ASALAMU 'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH BLOG By MUH FAJAR HUDI APRIANTO @ MARI KITA GUNAKAN WAKTU KITA YANG TERSISA DENGAN SEBAIK MUNGKIN KARENA WAKTU KITA HANYA SEDIKIT AGAR KITA TIDAK TERMASUK ORANG ORANG YANG MERUGI mafa GUNAKAN WAKTU MUDAMU SEBELUM DATANG WAKTU TUAMU WAKTU SEHATMU SEBELUM DATANG WAKTU SAKITMU KAYAMU SEBELUM TIBA MISKIN WAKTU LAPANGMU SEBELUM TIBA WAKTU SEMPITMU DAN GUNAKAN WAKTU HIDUPMU SEBELUM TIBA MATIMU pesan nabi

Senin, 25 Mei 2015

Download Murottal per Juz Syaikh Emad Al-Mansary


  1. Murottal per Juz Syaikh Emad Al-Mansay, insya Allah membantu bagi para penghafal alquran dalam mengulang-ulang hafalannya.

  2. silahkan download murottalnya, semoga bermanfaat,,,  

  3. Al Fatihah Al Fatihah.mp3
  4. Murottal (Juz 1) الجزء ١
  5. Murottal (Juz 2) الجزء ٢
  6. Murottal (Juz 3) الجزء ٣ 
  7. Murottal (Juz 4) الجزء ٤ 
  8. Murottal (Juz 5) الجزء ٥
  9. Murottal (Juz 6) الجزء ٦ 
  10. Murottal (Juz 7) الجزء ٧
  11. Murottal (Juz 8) الجزء ٨
  12. Murottal (Juz 9) الجزء ٩
  13. Murottal (Juz 10) الجزء ١٠ 
  14. Murottal (Juz 11) الجزء ١١
  15. Murottal (Juz 12) الجزء ١٢
  16. Murottal (Juz 13) الجزء ١٣ 
  17. Murottal (Juz 14) الجزء ١٤
  18. Murottal (Juz 15) الجزء ١٥ 
  19. Murottal (Juz 16) الجزء ١٦ 
  20. Murottal (Juz 17) الجزء ١٧ 
  21. Murottal (Juz 18) الجزء ١٨ 
  22. Murottal (Juz 19) الجزء ١٩ 
  23. Murottal (Juz 20) الجزء ٢٠
  24. Murottal (Juz 21) الجزء ٢١
  25. Murottal (Juz 22) الجزء ٢٢
  26. Murottal (Juz 23) الجزء ٢٣ 
  27. Murottal (Juz 24) الجزء ٢٤ 
  28. Murottal (Juz 25) الجزء ٢٥ 
  29. Murottal (Juz 26) الجزء ٢٦
  30. Murottal (Juz 27) الجزء ٢٧ 
  31. Murottal (Juz 28) الجزء ٢٨ 
  32. Murottal (Juz 29) الجزء ٢٩
  33. Murottal (Juz 30) الجزء ٣٠                 

Rabu, 20 Mei 2015

Siapakah Sebenarnya Orang Yang Cerdas Itu?

Rasulullah Saw. bersabda:
عن ابي يعلى شداد ابن اوس رضي الله عنه قال قال رسول الله ص م الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ (رواه الترميذي)
Dari Abi Ya’la Syaddad bin Aus ra. berkata, Rasulullah Saw bersabda: Orang yang cerdas itu adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya, dan mengerjakan untuk kehidupan setelah kematian. Dan yang lemah itu adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berandai-andai kepada Allah. (HR. Turmudzi)
Kata dana pada hadits tersebut disyarah oleh para ulama dengan beberapa pengertian, di antaranya al-khudu’ yang bermakna ketundukan atau ketaatan. Orang pintar dalam hadits ini bukanlah orang yang bangga dengan ijazah sarjananya, atau bangga dengan gelar keprofesorannya, atau orang yang pandai dengan ilmu retorika bahasa, mampu menguasai massa demi kepentingan politiknya, atau dengan hal-hal lainnya.
Al-Kaisu, orang yang cerdas yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw adalah orang yang mampu dengan bijak mengendalikan hawa nafsunya untuk tunduk dan taat terhadap perintah Allah Swt serta menjahui segala larangan-larangan-Nya. Ungkapan senada dapat kita temukan juga dalam hadits Rasulullah Saw lain, yang menyebutkan bahwa orang yang paling berani itu adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya. Dan juga jihad yang lebih besar daripada peperangan mengangkat senjata, adalah jihad melawan hawa nafsu.
Wahai saudaraku, betapa banyak orang pintar di dunia ini yang tidak sanggup menguasai keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjerumuskan dirinya dalam kehinaan di pandangan Allah Swt. Na'udzubillahi min dzalik.
Salah satu contohnya seperti sebagian para pejabat-pejabat yang suka melakukan korupsi, menelantarkan kepentingan rakyat demi kesejahteraan hidup pribadi, adakah ia itu pandai ataukah bodoh? Mungkin jika dipandang dari strata sosial dan jenjang akademik yang diperolehnya maka ia kita golongkan kepada orang pandai, tapi sebenarnya ia adalah orang yang lemah akalnya dan pengecut. Hawa nafsulah yang menguasai dirinya, bukan dirinya yang menguasai hawa nafsu. Merekalah al-‘ajiz, orang-orang lemah yang dimaksud dalam hadits al-kaisu man dana nafsahu wa ‘amila lima ba’dal maut, wal ‘ajizu manittaba’a nafsahu hawaha wa tamanna ‘alallahi.
Demikian pula dengan orang-orang pintar yang menipu orang lain yang dianggapnya bodoh, pahadal sebenarnya dirinya sendirilah yang tertipu. Layaknya orang-orang munafik yang hendak menipu orang-orang yang beriman mereka tidak menyadari bahwa merekalah sebenarnya orang-orang bodoh lagi tertipu, (hal ini dapat kita temukan, dijelaskan dalam surat al-baqarah ayat 9-13)
Adapun makna lain dari lafaz dana selain al-khudu’, ialah muhasabah, yakni mengintropeksi diri. Jadi orang-orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa mengintropeksi dirinya, dan melakukan perbaikan. Orang-orang seperti ini memiliki visi dan misi jauh ke depan, tidak hanya menyiapkan bekal untuk dunia, tapi juga untuk akhiratnya. Demikianlah Islam mengajarkan umatnya menjadi orang-orang yang sukses dunia akhirat. Memotivasi untuk optimis dan berbuat lebih baik dan yang terbaik, dengan menyandarkannya semua kepada Allah Swt.
Ada beberapa hal yang perlu ditinjau dalam melakukan muhasabah;
1. Aspek Ibadah ( الجَانِبُ التَّعَبُّدِي )
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini; ‘Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.’ (QS. 51 : 56).
Setiap musim harus berusaha untuk meningkatkan amal ibadahnya. Mulai dari niat, tatacara, pelaksanaan, penghayatan, dan pemberian dampaknya dalam kehidupan. Sudahkah kita ikhlas selama ini beribadah hanya kepada Allah semata, atau ada niat lain yang terkandung dalam hati, riya umpamanya? Sudahkah benar cara saya beribadah, apa demikian ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah yang dijelaskan oleh para fuqaha’? Mengapa saya tidak mencari tahu?
Sebatas mana kekhusyukan saya dalam menjalankannya? Tidakkah dalam hati saya terbesit kepentingan dunia dan terlupa akan akhirat? Dan apakah shalat, zakat, puasa, shadaqah dan lain-lain halnya mempunyai dampak dalam kehidupan saya, atau hanya sia-sia belaka? Apa yang perlu diperbaiki dari itu semua?
                 
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki ( الجانب العملي والتكسبي )
Allah Swt mewanti-wanti kita agar bekerja dan memperoleh penghasilan yang halal, bukan dengan cara yang bathil yang merugikan orang lain, sebagaimana firman-Nya:
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa/ 4 : 29)
Imam As-Suyuti ketika menjelaskan tentang memakan harta dengan cara batil, beliau menafsirkannya dengan ( بطريق غير مشروع مخالف حكم الله تعالى ) ‘dengan cara tidak sesuai dengan syariat dan bertentangan dengan hukum Allah SWT’. Artinya segala macam bentuk usaha, yang pekerjaannya, cara pelaksanaannya, tidak syar’i dan bertentangan dengan hukum Islam, maka itu adalah batil.
3. Aspek Kehidupan Sosial Keislaman ( الجانب الحياة الإجتماعية الإسلامية )
Dan aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa karena akhlaknya terhadap orang lain; ia mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, dan perbuatan buruk lainnya, sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya.
Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
Oleh karenanya, hendaknya aspek ini dievaluasi. Bagaiamana selama ini kita bersosialisasi dengan masyarakat, bergaul dengan tetangga, beraktivitas dengan teman kerja, berakhlak di tengah orang ramai, dan sebagainya. Jika terdapat aib atau cacat di sana, maka perbaikilah.
4. Aspek Da’wah ( الجانب الدعوي )
Seorang guru saya pernah berkata, “Tidak akan ada suatu perubahan atau perbaikan, jika tidak ada dakwah atau seruan kepadanya. Begitu pentingnya dakwah ini sehingga ia menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim, Rasulullah Saw sendiri bersabda, “balligh ‘anni walau ayah” (sampaikanlah dariku walau hanya sepotong ayat). Perintah ini diserukan untuk seluruh jama’ah kaum muslimin. Namun ada yang perlu diingat dan direnungi, untuk apa kita berdakwah. Apa tujuan kita berdakwah?
Kita berdakwah untuk Allah dan Rasul-Nya, menjunjung tinggi agama yang telah dipilihkannya kepada bani Adam, yaitu Islam sebagai rahmatal lil’alamin. Dakwah menyerukan kepada kebenaran Islam, La ilaha illallah, Muhammadarrasulullah, dengan berbagai pemahaman, namun hakikatnya selalu merujuk kepada Tauhid, mengesakan Allah Swt dan menghambakan diri pada-Nya. Jangan sampai dakwah kita kehilangan tujuan, dan terjebak dalam fanatisme kelompok atau mazhabiyah, sehingga terjadilah perpecahan internal kaum muslimin, antara sunni dan syi’i, antara fuqaha’ dan muhadditsin, antara organisasi Islam yang satu dengan yang lainnya. Padahal semua berlabel Islam, hawa nafsu dan syaitanlah membisikkan agar kita bertengkar sesama Islam.
Dalam penghujung ceramah singkat ini, ada sebuah ayat yang patut direnungi oleh umat Islam dewasa ini yang mudah terpancing oleh isu-isu iftiraqul ummah, perpecahan umat. Allah Swt. berfirman:

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran [3] : 103)

Sabtu, 02 Mei 2015

Peristiwa Kematian Husein Di Padang Karbala

Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, maka orang-orang Irak mengirimkan utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan adalah Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat Husein sebagai khalifah.
Setelah surat itu sampai di Mekah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini. Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui perantara Muslim bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.
Kabar ini akhirnya sampai ke telinga Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam, lalu ia mengutus Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak dan meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Saat Ubaidullah bin Ziyad tiba di Kufah, masalah ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan perihal ini hingga akhirnya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin Urwah adalah sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan di situ juga Muslim bin Aqil tinggal.
Ubaidullah menemui Hani’ bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin Urwah walaupun sebenarnya ia sudah tahu tentang segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil adalah keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di kedua telapak kakiku ini, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan agar ia ditahan.
Mendengar kabar bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di siang hari.
Ubaidullah bin Ziayd merespon ancaman Muslim dengan mengatakan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah membuat takut Syiah (pembela) Husein ini. Mereka pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang saja yang bersama Muslim bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam hanya tersisa Muslim bin Aqil seorang diri.
Muslim pun ditangkap dan Ubaidullah memerintahkan agar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim meminta izin untuk mengirim surat kepada Husein, keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidullah bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein adalah “Pergilah, pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu tidak memiliki pandangan (untuk mempertimbangkan masalah)”. Muslim bin Aqil pun dibunuh, padahal saat itu adalah hari Arafah.
Husein berangkat dari Mekah menuju Kufah di hari tarwiyah. Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi ke Kufah. Di antara yang menasihatinya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Amr, saudara tiri Husein, Muhammad al-Hanafiyah dll.
Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku sangat menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang penduduk Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji sedikit pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah berubah pen.). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang (penakut pen.)’.
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian memberikan dua pilihan kepada beluai antara dunia dan akhirat, maka beliau memilih akhirat dan tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya, demi Allah tidaklah Allah memberikan atau menghindarkan kalian (ahlul bait) dari suatu hal, kecuali hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”. Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, lalu mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan”.
Setelah meneruskan keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein tentang tewasnya Muslim bin Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke Irak keliru, dan ia hendak pulang menuju Mekah atau Madinah, namun anak-anak Muslim mengatakan, “Janganlah engkau pulang, sampai kita menuntut hukum atas terbunuhnya ayah kami”. Karena menghormati Muslim dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein akhirnya tetap berangkat menuju Kufah dengan tujuan menuntut hukuman bagi pembunuh Muslim.
Bersamaan dengan itu Ubaidullah bin Ziyad telah mengutus al-Hurru bin Yazid at-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan untuk menghadang Husein agar tidak memasuki Kufah. Bertemulah al-Hurru dengan Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein agar tidak masuk ke Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku”. Al-Hurru menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang mengatakan itu adalah orang selainmu akan aku balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan aku katakan kepadamu, ibumu adalah wanita yang paling mulia, radhiallahu ‘anha”.
Saat Husein menginjakkan kakinya di daerah Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah bin Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Saad. Husein mengatakan, “Apa nama tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian Husein menanggapi, “Karbun (musibah) dan balaa’ (bencana).”
Melihat pasukan dalam jumlah yang sangat besar, Husein radhiallahu ‘anhu menyadari tidak ada peluang baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan, (1) kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian biarkan aku pergi menghadap Yazid di Syam.
Engkau pergi menghadap Yazid, tapi sebelumnya aku akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu kata Umar bin Saad. Ternyata Ubadiullah menolak jika Husein pergi menghadap Yazid, ia menginginkan agar Husein ditawan menghadapnya. Mendengar hal itu Husein menolak untuk menjadi tawanan.
Terjadilah peperangan yang sangat tidak imbang antara 73 orang di pihak Husein berhadapan dengan 5000 pasukan Irak. Kemudian 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi membelot dan bergabung dengan Husein. Peperangan yang tidak imbang itu menewaskan semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein seorang diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya, masih tersisa sedikit rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ada seorang laki-laki yang bernama Amr bin Dzi al-Jausyan –semoga Allah menghinakannya- melemparkan panah lalu mengenai Husein, Husein pun terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya, Husein akhirnya syahid, semoga Allah meridhainya. Ada yang mengatakan Amr bin Dzi al-Jausyan-lah yang memotong kepala Husein sedangkan dalam riwayat lain, orang yang menggorok kepala Husein adalah Sinan bin Anas, Allahu a’lam. Yang perlu pembaca ketauhi Ubaidullah bin Ziyad, Amr bin Dzi al-Jausyan, dan Sinan bin Anas adalah pembela Ali (Syiah nya Ali) di Perang Shiffin.
Ini adalah sebuah kisah pilu yang sangat menyedihkan, celaka dan terhinalah orang-orang yang turut serta dalam pembunuhan Husein dan ahlul bait yang bersamanya. Bagi mereka kemurkaan dari Allah. Semoga Allah merahmati dan meridhai Husein dan orang-orang yang tewas bersamanya. Di antara ahlul bait yang terbunuh bersama Husein adalah:
–          Anak-anak Ali bin Abi Thalib: Abu Bakar, Muhammad, Utsman, Ja’far, dan Abbas.
–          Anak-anak Husein bin Ali: Ali al-Akbar dan Abdullah.
–          Anak-anak Hasan bin Ali: Abu Bakar, Abdullah, Qosim.
–          Anak-anak Aqil bin Abi Thalib: Ja’far, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdullah bin Muslim bin Aqil.
–          Anak-anak dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib: ‘Aun dan Muhammad.
Dari Ummu Salamah bawasanya Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “…Jibril mengatakan, “Apakah engkau mencintai Husein wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Tentu” Jibril melanjutkan, “Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Kalau engkau mau, akan aku tunjukkan tempat dimana ia akan terbunuh.” Kemudian Nabi diperlihatkan tempat tersebut, sebuah tempat yang dinamakan Karbala. (HR. Ahmad dalam Fadhailu ash-Shahabah, ia mengatakan hadis ini hasan). Adapun berita-berita bahwa langit menurunkan hujan darah, dinding-dinding berdarah, batu yang diangkat lalu di bawahnya terdapat darah, dll. karena sedih dengan tewasnya Husein, berita-berita ini tidak bersumber dari rujukan yang shahih.
Benarkah Sikap Husein ‘alaihissalam Pergi ke Irak?
Tidak ada kemaslahatan dalam hal dunia maupun akhirat dari sikap Husein ‘alaihissalam yang keluar menuju Irak. Oleh karena itu, banyak sahabat Nabi yang berusaha mencegahnya dan melarangnya berangkat ke Irak. Husein pun menyadari hal itu dan ia sempat hendak pulang, namun anak-anak Muslim bin Aqil memintanya mengambil sikap atas terbunuhnya ayah mereka. Husein dengan penuh tanggung jawab tidak lari dari permasalahan ini. Dari peristiwa ini tampaklah kezaliman dan kesombongan orang-orang Kufah (Syiah-nya Husein) terhadap ahlul bait Nabi ‘alaihumu ash-shalatu wa salam.
Sekiranya Husein ‘alaihissalam menuruti nasihat para sahabat tentu tidak terjadi peristiwa ini, akan tetapi Allah telah menetapkan takdirnya. Terbunuhnya Husein ini tentu saja tidak sebesar peristiwa terbunuhnya para Nabi, semisal dipenggalnya kepala Nabi Yahya oleh seorang raja, karena calon istri raja tersebut meminta kepala Nabi Yahya bin Zakariya sebagai mahar pernikahan. Demikian juga dibunuhnya Nabi Zakariya oleh Bani Israil, dan nabi-nabi lainnya. Demikian juga dengan dibunuhnya Umar dan Utsman. Semua kejadian itu lebih besar dibanding dengan peristiwa dibunuhnya Husein ‘alaihissalam.
 Bagaimana Sikap Kita Terhadap Peristiwa Karbala?
Tidak diperbolehkan bagi umat Islam, apabila disebutkan tentang kematian Husein, maka ia meratap dengan memukul-mukul pipi atau merobek-robek pakaian, atau bentuk ratapan yang semisalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami, orang-orang yang menampar-nampar pipi dan merobek saku bajunya.” (HR. Bukhari).
Seorang muslim yang baik, apabila mendengar musibah ini hendaknya ia mengatakan sebuah kalimat yang Allah tuntunkan dalam firman-Nya,
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
“Orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka mengtakan sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Tidak pernah diriwayatkan bahwa Ali bin Husein atau putranya Muhammad, atau Ja’far ash-Shadiq atau Musa bin Ja’far radhiallahu ‘anhum, para imam dari kalangan ahlul bait maupun selain mereka pernah memukul-mukul pipi mereka, atau merobek-robek pakaian atau berteriak-teriak, dalam rangka meratapi kematian Husein. Tirulah mereka kalau engkau tidak bisa serupa dengan mereka, karena meniru orang-orang yang mulia itu adalah kemuliaan.
Tidak seperti orang-orang yang mengaku Syiah (pembela) Husein, Syiahnya ahlul bait Nabi pada hari ini, mereka merusak anggota tubuh, memukul kepala dan tubuh dengan pedang dan rantai, mereka katakan kami bangga menyucurkan darah bersama Husein. Demi Allah, sekiranya mereka berada pada hari dimana Husein terbunuh mereka akan turut serta dalam kelompok pembunuh Husein karena mereka adalah orang-orang yang selalu berhianat.
Posisi Yazid Dalam Peristiwa Ini
Dalm permasalahan ini, Yazid sama sekali tidak turut campur. Aku mengakatakan hal ini bukan untuk membela Yazid tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Husein. Ini adalah kesepatakan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki wilayah Irak. Ketika Yazid mendengar tewasnya Husein, Yazid pun terkejut dan menangis. Setelah itu Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarga yang tersisa sampai ke daerah mereka. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan perempuan-perempuan ahlul bait lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah riwayat yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah).
Sebelumnya Yazid telah mengirim surat kepada Husein ketika di Mekah, ternyata saat surat itu tiba Husein telah berangkat menuju Irak. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan hati Husein agar tidak berangkat ke Irak dan Yazid juga menyatakan kedekatan kekerabatan mereka. Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek (Jawa: mbah buyut) Yazid dan Husein adalah saudara kembar.
Kepala Husein
Tidak ada riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein tewas di Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak diketahui dimana makamnya dan makam kepalanya.
( Tulisan ini diterjemahkan dari tulisan dan sebagian ceramah Syaikh Utsman al-Khomis, seorang ulama yang terkenal sebagai pakar dalam pembahasan Syiah-.

Pembahasan tentang terbunuhnya cucu Rasulullalllah, asy-syahid Husein bin Ali ‘alaihissalam telah banyak ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya agar menulis sebuah kisah shahih yang benar-benar bersumber dari para ahli sejarah. Maka saya pun menulis ringkasan kisah tersebut sebagai berikut –sebelumnya Syaikh telah menulis secara rinci tentang kisah terbunuhnya Husein di buku beliau Huqbah min at-Tarikh-.)