapa ide tentang apa yang harus dilakukan tentang apa yang diketahui. Para guru juga dapat menguji pemahaman tentang moralitas, tetapi guru tak dapat menjamin seorang  murid yang paling baik pengetahuannya adalah paling bermoral.

Tindakan moral merupakan gerakan disengaja, diawali suatu proses kompleks di dalam jiwa dan hubungannya dengan badan. Dalam filsafat jiwa (philosophy of mind), psikologi, dan etika, kesengajaan dan kesadaran sering kali dianggap sebagai hal yang membedakan perilaku manusia dengan makhluk lainnya, dan menyebabkan perilaku tersebut sebagai obyek moral.

Nilai dan moral

Mengapa manusia melakukan tindakan yang disengaja? Ada banyak teori, yang di sini disebutkan sekadar gambaran. Teori peristiwa mental (mental event theory) menjelaskan bahwa kesengajaan terjadi karena ada peristiwa  mental  mendahului tindakan, seperti alasan, niat, keputusan, pilihan, dan konsep pemecahan. Misalnya, guru bertanya di kelas, dan saya-setelah mempertimbangkan-memutuskan untuk mengangkat tangan, kemudian melakukannya dalam kenyataan: mengangkat tangan.

Teori keagenan (the theory of agency) menyatakan: diri bergerak disebabkan “sesuatu” yang belum tentu peristiwa mental. Diri itu sendiri, menurut teori ini, adalah sebuah agen yang punya kekuatan dasar dan unik untuk memengaruhi dunia,  dan menghasilkan tindakan. Beberapa filsuf mengaitkan berbagai  penyebab kesengajaan tindakan dengan respons, tujuan, dan konteks.

Sementara para psikolog kini cenderung melihat perilaku sebatas gejala-gejala yang tampak dan teramati saja. Jiwa yang di dalamnya terdapat kesadaran dan intensionalitas tak dianggap penting karena tidak dapat diobyektivikasi. Maka, penganut behaviorisme menyimpulkan bahwa perilaku manusia hanyalah respons terhadap stimulus yang dapat dikondisikan.

Sebagaimana sifatnya, perdebatan filsafat memang tak tuntas pada kesimpulan tunggal, apalagi tentang perilaku yang melibatkan jiwa, badan, dan hubungan antara keduanya yang sejak Plato dan Aristoteles  pada sekitar abad ke-5 dan ke-4 SM telah diperdebatkan. Tuhan sendiri telah mengingatkan bahwa jiwa (roh) itu urusan-Nya, dan manusia hanya diberi sedikit pengetahuan tentang hal itu (Q.s, al-Isra: 85).  Renungan filosofi dan studi psikologi mengenalkan tiga  kandungan jiwa, yaitu kognisi, afeksi, dan kehendak, yang berkolaborasi dengan badan membentuk kesadaran dan tindakan sengaja. “Misteri” dan kompleksitas jiwa dan hubungannya dengan badan kiranya menyulitkan metode pendidikan nilai dan moral.

Berpuasa utamanya memang menyangkut badan: menahan makan, minum, dan syahwat.  Namun, nilai yang menentukan dan sasaran puasa menohok jiwa sebagai sumber baik proses kognitif maupun konatif yang memengaruhi dan menyebabkan tindakan sadar.  Proses kognitif bersangkutan dengan cara memperoleh dan mengolah pengetahuan,  seperti mencerap, mengingat, menalar, dan berpikir. Sementara proses konatif meliputi  perasaan, kehendak, dan dorongan hati.

Berpuasa mendidik penalaran dengan membangun kesadaran dan melatih kehendak agar patuh pada kesadaran. Oleh sebab itu, berpuasa tidak boleh berhenti pada ritual mekanistik fisik, dan sangat ditekankan perlunya “imanan wahtisaban”,  keyakinan dan kewaspadaan.

Metode puasa, dari sisi filsafat dan teori pendidikan, merupakan proses pembelajaran dengan mengalami (experiencial learning) atau dalam istilah John Dewey: learning by doing. Dengan melakukan puasa orang seharusnya  mencerap pengetahuan, memperoleh kesimpulan dan makna, serta pembiasaan yang jadi sikap hidupnya. Kok bisa?

Imam Al-Ghazali (450 H/1058 M-505 H/1111 M), baik dalam buku-buku filsafat maupun dalam buku-buku tasawufnya menyebutkan (Nasir Nasution, 1988: 65) bahwa struktur eksistensial manusia terdiri dari jiwa (al-nafs, al-ruh) dan badan (al-jism) yang membentuk suatu entitas dalam realitas yang disebut manusia. Menurut Al-Ghazali, dalam proses mengetahui dan proses terjadinya perbuatan manusia, badan berfungsi instrumental bagi jiwa, seperti hubungan kuda dengan penunggang kuda. Jiwalah yang memegang inisiatif yang menentukan perbuatan.

Badan, lanjut Al-Ghazali, sering kali jadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai/menangkap hakikat, terutama hakikat diri sebagai dasar menangkap hakikat Tuhan dan kebenaran.  Ada lima situasi jiwa yang terhalang menangkap hakikat, yaitu belum sempurnanya jiwa, jiwa yang kotor karena maksiat, terlalu menurutkan keinginan badan, jiwa tertutup karena taklid, dan karena tidak berpikir logis.

Seringnya menurutkan keinginan badan akan membuat jiwa terlena pada hal-hal yang konkret dan menyenangkan sehingga daya vegetatif dan daya sensitif pada badan jadi kekuatan “liar” yang tak terkontrol oleh jiwa yang makin lemah. Dalam situasi itu, meskipun pengetahuan “akal” mampu memetakan mana yang baik dan buruk di dalam jiwa,  tetapi “kehendak” (iradat)-juga unsur jiwa- yang terdominasi tuntutan badan sering kali tak mampu memilih apa yang dikatakan “akal” baik. Sebagai ilustrasi,  banyak dokter yang tentu tahu bahwa merokok tak baik buat kesehatan, tetapi ia tetap merokok.

Tuntutan badan harus tetap ada dan terpelihara karena merupakan ekspresi kebutuhan dasar untuk sintas. Makan dan minum berguna agar tubuh tetap eksis, sementara libido perlu untuk regenerasi supaya spesies manusia tak mengalami kepunahan.

Namun, daya-daya primordial ini perlu dikelola agar tak jadi ekstremitas sebagai sumber malapetaka. Berbagai tragedi kemanusiaan dalam sejarah, di antaranya dimulai pembunuhan Habil oleh Qabil, Perang Dunia I dan II, genocide, aneksasi Amerika Serikat atas Irak, perdagangan manusia, HIV/AIDS, ataupun korupsi, jika dirunut merupakan besaran persoalan-persoalan yang bersumber dari perut dan (maaf) sedikit di bawah perut.

Berpuasa adalah cara Tuhan memelihara agar jiwa tak kalah dan “terjajah” oleh daya-daya badan dengan menguatkan jiwa dan “menjinakkan” badan melalui proses penyesuaian diri. Dalam buku-buku tasawuf yang ditulisnya  setelah menjadi sufi,  Al-Ghazali-juga sufi pada umumnya-melihat badan secara lebih negatif daripada fungsi instrumental positifnya, yaitu sebagai hambatan yang tuntutannya perlu dijauhi. Ia menekankan perlunya inisiatif dan kontrol jiwa terhadap badan dan tuntutan- tuntutannya. Untuk itu, kata, Al-Ghazali, “lapar” (al-ju’) dan pembersihan jiwa merupakan hal utama yang perlu dilakukan agar manusia mencapai kesempurnaan alias insan kamil.

Kejujuran pilar takwa

Merasa selalu “dilihat” Tuhan adalah kesadaran utama yang menyertai orang berpuasa. Oleh sebab itu, ketika haus, lapar, dan syahwat menyergapnya di siang hari, keinginan itu tidak segera  dipenuhinya meskipun dapat dilakukan dengan bersembunyi. Kesadaran bahwa Tuhan tidak bisa dikelabui dan kehendak yang terkendali selama sebulan itu,  seyogianya jadi sikap menetap pada umat yang berpuasa, yang membuahkan perilaku jujur.

Kejujuranlah nilai  yang hendak ditanamkan dalam ibadah puasa karena kejujuran adalah pilar utama ketakwaan sehingga tak mungkin kesalehan hidup terwujud tanpa kejujuran.  “Hanya jujur saja, ya, Rasulullah?” tanya preman yang ingin tobat. “Ya, jangan berbohong,” jawab sang Nabi dalam suatu kisah. Kejujuran menuntun sang preman jadi  saleh karena setiap akan berbuat jahat ia teringat komitmen kejujurannya pada Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad sendiri digelari al-amin (orang tepercaya, amanah) sebelum diangkat menjadi rasul.

Sepuluh Pembatal / Perusak Keislaman Seseorang


Alhamdulilah kita terlahir dilingkungan islam tinggal bagaimana kita memupuk keislaman kita agar lebih berkualitas , tapi kebanyakan kita justru malah membiarkan keislaman kita rusak bahkan batal. berikut ini hal-hal yang dapat merusak/membatalkan keislaman kita
Pertama: Kesyirikan (beribadah kepada selain Allah).
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia mengampuni semua dosa di bawah dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh di telah mengadakan dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’:48)
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putera Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabb kalian”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan tempatnya adalah di neraka, tidak ada seorangpun penolong bagi orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 72)
Kedua: Berpaling dari Islam dengan lebih memilih agama Yahudi, Nashrani, Majusi, Komunis, Sekularis, atau selainnya dari keyakinan yang membawa kekufuran jika dia menyakininya.
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut kepada kaum mukminin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kalian dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila para malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus amalan-amalan mereka. Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau kami kehendaki, niscaya kami tunjukkan mereka kepada kalian sehingga kalian benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya, dan kalian benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (QS. Muhammad: 25-30)
Ketiga: Orang yang tidak mengkafirkan orang kafir baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi, orang-orang musyrik, atau orang yang mulhid (Atheis) atau selain itu dari berbagai macam kekufuran. Atau dia meragukan kekafiran mereka atau dia membenarkan mazhab/ajaran mereka, maka dia telah kafir.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasulNya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir dengan sebenar-benarnya kekafiran. Kami Telah menyediakan siksaan yang menghinakan untuk orang-orang yang kafir itu.” (QS. An-Nisa’: 150-151)
Keempat: Orang yang meyakini bahwasanya petunjuk selain petunjuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wassallam- lebih sempurna atau meyakini bahwa hukum selain hukum yang dibawa oleh Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- lebih baik (daripada petunjuk dan hukum beliau). Seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum thagut daripada hukum yang dibawa oleh Rasulullah -Shallallahu’alaihi wasallam-.
Allah Ta’ala berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan, dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85)
Kelima: Orang yang membenci apa yang dibawa oleh Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam-, walaupun dia mengamalkannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghilangkan amalan-amalan mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang Allah turunkan maka Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (QS. Muhammad: 8-9)
Keenam: Orang yang mengolok-olok (menghina) Allah, Rasul, Al-Qur’an, agama Islam, malaikat, atau para ulama karena ilmu yang mereka miliki. Atau menghina salah satu syiar dari syiar-syiar Islam seperti, shalat, zakat, puasa, haji, tawaf di Ka’bah,wukuf di ‘Arafah, atau menghina Masjid, azan, jenggot, atau sunnah-sunnah Rasulullah -shollallahu’alaihi wasallam lainnya, dan syi’ar-syi’ar agama Allah, dan tempat-tempat yang disucikan dalam keyakinan Islam serta yang terdapat keberkahan padanya.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya, dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir setelah beriman. Jika kami memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka taubat), niscaya kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 65-66)
Ketujuh: Sihir, termasuk ash-shorfu (merubah seseorang dari sesuatu yang dicintainya menjadi yang dibencinya) dan al-athfu (mendorong seseorang dari sesuatu yg dibencinya menjadi dicintainya/pelet dan semacamnya, pent.)
Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), akan tetapi justru setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (kepada kamu) sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat memisahkan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak bisa memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberikan mudharat kepada mereka dan tidak pula memberi manfaat kepada mereka. Sungguh mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 102)
Kedelapan: Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka dalam rangka memerangi kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti sebagian dari ahli kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman. Bagaimanakah kalian (bisa sampai) kafir padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian dan Rasul-Nya berada di tengah-tengah kalian? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imron: 100-101)
Kesembilan: Meyakini bahwa ada sebagian manusia yang diberi keleluasaan untuk keluar dari syariat Rasulullah -shollallahu ’alaihi wasallam-, sebagaimana Nabi Khidir diperbolehkan keluar dari syariat yang dibawa Nabi Musa -‘alaihissalam-.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.” (QS. Saba’: 28)
Kesepuluh: Berpaling dari agama Allah Ta’ala, tidak mempelajarinya, dan tidak beramal dengannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian dia berpaling darinya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS. As-Sajdah: 22)
Allah Ta’ala berfirman, “Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al-Quran). Barangsiapa yang berpaling dari Al-Qur’an, maka sesungguhnya dia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalamnya dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat.” (QS. Thaha: 99)